“Anatomi Kejahatan Finansial: Telaah Sistemik terhadap Model Korupsi di Sektor Perbankan Indonesia”

- Penulis

Selasa, 1 Juli 2025 - 19:03

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

M-J. Jakarta – Di balik gemerlapnya kemajuan sektor perbankan sebagai tulang punggung perekonomian nasional, tersimpan realita gelap tindak pidana yang semakin merajalela dan menggerogoti fondasi sistem keuangan kita. Kejahatan di bidang perbankan bukan sekadar kasus individual, melainkan manifestasi dari kegagalan sistemik-baik dari sisi regulasi, pengawasan, hingga penegakan hukum yang lemah dan kurang tegas.

Penggelapan dana, penipuan, pemalsuan dokumen, pelanggaran kerahasiaan nasabah, hingga pencucian uang, bukan lagi sekadar berita sesekali. Fenomena ini telah menjadi ‘panggung’ bagi para pelaku kejahatan yang beroperasi tak hanya di balik layar, tetapi juga di dalam institusi itu sendiri-pegawai bank dan pihak ketiga yang mestinya menjadi garda terdepan keamanan malah memanfaatkan akses mereka untuk meraup keuntungan ilegal.

Contoh paling mencolok adalah penggelapan dana yang dilakukan oleh oknum berwenang di bank. Alih-alih menjaga dana nasabah, mereka malah menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Ironisnya, kasus-kasus seperti ini kerap berakhir dengan vonis ringan atau malah mangkrak di meja hijau, seolah perbankan kebal dari efek jera hukum. Ini memperlihatkan bagaimana aparat penegak hukum dan pengawas perbankan belum menunjukkan komitmen serius dalam membasmi kejahatan sistemik tersebut.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pencucian uang yang semakin marak juga menunjukkan betapa rapuhnya integritas sistem keuangan kita. Seperti diungkap Ali (2013), para pelaku menggunakan transaksi kompleks untuk menyamarkan jejak dana ilegal, seolah bank menjadi mesin pencuci uang yang sah. Keberadaan regulasi dan teknologi canggih pun belum mampu menghalau praktik ini jika tidak diimbangi dengan pengawasan ketat dan penindakan tanpa pandang bulu.

Lebih parah lagi, kebocoran data nasabah yang seharusnya dijaga kerahasiaannya sering kali terjadi akibat lemahnya sistem pengamanan dan etika profesionalisme. Kerugian nasabah bukan hanya berupa materi, tapi juga hilangnya kepercayaan yang berdampak pada reputasi bank secara keseluruhan. Manipulasi laporan keuangan oleh pihak internal pun semakin memperlihatkan bagaimana krisis integritas telah menginfeksi lembaga yang seharusnya menjadi pilar kepercayaan publik.

Dari sisi penegakan hukum, sudah saatnya aparat hukum dan regulator berani bertindak tegas dan transparan. Sanksi pidana yang jelas dan berat harus menjadi senjata ampuh untuk memberikan efek jera, bukan hanya sekadar pemanis dalam regulasi yang berujung pada praktik bisnis yang tetap rentan korupsi dan penipuan.

Kegagalan dalam penegakan hukum bukan hanya mengancam stabilitas sistem perbankan, tapi juga berpotensi mengguncang kepercayaan masyarakat dan investor. Padahal, sektor ini sangat krusial dalam menopang roda perekonomian nasional yang sehat dan berkelanjutan.

Penguatan regulasi dan pengawasan yang tidak setengah-setengah harus segera menjadi prioritas. Regulasi tanpa pengawasan dan penindakan efektif adalah ilusi belaka. Hanya dengan sistem pengawasan yang ketat dan keterbukaan informasi yang transparan, potensi tindak pidana perbankan dapat diminimalisir secara signifikan.

Sektor perbankan tidak boleh lagi menjadi ‘zona nyaman’ bagi pelaku kejahatan yang berkedok lembaga keuangan. Reformasi menyeluruh dalam budaya korporasi, etika profesi, serta sistem hukum yang melindungi kepentingan publik harus segera diwujudkan agar perbankan benar-benar menjadi pilar kepercayaan dan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan.

