Jakarta, Majalahjakarta.com – Polemik antara warga Kemayoran dan manajemen Pusat Pengelola Komplek Kemayoran (PPKK) kembali mencuat. Firma hukum Gerai Hukum ART & Rekan melayangkan somasi ketiga kepada pimpinan PPK Kemayoran, menyoal larangan aktivitas masyarakat serta mempertanyakan dasar kewenangan lembaga tersebut dalam mengelola kawasan eks bandara itu.
Surat somasi bernomor 13/TJS/GH/X/2025 tertanggal 30 Oktober 2025 itu ditujukan kepada Direktur Utama PPK Kemayoran, Teddy Robinson Siahaan, dan Direktur Pemberdayaan Kawasan, Yudi Sugara.
Dalam surat tersebut, kuasa hukum Hermawan, yang diwakili Arthur Noija, S.H. dan Arnoldus Alverando K., S.H., menyampaikan tanggapan hukum sekaligus peringatan keras terhadap sejumlah surat dan tindakan PPK Kemayoran yang dinilai tidak sesuai ketentuan hukum.
“Surat ini merupakan bentuk itikad baik untuk klarifikasi hukum dan mencegah kesalahpahaman antara masyarakat dan PPK Kemayoran,” tulis Gerai Hukum dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Rabu (30/10).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam somasi bernomor 13/TJS/GH/X/2025 tertanggal 30 Oktober 2025 tersebut, kuasa hukum Hermawan, menyampaikan 15 poin keberatan terhadap tindakan PPK Kemayoran.
Menurut mereka, tindakan pelarangan kegiatan warga di kawasan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang sah, dan justru menunjukkan adanya penyimpangan kewenangan lembaga di bawah Kementerian Sekretariat Negara (Setneg) itu.
“Kami menilai langkah PPK Kemayoran yang membatasi aktivitas masyarakat merupakan bentuk penyalahgunaan kelembagaan dan pelanggaran terhadap prinsip pelayanan publik,” tulis Gerai Hukum dalam keterangannya.
Tak Ada Tanggapan dari PPKK
Gerai Hukum menyebut sudah mengirimkan dua surat sebelumnya, yakni bernomor 136/TJS/GH/X/2025 tertanggal 22 Oktober 2025 dan 138/TJS/GH/X/2025 tertanggal 29 Oktober 2025.
Namun hingga kini, tidak ada tanggapan resmi dari pihak PPK Kemayoran.
Kuasa hukum pun menilai diamnya lembaga tersebut sebagai bentuk pengabaian terhadap asas transparansi dan akuntabilitas publik.
Sorotan Hukum: Batas Kewenangan BLU PPK Kemayoran
Dalam somasinya, Gerai Hukum menegaskan bahwa PPK Kemayoran adalah Badan Layanan Umum (BLU) yang memiliki fungsi terbatas pada pelayanan publik dan optimalisasi aset negara, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2005 jo PP Nomor 74 Tahun 2012.
“PPKK tidak memiliki kewenangan hukum untuk bertindak layaknya badan usaha komersial, apalagi melakukan penyewaan lahan tanpa persetujuan tertulis dari Kementerian Keuangan,” tegas Arthur Noija.
Selain itu, pihaknya mempertanyakan posisi hukum PPKK setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ).
Mereka meminta kejelasan kepada siapa PPKK kini bertanggung jawab – apakah kepada Setneg, Kemenkeu, atau Pemprov DKJ.
Masalah Tata Ruang dan Keterlibatan Publik
Gerai Hukum juga menyoroti aspek penataan ruang kawasan Kemayoran. Berdasarkan PP Nomor 21 Tahun 2021 dan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, setiap kawasan harus terintegrasi dengan RTRW daerah dan sistem nasional.
Kuasa hukum mempertanyakan apakah PPK Kemayoran memiliki RTRW atau RDTR tersendiri di luar dokumen perencanaan milik Pemerintah Provinsi Jakarta.
“Tidak boleh ada satu kawasan pun di ibu kota yang memiliki tata ruang otonom tanpa koordinasi dengan pemerintah daerah,” tulis mereka dalam surat.
