Corat Marut Pelabuhan Tanjung Priuk; Siapa Yang Bertanggung Jawab?

- Penulis

Minggu, 2 November 2025 - 11:45

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

Jakarta, Majalahjakarta.com – Pelabuhan Tanjung Priok sejatinya adalah wajah maritim Indonesia di mata dunia. Ia bukan sekadar pintu gerbang ekonomi nasional, melainkan simbol kedaulatan logistik negeri maritim yang digadang-gadang menjadi “poros dunia.” Namun di balik deretan kapal dan kontainer raksasa yang menumpuk, terselip potret kusut tata kelola yang mencerminkan lemahnya disiplin regulasi dan hilangnya integritas birokrasi.

Dalam kacamata hukum publik, Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal (PPNT) menilai akar persoalan “corat-marut” di Pelabuhan Tanjung Priok bukan sekadar teknis manajerial, melainkan struktural dan sistemik. Pihak yang seharusnya menjadi garda terdepan justru terperangkap dalam jejaring kepentingan yang membingungkan: Otoritas Pelabuhan (OP) Utama Tanjung Priok dan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) – keduanya beroperasi di bawah koordinasi Kementerian Perhubungan Republik Indonesia (Kemenhub) – seperti kehilangan kompas dalam membedakan fungsi pengawasan dan pengelolaan.

Secara normatif, Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan dengan tegas menempatkan Otoritas Pelabuhan sebagai entitas regulator dan pengawas, sementara Pelindo berperan sebagai operator usaha jasa pelabuhan. Namun dalam praktiknya, batas itu kabur. Banyak pelaku usaha mengeluhkan adanya tumpang tindih kewenangan, pungutan yang tidak seragam, serta lambannya koordinasi lintas instansi di kawasan pelabuhan. Akibatnya, biaya logistik nasional tetap membengkak-menurut data World Bank (2024), biaya logistik Indonesia mencapai 23,5 persen dari PDB, jauh di atas rata-rata ASEAN yang hanya 15 persen.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Lebih ironis lagi, ketika pelabuhan negara tetangga seperti Port of Singapore dan Tanjung Pelepas Malaysia melesat dengan sistem digitalisasi penuh, Tanjung Priok justru masih berkutat dengan praktik birokrasi manual, ego sektoral, dan transparansi data yang lemah. Pelindo memang gencar mengklaim program transformasi digitalisasi pelabuhan, tetapi di lapangan, sistem “Inaportnet” yang digadang-gadang sebagai solusi tunggal justru sering terkendala sinkronisasi antar instansi.

Di sinilah kritik tajam PPNT menemukan relevansinya. Jika Otoritas Pelabuhan tak berdaulat dalam menegakkan hukum publik, dan Pelindo tak tunduk pada prinsip pelayanan publik, maka Tanjung Priok hanya akan menjadi “monumen logistik” tanpa jiwa kedaulatan. Regulasi boleh banyak, tetapi tanpa kemauan politik untuk menegakkannya, semua hanya menjadi kosmetik kebijakan.

Sudah saatnya pemerintah – melalui Kementerian Perhubungan dan lembaga terkait – melakukan audit menyeluruh atas tata kelola pelabuhan strategis ini. Publik berhak tahu sejauh mana praktik kolusi, inefisiensi, dan tumpang tindih kewenangan telah merugikan perekonomian nasional. Penguatan peran Otoritas Pelabuhan, transparansi digital antar instansi, dan reformasi manajemen Pelindo bukan lagi pilihan, melainkan keharusan konstitusional untuk memastikan pelabuhan ini benar-benar bekerja untuk kepentingan bangsa, bukan segelintir elite birokrasi.

Menurut hasil pengamatan Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal (PPNT), akar dari kekacauan sistemik di Tanjung Priok bukan sekadar masalah teknis logistik, melainkan kegagalan fungsi kelembagaan antara Otoritas Pelabuhan (OP), PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo), dan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sebagai otoritas pengendali tertinggi. Ketiganya seolah berjalan dalam irama yang tak sinkron, bahkan saling tumpang tindih, sehingga menimbulkan kekosongan tanggung jawab publik.