Paradoks Perbankan: Ketika Sanksi Pidana Hanya Jadi Dekorasi Regulasi
Dalam dunia yang makin terkoneksi dan terdigitalisasi, sektor perbankan seharusnya menjadi simbol integritas dan stabilitas. Namun realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya: bank bukan hanya menjadi sarana perputaran ekonomi, tetapi juga arena subur bagi kejahatan kelas elite-yang pelakunya kerap tak tersentuh hukum. Di sinilah letak paradoks sistem perbankan Indonesia: kuat di regulasi, lemah dalam eksekusi.

Penerapan sanksi pidana dalam tindak pidana perbankan sering kali hanya sebatas wacana normatif. Hukum ditegakkan, tetapi tumpul ke atas. Banyak kasus kejahatan keuangan yang terungkap, namun berakhir tanpa penyelesaian hukum yang memuaskan publik. Di balik jargon zero tolerance, terdapat toleransi struktural terhadap pelanggaran berat yang dilakukan oleh mereka yang “punya akses”.

Padahal, urgensi penegakan hukum yang tegas dalam sektor ini bukan hanya untuk menertibkan pelaku, melainkan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan nasional. Jika pelanggaran terhadap kepercayaan publik tidak ditindak secara serius, maka runtuhlah fondasi ekonomi itu sendiri. Bank bukan sekadar institusi penyimpan uang; ia adalah penjaga amanah masyarakat. Ketika amanah itu dikhianati tanpa konsekuensi, maka negara sedang menggali kubur kepercayaannya sendiri.

Sanksi pidana bukan sekadar instrumen balas dendam terhadap pelanggaran, tetapi instrumen strategis untuk mencegah kejahatan berikutnya. Efek jera harus terasa. Hukuman tidak boleh hanya menjadi simbol formalitas hukum yang bersifat kosmetik. Ia harus menggigit, bukan sekadar menggertak. Ketika pelaku pencucian uang, penggelapan, atau pembobolan dana nasabah hanya dihukum ringan atau dibebaskan karena “alasan teknis”, maka keadilan tidak sedang ditegakkan, melainkan dikompromikan.

Penegakan hukum yang efektif dan transparan adalah kunci untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap sektor perbankan. Kepercayaan bukan diberikan cuma-cuma, tetapi harus diperoleh lewat akuntabilitas. Dalam sistem keuangan modern, kepercayaan publik lebih berharga dari bunga deposito mana pun. Tanpa kepercayaan, bank kehilangan jantungnya. Dan negara, kehilangan denyut ekonominya.

Namun, penegakan hukum yang kuat tidak akan berarti tanpa sistem pengawasan dan regulasi yang kokoh. Di sinilah titik lemah sektor perbankan nasional: regulasi banyak, pengawasan minim. Otoritas pengawas sering kali terjebak dalam birokrasi lamban dan konflik kepentingan. Regulasi yang seharusnya menjadi tameng, justru berubah menjadi tirai yang menyembunyikan praktik kotor.

Regulasi tanpa eksekusi hanya melahirkan ilusi keamanan. Dan pengawasan tanpa independensi hanyalah perpanjangan tangan dari mereka yang ingin mempertahankan status quo. Padahal, dalam sistem ekonomi yang sehat, tidak boleh ada yang kebal hukum-termasuk para pelaku di balik meja direksi bank papan atas.

Maka, memperkuat pengawasan dan regulasi bukan lagi opsi, melainkan kebutuhan mendesak. Sistem perbankan yang bersih dan berintegritas hanya bisa diwujudkan dengan keberanian negara untuk melawan kejahatan finansial dari akar-akarnya, bukan sekadar memangkas ranting.

Perbankan yang sehat lahir dari hukum yang tidak hanya tertulis, tetapi dijalankan. Bukan hanya mengatur, tetapi juga menindak. Di sinilah harga yang harus dibayar untuk membangun sistem ekonomi yang benar-benar berpihak pada rakyat, bukan pada segelintir elite yang terus berlindung di balik tirai hukum yang rapuh.

