Jakarta, Majalahjakarta.com – “Pasien BPJS enggak bisa kami kasih effort 100%,” begitu pengakuan seorang tenaga kesehatan yang viral di media sosial. Kalimat itu memantik amarah publik dan membuka kembali luka lama soal diskriminasi layanan di rumah sakit. Di balik janji universalitas jaminan kesehatan, ada realitas getir: profesionalisme yang terkikis oleh sistem dan sikap yang menurun oleh kebiasaan.
Di dunia kesehatan, profesionalisme semestinya menjadi garis batas antara empati dan diskriminasi. Namun, pengakuan sejumlah tenaga kesehatan (nakes) yang membedakan pelayanan pasien berdasarkan status pembayaran memunculkan pertanyaan mendasar: apakah layanan kesehatan di Indonesia benar-benar setara bagi semua warga, ataukah masih berpihak pada mereka yang mampu membayar lebih?
Kasus yang mencuat dari Puskesmas Lambunu 2 di Parigi Moutong menjadi titik nyala kemarahan publik. Dalam video yang viral, tampak tiga tenaga kesehatan bersikap ceria dan sigap saat pasien umum datang, tetapi menunjukkan wajah acuh ketika pasien BPJS muncul. Setelah viral, mereka meminta maaf dan mengaku menyesal atas tindakan itu. (Sumber: Kompas.com, 18 Maret 2023). Peristiwa tersebut menggambarkan bukan sekadar kelalaian individu, tetapi cermin dari persoalan etika pelayanan yang lebih dalam.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ombudsman Republik Indonesia mencatat meningkatnya aduan pasien BPJS terkait diskriminasi layanan, mulai dari penundaan tindakan medis hingga perbedaan sikap petugas. (Ombudsman.go.id, laporan 2023). Di banyak rumah sakit, pasien dengan asuransi publik kerap menghadapi antrean panjang, waktu tunggu dokter yang tak pasti, bahkan informasi yang tidak disampaikan dengan ramah. Sementara pasien umum yang membayar tunai kerap mendapat layanan lebih cepat dan perhatian lebih personal. Fenomena ini bukan lagi anekdot, tapi gejala sistemik.
Argumen yang sering muncul dari pihak tenaga kesehatan adalah pembatasan sistem. Seorang dokter dalam diskusi daring menyebut, “Kami ingin memberikan pelayanan maksimal, tapi obat dan prosedur yang dijamin BPJS terbatas.” Klaim ini memang ada benarnya, sebab banyak rumah sakit terikat dengan mekanisme klaim dan tarif yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan. Namun, alasan ini tidak dapat sepenuhnya dijadikan pembenaran atas sikap yang membeda-bedakan pasien. Dalam Kompas.com (18 Maret 2023), Kementerian Kesehatan bahkan menegaskan bahwa keterbatasan tarif tidak boleh menjadi dalih menurunkan kualitas pelayanan dan empati terhadap pasien.
Etika profesional menuntut tenaga kesehatan untuk menjunjung prinsip “non-maleficence” tidak merugikan pasien serta menjamin keadilan layanan tanpa memandang status sosial atau metode pembayaran. Ketika perbedaan perlakuan terjadi hanya karena label “BPJS” di kartu pasien, maka yang rusak bukan hanya reputasi nakes, tetapi juga fondasi moral profesi itu sendiri. (Tirto.id, 25 Maret 2023).
Namun, di sisi lain, kita tidak boleh menutup mata terhadap beban sistemik yang menekan para tenaga kesehatan. Beban kerja tinggi, birokrasi klaim yang rumit, serta tarif kapitasi yang belum proporsional sering membuat mereka bekerja di bawah tekanan. (Tempo.co, 27 Maret 2023). Ketika sistem menuntut efisiensi ekstrem, empati kerap menjadi korban pertama. Karena itu, solusi tidak cukup hanya menyalahkan individu; harus ada reformasi sistem yang memberi ruang bagi kemanusiaan dalam praktik medis.