1. Otoritas Pelabuhan Utama Tanjung Priok: Regulator yang Tak Tegas
Sebagai Unit Pelaksana Teknis di bawah Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub, Otoritas Pelabuhan (OP) memiliki tanggung jawab strategis: mengatur, mengendalikan, dan mengawasi seluruh aktivitas komersial kepelabuhanan. Fungsi pengawasan keselamatan, penerbitan Surat Persetujuan Berlayar (SPB), hingga koordinasi lintas instansi seharusnya menjadikan OP sebagai “polisi pelabuhan”.

Namun dalam praktiknya, fungsi tersebut kerap direduksi menjadi administratif semata. PPNT mencatat sejumlah pelanggaran disiplin keselamatan dan ketidaktertiban lalu lintas kapal di area Priok yang lolos dari pengawasan OP. Banyak keluhan datang dari asosiasi pelayaran terkait keterlambatan penerbitan izin, lemahnya inspeksi, serta koordinasi yang tidak efisien dengan instansi seperti Bea Cukai dan Karantina.

Fakta ini menunjukkan bahwa OP kehilangan wibawa hukum publiknya. Ketika pengawasan terjebak dalam rutinitas birokrasi, pelanggaran menjadi budaya, bukan lagi pengecualian.

2. PT Pelindo: Operator Komersial yang Terlalu Dominan
Sebagai BUMN pengelola jasa kepelabuhanan, PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) seharusnya menjadi tulang punggung efisiensi logistik nasional. Mereka bertanggung jawab atas operasional bongkar muat, pengelolaan terminal, hingga penyediaan layanan pemanduan dan penundaan.

Namun, dominasi Pelindo justru sering menimbulkan distorsi kewenangan. Dalam beberapa kasus, Pelindo dianggap mencampuri urusan pengawasan yang sejatinya menjadi ranah OP. Situasi ini memperkeruh perbedaan fungsi antara pengatur dan pelaksana, antara otoritas publik dan entitas bisnis.

Ironisnya, kinerja Pelindo masih jauh dari standar pelabuhan internasional. Menurut data World Bank Logistics Performance Index (2023), peringkat efisiensi pelabuhan Indonesia stagnan di posisi 61 dunia, sementara Singapura, Malaysia, dan Vietnam terus naik berkat sistem integrasi digital yang transparan. Biaya logistik nasional kita masih menembus 23,5% dari PDB, salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara – dan Pelindo ikut bertanggung jawab atas lambatnya perbaikan ini.

Di sini publik pantas bertanya: apakah BUMN pelabuhan kita benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat dan negara, atau justru untuk mempertahankan monopoli bisnis di bawah payung kekuasaan?

3. Kementerian Perhubungan: Otoritas yang Terlalu Jauh di Menara Regulasi
Sebagai pemegang otoritas tertinggi, Kementerian Perhubungan mestinya memainkan peran strategis dalam menegakkan disiplin hukum maritim dan memastikan sinergi antar entitas pelabuhan. Namun, dalam realitas lapangan, kementerian lebih sering hadir hanya saat seremonial atau krisis.

Padahal, Pasal 53 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 memberi kewenangan penuh bagi Kemenhub untuk memberikan sanksi, mengevaluasi kinerja OP dan Pelindo, serta mengoreksi kebijakan yang menyimpang. Ketidaktegasan pengawasan justru memunculkan kesan bahwa negara tidak hadir secara substantif – hanya administratif.

Baca Juga:  Kakanwil Ditjenpas Aceh Tinjau Pelayanan di Lapas Kelas IIA Banda Aceh

Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2022 bahkan menyoroti lemahnya pengawasan internal Kemenhub terhadap kinerja BUMN kepelabuhanan, termasuk indikasi kerugian negara akibat inefisiensi terminal kontainer. Ini bukan sekadar kesalahan teknis, tetapi tanda bahwa fungsi kontrol publik telah tumpul di pelabuhan utama negara.