Menelusuri Akar Hukum Pidana Perbankan: Dari Penyalur Dana Menjadi Ladang Kejahatan Elite
Di balik kemegahan bangunan bank, di balik layanan digital yang kian canggih, tersembunyi sebuah ironi sistemik: lembaga yang seharusnya menjadi penjaga stabilitas ekonomi justru kerap menjadi episentrum kejahatan finansial kelas tinggi. Sejarah hukum pidana perbankan bukanlah sekadar deretan pasal-pasal legalistik-ia adalah respons keras terhadap dinamika kekuasaan, kapital, dan kepentingan yang saling bertabrakan dalam ruang ekonomi yang makin kompleks.

Sejak awal, aktivitas ekonomi berbasis pinjaman sudah melahirkan bentuk relasi kuasa yang tidak setara: antara mereka yang kekurangan modal dan mereka yang berkelebihan dana. Dari relasi inilah lahir apa yang disebut financial intermediary, yang kemudian berkembang menjadi industri perbankan. Pada mulanya, bank hanya meminjamkan uang dengan bunga. Tapi kapital tak pernah puas. Seiring waktu, bank menjelma menjadi lembaga multifungsi-menyediakan giro, deposito, transaksi valuta asing, hingga kini menjadi ‘jantung’ dari seluruh denyut ekonomi nasional.

Dalam lanskap ini, dua jenis lembaga keuangan muncul: Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) dan Lembaga Keuangan Bank (LKB). LKBB lebih fleksibel, mengakses pasar modal dan menerbitkan surat berharga, sedangkan LKB-yakni bank-mengandalkan dana publik untuk menyebar kredit. Dengan kata lain, bank memegang amanah langsung dari rakyat.

Namun di sinilah ironi dimulai.

Bank bukan sekadar pedagang uang, melainkan penyimpan kepercayaan. Tapi kepercayaan itu terus diuji-bahkan dirusak-oleh para pelaku kejahatan kerah putih yang memanfaatkan celah regulasi dan lemahnya sistem pengawasan. Sejarah mencatat bahwa di tengah kemajuan industri perbankan, selalu ada ruang gelap yang menjadi arena praktik manipulatif: mulai dari penggelapan, rekayasa laporan, hingga pencucian uang lintas negara.

Dalam konteks ini, hukum pidana hadir bukan sebagai pelengkap administratif, tetapi sebagai tameng moral sekaligus alat pemaksa negara terhadap penyimpangan yang membahayakan publik. Namun, bukan rahasia lagi bahwa penegakan hukum pidana di sektor ini masih penuh kompromi dan keberpihakan. Banyak kasus kejahatan perbankan justru melibatkan aktor internal bank sendiri, dan tak jarang pula bersinggungan dengan kekuasaan politik dan bisnis.

Penguatan posisi hukum pidana dalam sistem perbankan nasional baru mendapat legitimasi serius sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 dan revisinya dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Di sana ditegaskan bahwa bank bukan hanya lembaga ekonomi, tetapi juga instrumen pembangunan nasional. Tapi bagaimana mungkin pembangunan bisa berjalan dengan dana yang tercemar praktik kriminal?

Baca Juga:  Reformasi Kebijakan Moneter Dan Sistem Kurs Dalam UU Perekonomian Nasional

Pasal 3 dan 4 undang-undang tersebut memberi mandat suci bagi bank: menghimpun dan menyalurkan dana demi pertumbuhan dan pemerataan. Namun mandat ini terlalu mulia untuk dijalankan tanpa mekanisme perlindungan pidana yang kuat. Maka, lahirlah justifikasi bahwa hukum pidana di sektor perbankan bukan sekadar opsi, tetapi kebutuhan historis dan institusional.