Selain itu, Gerai Hukum juga menagih kontribusi nyata PPK Kemayoran terhadap warga sekitar, baik dalam bentuk retribusi, fasilitas publik, maupun keterbukaan akses sosial.
Dugaan Intimidasi oleh Oknum Pejabat
Poin lain yang menjadi sorotan serius adalah tindakan seorang oknum pegawai PPKK bernama Sdr. Prakoso, yang diduga mengantarkan surat langsung ke rumah klien Gerai Hukum pada 28 Oktober 2025.
Ia disebut memaksa istri klien untuk menandatangani tanda terima surat, padahal PPKK sudah mengetahui bahwa klien tersebut memiliki kuasa hukum resmi.
Gerai Hukum menilai tindakan ini sebagai pelanggaran terhadap etika pelayanan publik dan indikasi intimidasi yang mencederai prinsip profesionalitas aparatur negara.
“Oknum tersebut bukan pejabat tata usaha atau pejabat struktural, sehingga tindakannya dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran etik aparatur publik,” ujar Arthur Noija.
Mereka menegaskan bahwa tindakan seperti itu melanggar UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, serta UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Potensi Pelanggaran Pidana
Gerai Hukum bahkan menyinggung Pasal 421 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang mengatur pidana bagi pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk memaksa seseorang melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Selain itu, mereka juga mengacu pada Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian moril dan materil.
“Kami akan menempuh langkah hukum perdata maupun pidana bila PPKK tidak menunjukkan itikad baik dalam waktu satu hari kerja sejak somasi ini diterima,” tegas surat itu.
Uji Akuntabilitas di Tengah Reformasi Jakarta
Kasus ini, menurut sejumlah pemerhati hukum administrasi, menjadi contoh konkret pentingnya reformasi tata kelola lembaga publik, terutama bagi BLU yang mengelola aset strategis negara.
Sejak ditetapkannya Jakarta sebagai Daerah Khusus (DKJ), pembagian kewenangan antar lembaga pusat dan daerah menjadi tantangan baru dalam memastikan good governance berjalan dengan transparan dan akuntabel.
Pakar menilai, jika tidak segera dibenahi, praktik seperti ini dapat menjadi preseden buruk bagi citra kelembagaan pemerintah pusat, sekaligus mengikis kepercayaan publik terhadap institusi negara.
“Kami masih berharap penyelesaian secara arif dan bijaksana, tanpa perlu melangkah ke ranah litigasi,” tegas Arthur Noija.
Namun, dalam surat tersebut ditegaskan pula bahwa bila tidak ada respons resmi dari pihak PPKK dalam waktu satu hari kerja sejak somasi diterima secara patut, maka pihak kuasa hukum akan menempuh langkah hukum perdata dan pidana. Langkah itu, kata mereka, dilakukan demi mempertahankan hak-hak hukum klien dan sebagai bentuk tanggung jawab advokat terhadap keadilan publik.
Sebagai bagian dari langkah transparansi dan akuntabilitas publik, tembusan somasi ini turut disampaikan kepada Presiden Republik Indonesia, Menteri Sekretariat Negara, Menteri Keuangan, Gubernur DKI Jakarta, serta sejumlah aparat hukum dan pemerintah daerah di wilayah Kemayoran.
Arthur Noija menegaskan, langkah hukum ini bukan bentuk permusuhan, melainkan upaya penegakan hukum agar relasi antara lembaga negara dan masyarakat tetap dalam koridor konstitusi. “Kami ingin agar PPK Kemayoran memahami, masyarakat juga memiliki hak yang dijamin oleh undang-undang untuk memperoleh pelayanan publik yang adil, transparan, dan manusiawi,” ujarnya.
Dengan batas waktu yang singkat itu, publik kini menanti respons resmi dari manajemen PPK Kemayoran. Bila tidak ada tanggapan, kasus ini diprediksi akan memasuki babak baru di ranah hukum. (Red)

