Menyingkap Paradoks Kedaulatan Maritim
Persoalan di Tanjung Priok sejatinya bukan lagi tentang siapa yang salah, melainkan siapa yang paling diam. Ketika OP sibuk mengurus dokumen, Pelindo fokus pada laba, dan Kemenhub tenggelam dalam regulasi tanpa pengawasan, maka publik kehilangan hak atas pelayanan pelabuhan yang efisien dan transparan.

Kritik PPNT sangat relevan: Negara harus kembali hadir di dermaga kekuasaannya sendiri. Audit tata kelola pelabuhan, pembenahan struktur kewenangan, dan digitalisasi pengawasan lintas instansi adalah langkah mutlak. Tanpa itu, “Poros Maritim Dunia” hanya akan menjadi slogan kosong yang karam di dermaga Tanjung Priok.

Pertanyaan besar yang sering menggema di tengah hiruk-pikuk Pelabuhan Tanjung Priok adalah: siapa yang sebenarnya bertanggung jawab ketika pelabuhan terbesar di Indonesia justru menjadi simbol inefisiensi, kemacetan, dan pungutan liar?

Dalam teori tata kelola publik, pelabuhan bukan hanya infrastruktur logistik, melainkan juga instrumen kedaulatan ekonomi negara. Ketika terjadi “corat-marut” – dari kemacetan parah hingga praktik pungli dan keterlambatan bongkar muat – yang dipertaruhkan bukan sekadar nama institusi, melainkan kredibilitas negara di hadapan rakyat dan dunia internasional.

Persoalan Tanjung Priok harus dilihat dari sudut pandang hukum publik dan struktur tanggung jawab administratif. Dalam sistem yang sehat, tanggung jawab itu bersifat kolektif namun dapat dipetakan berdasarkan sumber masalah.

1. Masalah Operasional: Pelindo di Panggung Utama
Ketika terjadi kemacetan parah di dalam kawasan pelabuhan, truk mengular berjam-jam, atau bongkar muat yang molor hingga berhari-hari, jari pertama yang harus diarahkan adalah kepada PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo).

Sebagai operator dan pengelola terminal serta fasilitas pelabuhan, Pelindo memegang kendali langsung atas alur pergerakan barang, kendaraan, dan efisiensi terminal. Jika sistem manajemen logistiknya lemah, maka arus barang macet dan biaya ekonomi melonjak.

Fakta di lapangan menunjukkan, meski Pelindo telah menjalankan program digitalisasi melalui sistem Terminal Operating System (TOS) dan Inaportnet, namun efektivitasnya masih jauh dari optimal. Berdasarkan data Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI, 2024), rata-rata waktu bongkar muat di Tanjung Priok masih di atas 3 hari, jauh di atas pelabuhan regional seperti Singapura yang hanya 1,2 hari.

Dengan demikian, ketidakefisienan operasional bukan sekadar masalah teknis, melainkan kegagalan manajemen BUMN dalam mewujudkan pelayanan publik yang akuntabel. Pelindo tak bisa terus bersembunyi di balik jargon “transformasi logistik” jika fakta di lapangan menunjukkan ketimpangan struktural dan biaya tinggi yang membebani pelaku usaha.

2. Masalah Pengawasan dan Penegakan Hukum: Otoritas yang Mandul
Fenomena pungutan liar, pelanggaran keselamatan, hingga praktik manipulasi dokumen di pelabuhan menunjukkan mandulnya fungsi pengawasan dari Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Utama Tanjung Priok.

Sebagai lembaga pemerintah di bawah Kementerian Perhubungan, KSOP memiliki tanggung jawab utama menegakkan hukum pelayaran, mengawasi keselamatan, dan menjaga ketertiban operasional. Namun dalam praktiknya, pengawasan itu sering kali “tumpul ke dalam dan tajam ke luar”.

Laporan PPNT (2025) menyebut bahwa praktik pungli di area pelabuhan masih menjadi rahasia umum. Modusnya beragam – mulai dari “uang pelicin” untuk mempercepat izin, hingga kutipan informal di titik bongkar muat. Ironisnya, keberadaan aparat hukum seperti Polres Pelabuhan, Bea Cukai, dan Karantina justru belum mampu memutus rantai kebiasaan lama tersebut.