Hukum pidana menjadi pilar utama untuk mencegah agar sistem perbankan tidak berubah menjadi alat pemiskinan publik oleh para elite keuangan. Tanpa sanksi pidana yang efektif, bank tak ubahnya kasino legal tempat uang rakyat dipertaruhkan dalam permainan yang tak transparan.

Urgensi pengaturan pidana dalam sistem perbankan hari ini bukan lagi soal proteksi teknis, melainkan soal eksistensi: apakah negara ini benar-benar ingin menjaga kepercayaan publik dan stabilitas sistem keuangan, atau justru membiarkan perbankan menjadi surga impunitas bagi kejahatan terorganisir?

Jika jawabannya adalah yang pertama, maka sejarah hukum pidana perbankan harus terus diperkuat-bukan hanya di atas kertas, tetapi di dalam praktik hukum yang tajam, adil, dan tak kenal kompromi terhadap pelanggaran yang merusak sendi-sendi keuangan negara.

Kejahatan di Balik Meja Kasir: Membongkar Anatomi Tindak Pidana di Bidang Perbankan
Dalam dunia yang semakin digerakkan oleh uang dan algoritma, bank telah menjadi lebih dari sekadar lembaga keuangan-ia adalah tempat di mana kepercayaan publik diinvestasikan. Namun ketika ruang yang semestinya steril dari manipulasi justru menjadi ladang empuk bagi pelaku kejahatan kerah putih, kita patut bertanya: di mana negara?

Aktivitas perbankan melibatkan sirkulasi dana masyarakat dalam jumlah masif. Ini bukan urusan teknis, ini soal nasib publik. Maka, ketika praktik-praktik kriminal seperti penggelapan, pemalsuan, penipuan, hingga pencucian uang menyusup ke dalam sistem bank, yang dipertaruhkan bukan hanya neraca keuangan lembaga, tetapi juga legitimasi negara dalam melindungi warganya dari kejahatan berdasi.

Apa yang disebut sebagai tindak pidana di bidang perbankan bukanlah sekadar penyimpangan administratif. Ia adalah bentuk kriminalitas sistemik yang tumbuh subur di tengah kompleksitas hukum yang tumpang tindih dan pengawasan yang lemah. Ketika celah regulasi dijadikan peluang bisnis, dan ketika pegawai bank yang seharusnya menjaga justru menjadi pelaku, maka publik hanya bisa menunggu giliran dirugikan.

Dalam kajian hukum, kejahatan di sektor ini diklasifikasikan dalam dua kategori penting:

1. Tindak pidana perbankan, dan
2. Tindak pidana di bidang perbankan.

Menurut Moh. Anwar, perbedaan keduanya bersifat fundamental. Tindak pidana perbankan merupakan pelanggaran terhadap norma khusus dalam Undang-Undang Perbankan. Sanksinya jelas, konkret, dan tertulis. Namun, yang lebih problematik justru adalah tindak pidana di bidang perbankan—yang kerap kali bersifat lintas sektor, tidak tercakup secara eksplisit dalam UU Perbankan, dan memerlukan interpretasi hukum yang cermat untuk menjerat pelaku.

Di sinilah permainan dimulai.
Tindak pidana di bidang perbankan membuka ruang luas bagi praktik kriminal yang melibatkan hukum luar perbankan, seperti KUHP, UU Tindak Pidana Korupsi, UU TPPU (Pencucian Uang), hingga UU ITE. Namun justru karena luasnya cakupan ini, proses hukum sering kali tersendat. Bukannya memperkuat penindakan, kerumitan regulasi malah menjadi tameng impunitas.

Mengapa ini berbahaya? Karena sistem perbankan modern tidak berjalan dalam ruang hampa. Ia terhubung langsung dengan stabilitas ekonomi nasional. Ketika uang haram dapat dengan mudah disalurkan, ketika laporan keuangan dapat direkayasa untuk menipu otoritas, dan ketika kerahasiaan nasabah dapat diperjualbelikan di pasar gelap digital, maka kita bukan lagi bicara soal pelanggaran, tapi soal pembajakan sistem keuangan oleh kekuatan kriminal yang berwajah sah.