Data dari BPJS Kesehatan menunjukkan, pada 2023 terdapat lebih dari 262 juta peserta aktif, dengan 1,1 miliar kunjungan layanan setiap tahun. (CNBC Indonesia, 2 April 2024). Volume ini menggambarkan tantangan besar dalam menjaga mutu dan kesetaraan pelayanan. Sayangnya, sistem jaminan nasional masih menghadapi kesenjangan persepsi antara “pasien penerima manfaat” dan “pelanggan jasa kesehatan”. Perbedaan paradigma ini sering menjelma dalam tindakan yang tampak sepele: senyum yang ditahan, nada bicara yang dingin, atau panggilan yang diperlambat tetapi dampaknya sangat nyata bagi martabat pasien.
Kasus di Parigi Moutong hanyalah salah satu contoh dari rantai panjang problem pelayanan publik yang belum tuntas. Pemerintah daerah memang menjatuhkan sanksi administratif kepada para pelaku mereka dirumahkan selama 30 hari untuk pembinaan. (Antaranews.com, 19 Maret 2023). Namun, apakah sanksi cukup? Tanpa pembenahan budaya dan sistem yang mendorong empati serta profesionalisme, insiden serupa akan mudah berulang dengan wajah berbeda di tempat lain.
Diperlukan langkah strategis yang melampaui sekadar hukuman. Pertama, pelatihan rutin tentang etika profesi dan komunikasi empatik harus diwajibkan di seluruh fasilitas kesehatan, baik negeri maupun swasta. Kedua, audit layanan publik perlu dilakukan secara berkala untuk menilai apakah masih ada perlakuan berbeda terhadap pasien BPJS. Ketiga, sistem penghargaan (reward system) bagi tenaga kesehatan berintegritas perlu diperkuat agar motivasi tidak semata datang dari finansial. Keempat, mekanisme pengaduan pasien harus transparan dan mudah diakses, sehingga pengalaman buruk tidak berhenti di ruang tunggu rumah sakit.
Selain itu, BPJS Kesehatan sebagai lembaga penyelenggara juga harus melakukan introspeksi. Banyak dokter dan perawat mengeluhkan keterlambatan klaim, kesulitan administratif, serta batasan obat yang tidak selalu sesuai dengan perkembangan medis. Reformasi regulasi dan pembaruan daftar manfaat perlu dilakukan agar tenaga kesehatan tidak merasa “terbelenggu sistem” ketika ingin memberikan layanan optimal. (CNN Indonesia, 12 April 2024).
Pada akhirnya, isu diskriminasi pasien BPJS bukan hanya soal pelayanan rumah sakit, tetapi refleksi tentang arah moral kebijakan kesehatan kita. Jika jaminan kesehatan nasional ingin tetap dipercaya, maka negara harus memastikan bahwa setiap peserta, apa pun status ekonominya, mendapatkan pelayanan yang bermartabat. Karena pada titik paling dasar, pelayanan kesehatan bukanlah transaksi, melainkan pertemuan antara kebutuhan manusia dan tanggung jawab kemanusiaan.
Profesionalisme sejati tidak diukur dari seberapa mahal layanan dibayar, melainkan dari bagaimana seseorang memperlakukan sesamanya dalam keadaan paling rentan. Ketika ruang perawatan berubah menjadi ruang perbedaan prioritas, maka kita sedang kehilangan inti dari makna “menyembuhkan”. Reformasi sistem, pelatihan empati, dan pengawasan publik harus berjalan seiring agar pasien siapa pun dia tidak lagi merasa diperlakukan sebagai “kelas dua” di rumah sakitnya sendiri.
Karena dalam setiap perawatan, sejatinya yang sedang diuji bukan hanya sistem kesehatan, melainkan nurani kemanusiaan kita bersama.
Dwi Taufan Hidayat

