Dalam hukum publik, pengawasan tanpa penegakan adalah absurditas. KSOP dan aparat penegak hukum seolah menjadi penonton di panggung yang seharusnya mereka kendalikan.

3. Masalah Kebijakan dan Regulasi: Kemenhub dan Beban Sistemik
Pada level tertinggi, tanggung jawab utama terletak di pundak Kementerian Perhubungan Republik Indonesia. Melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kemenhub berwenang menetapkan kebijakan, standar operasional, hingga memberikan sanksi terhadap unit pelaksana dan operator pelabuhan.

Namun, yang terjadi adalah fragmentasi kebijakan dan lemahnya keberpihakan pada efisiensi nasional. Perencanaan kapasitas pelabuhan, misalnya, sering tidak sinkron dengan proyeksi pertumbuhan arus barang. Alhasil, kemacetan struktural di Priok tak hanya soal volume, tetapi juga akibat dari lemahnya antisipasi kebijakan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2024) menunjukkan, arus kontainer di Tanjung Priok tumbuh 7,5 persen per tahun, namun kapasitas efektif terminal hanya meningkat 3 persen. Tanpa kebijakan ekspansi dan sistem integrasi yang progresif, pelabuhan ini akan terus menjadi “bottleneck” dalam rantai pasok nasional.

Kemenhub sebagai regulator tertinggi tak bisa terus berada di menara gading regulasi. Hukum publik menuntut akuntabilitas hierarkis – ketika unit teknis gagal, maka tanggung jawab moral dan administratif tetap berada pada pusat otoritas.

Kritik Publik: Negara yang Absen di Pintu Masuknya Sendiri
Apa artinya menjadi negara maritim jika pelabuhan utama justru dikelola tanpa disiplin hukum publik dan moral pelayanan? Ketika Pelindo sibuk mengejar profit, KSOP tenggelam dalam birokrasi, dan Kemenhub hanya memproduksi aturan tanpa aksi, maka rakyatlah yang membayar mahal harga dari kelalaian struktural ini – lewat biaya logistik tinggi, ekonomi tersendat, dan reputasi nasional yang menurun.

PPNT menegaskan: tanggung jawab atas corat-marut Tanjung Priok bersifat kolektif, tetapi hierarki moralnya jelas – Kemenhub sebagai regulator utama harus memimpin reformasi, bukan sekadar mengawasi dari kejauhan.

Jika tidak, Tanjung Priok akan tetap menjadi “monumen ketidakberdayaan negara maritim”, tempat hukum publik ditenggelamkan oleh kepentingan birokrasi dan bisnis yang saling menumpuk seperti kontainer di dermaga.

Arthur Noija SH
Fhoto:CNBC Indonesia

Berita Terkait

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran
Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan
Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia
Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”
Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara
Pertumbuhan 5 Persen, Tapi Siapa yang Untung?
Marak Debitur Dijerat Pasal Penggelapan Objek Fidusia, Pakar Hukum: “Jangan Campur Urusan Perdata dengan Pidana”
Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria
Berita ini 35 kali dibaca
4.5 2 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Berita Terkait

Kamis, 6 November 2025 - 04:03

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran

Kamis, 6 November 2025 - 03:30

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Rabu, 5 November 2025 - 19:27

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 November 2025 - 19:03

Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”

Rabu, 5 November 2025 - 17:56

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 November 2025 - 17:24

Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda

Selasa, 4 November 2025 - 16:56

Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria

Selasa, 4 November 2025 - 16:29

UIN Jakarta Kucurkan Rp2,85 Miliar Beasiswa untuk Dosen dan Tendik: Dorong Kualitas SDM dan Layanan Kampus

Berita Terbaru

Hukum

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Kamis, 6 Nov 2025 - 03:30

Berita

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 Nov 2025 - 19:27

Berita

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 Nov 2025 - 17:56

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x