Ironisnya, banyak pelaku kejahatan perbankan bukanlah penjahat dalam pengertian konvensional, melainkan orang-orang dengan jas mahal dan jabatan strategis-yang memahami sistem, menguasai celah, dan beroperasi dengan penuh kalkulasi. Mereka bukan pembobol ATM, tapi pembobol kepercayaan masyarakat.

Apa artinya semua ini bagi hukum? Artinya, pendekatan konvensional terhadap tindak pidana di bidang perbankan sudah tidak relevan. Kita membutuhkan hukum yang bukan hanya represif, tapi juga strategis-yang mampu menjangkau kejahatan berlapis, mendeteksi lebih dini, dan menindak tanpa tebang pilih.

Tindak pidana perbankan bukan semata-mata soal angka dan pasal. Ini tentang keberanian negara untuk melindungi publik dari kerakusan dan pengkhianatan oleh mereka yang diberi kuasa mengelola uang rakyat. Penegakan hukum yang hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas akan menjadikan hukum pidana perbankan tidak lebih dari mitos legal dalam dokumen negara.

Jika kejahatan di bidang perbankan terus dibiarkan berlindung di balik jargon-jargon ekonomi dan kerumitan regulasi, maka cepat atau lambat, publik akan menarik satu hal paling berharga dalam dunia keuangan: kepercayaan. Dan ketika kepercayaan runtuh, tidak ada bailout yang bisa menyelamatkan.

Pembobolan Bank: Kejahatan Elite yang Dilindungi Sistem
Ketika sebuah bank dijarah dari dalam oleh mereka yang mestinya menjaga, dan ketika pengkhianatan itu dibungkus oleh legalitas prosedural yang manipulatif, maka kita tidak sedang menghadapi kejahatan biasa-melainkan kriminalitas struktural yang dilegalkan oleh sistem itu sendiri. Inilah ironi terbesar dalam dunia keuangan modern: institusi yang didewakan sebagai simbol stabilitas justru menjadi sarang predator ekonomi.

Dewan Pimpinan Pusat Peduli Nusantara Tunggal dengan tegas menyoroti fenomena ini dari sisi kebijakan publik. Kejahatan perbankan-khususnya praktik pembobolan dan penjarahan bank-pada dasarnya merupakan ekspresi kerakusan pribadi yang dikemas dalam logika sistemik. Motifnya satu: menguntungkan individu dengan cara merugikan lembaga dan menghancurkan kepercayaan publik.

Fakta empirik menunjukkan bahwa praktik ini bukan hanya terjadi, tapi berulang dan terus-menerus-baik di negara maju maupun negara berkembang, termasuk Indonesia. Hampir setiap tahun, publik disuguhi daftar kasus bank yang dibobol, dana nasabah raib, kredit fiktif menggunung, dan tagihan siluman membengkak-sementara para pelakunya sering kali justru mendapat perlindungan politis atau lolos karena celah hukum yang bisa dinegosiasikan.

Kejahatan ini datang dari segala arah:
Dari dalam oleh pemilik dan manajemen puncak bank,
Dari bawah oleh pegawai dengan akses terbatas tapi oportunis,
Dari luar oleh sindikat siber dan jaringan gelap yang memanfaatkan kerentanan sistem.

Modusnya makin canggih:

Kartu kredit dibobol,
ATM dipalsukan,
Pemindahbukuan ilegal,
Transfer fiktif antar-rekening yang diciptakan khusus,
Surat tagihan bodong,
Negosiasi NCD palsu,
Kredit fiktif yang disalurkan ke perusahaan bayangan.

Jika kejahatan kecil lahir dari kelemahan prosedural internal, maka kejahatan besar justru lahir dari korupsi karakter para bankir itu sendiri-orang-orang yang punya kuasa, tetapi nihil integritas.

Bahaya terbesar bukan pada nilai uang yang hilang, tetapi pada efek domino terhadap sistem keuangan nasional. Ketika kepercayaan publik hancur, krisis keuangan bukan hanya ancaman, tapi kepastian yang tinggal menunggu momentum. Keuangan Indonesia tidak akan jatuh karena satu bank dibobol, tapi karena sistem perbankan kehilangan kredibilitas akibat dibiarkan kotor dari dalam.

Karena itu, DPP Peduli Nusantara Tunggal menyusun tujuh langkah kritis sebagai strategi antisipatif dan advokatif terhadap kejahatan perbankan:

1. Mengklasifikasikan secara tegas antara kejahatan perbankan umum dan tindak pidana korupsi di sektor perbankan. Tanpa klasifikasi yang jelas, penyelidikan hukum akan terus kabur dan mudah dipolitisasi.
2. Menggali gambaran menyeluruh tentang kondisi aktual kejahatan dan korupsi di sektor perbankan. Data harus dibuka, tidak bisa lagi ditutup dengan alasan “kerahasiaan perbankan”.
3. Memetakan potensi serta modus operandi kejahatan finansial di sektor perbankan. Termasuk skema pencucian uang melalui lembaga bank yang tampak sah.
4. Membangun sistem perbandingan data dari waktu ke waktu untuk mendeteksi tren dan mengukur efektivitas kebijakan hukum dan pengawasan.
5. Menelusuri akar masalah secara konseptual dan struktural, agar strategi pencegahan tidak sekadar tambal sulam.
6. Menyusun masukan kebijakan berbasis kajian yang dapat mencegah kejahatan keuangan, baik melalui revisi regulasi, penguatan internal audit, maupun peningkatan transparansi publik.
7. Mendorong keterlibatan KPK dalam menindak kejahatan perbankan yang bernuansa korupsi, terutama ketika pelaku melibatkan kekuasaan dan jabatan tinggi di lingkaran lembaga keuangan.

Kejahatan di sektor perbankan bukan lagi soal kriminalitas individu, tapi soal kelumpuhan institusi. Ketika bank menjadi alat untuk menjarah dan bukan lagi pelayan ekonomi publik, maka negara tak hanya wajib bertindak-tetapi harus hadir dengan seluruh instrumen penegakan hukumnya.

Penjara bukan hanya untuk pencuri sepeda motor, tetapi juga untuk pencuri dana publik lewat skema kredit fiktif dan penggelapan korporasi. Dan tidak boleh ada kompromi hukum bagi mereka yang menjadikan bank sebagai mesin kejahatan.

Satu pembobolan bisa dilupakan. Tapi jika sistem tidak dibersihkan, maka masa depan keuangan nasional sedang dijarah secara legal dan perlahan

Fhoto: Infobanknews,
Arthur Noija SE

Berita Terkait

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan
Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia
Pertumbuhan 5 Persen, Tapi Siapa yang Untung?
Status DKI Berubah Menjadi DKJ Arah Kebijakan Hukum Publik Jakarta Utara
Kebijakan Pelabuhan Dimata Hukum DKJ Di Jakarta Utara
Jalan Licin di Balik Janji Pembangunan Riau
Menyentuh 35.000 UMKM, Ulfa Bone Puji KPP sebagai Program Pro-Rakyat Presiden Prabowo
Ketika Negara Kaya Tak Butuh Pajak Rakyat
Berita ini 53 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 6 November 2025 - 04:03

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran

Kamis, 6 November 2025 - 03:30

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Rabu, 5 November 2025 - 19:27

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 November 2025 - 19:03

Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”

Rabu, 5 November 2025 - 17:56

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 November 2025 - 17:24

Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda

Selasa, 4 November 2025 - 16:56

Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria

Selasa, 4 November 2025 - 16:29

UIN Jakarta Kucurkan Rp2,85 Miliar Beasiswa untuk Dosen dan Tendik: Dorong Kualitas SDM dan Layanan Kampus

Berita Terbaru

Hukum

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Kamis, 6 Nov 2025 - 03:30

Berita

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 Nov 2025 - 19:27

Berita

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 Nov 2025 - 17:56

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x