Jakarta, Majalahjakarta.com – Ada negara yang membiarkan rakyatnya menikmati penuh hasil kerja keras tanpa sepeser pun dipotong pajak. Ironisnya, sebagian dari mereka hanyalah negara kecil yang hidup makmur dari minyak, pariwisata, atau jasa keuangan. Sementara Indonesia, negeri besar yang juga kaya sumber daya, justru terus menambal kasnya dengan menaikkan pajak rakyatnya.
Pajak adalah urat nadi keuangan negara, fondasi pembangunan, dan sumber pembiayaan pelayanan publik. Namun kenyataan global menampar doktrin itu: tak semua negara membutuhkan pajak penghasilan pribadi untuk hidup makmur. The Economic Times (2025) mencatat ada sepuluh negara yang hingga tahun 2025 tetap konsisten tidak memungut pajak penghasilan pribadi: Bahama, Bahrain, Bermuda, Brunei Darussalam, Kepulauan Cayman, Kuwait, Monako, Maladewa, Oman, dan Qatar. Menariknya, mereka bukan negara besar tetapi berhasil menata ekonomi tanpa menekan kantong warganya.
Bahama, misalnya, menjadikan pariwisata dan jasa keuangan sebagai sumber utama pendapatan. Setiap tahun, jutaan wisatawan dunia datang berlibur, membanjiri perekonomian lokal. Pemerintah Bahama lebih memilih pajak konsumsi dan bea masuk daripada memotong gaji warga. “Pajak penghasilan tidak relevan bagi ekonomi yang hidup dari wisata global,” tulis The Nassau Guardian (21 Januari 2025). Tak heran jika Bahama menjadi magnet bagi ekspatriat dan pensiunan kaya dari Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Di Teluk Persia, Bahrain punya resep berbeda. Negeri kecil ini mengandalkan pendapatan besar dari minyak, gas, dan kawasan finansial internasional. “Kami menarik pendapatan dari industri energi dan jasa keuangan, bukan dari dompet warga,” ujar Menteri Keuangan Bahrain kepada Arab News (5 Februari 2025). Pendekatan ini menjadikan Bahrain pusat bisnis regional yang efisien dan ramah investor.
Sementara Bermuda dan Kepulauan Cayman menjadi contoh ekstrem ekonomi nirpajak. Kedua wilayah protektorat Inggris itu adalah rumah bagi puluhan ribu perusahaan global yang memarkir uangnya di sana. BBC News (12 Januari 2025) menulis bahwa jumlah perusahaan di Kepulauan Cayman melebihi jumlah penduduknya lebih dari 100 ribu entitas bisnis untuk 70 ribu warga. Di sinilah sinisme terasa nyata: negara tanpa industri besar tapi hidup dari aliran uang raksasa.
Di Asia Tenggara, Brunei Darussalam juga menikmati kemewahan fiskal berkat minyak dan gas. Dengan penduduk hanya sekitar 450 ribu jiwa, Brunei membiayai seluruh kebutuhan negaranya dari ekspor energi. “Minyak adalah sumber kehidupan kami; pajak penghasilan tak pernah diperlukan,” ungkap The Borneo Bulletin (8 Januari 2025). Negara ini bahkan memberi pendidikan, kesehatan, dan perumahan gratis bagi warganya suatu kemewahan yang di negeri lain hanya bisa dibayangkan.
Kuwait, Qatar, dan Oman pun mengikuti pola yang sama: hidup dari emas hitam. Menurut Al Jazeera (2 Februari 2025), ketiga negara Teluk itu menggunakan hasil ekspor minyak dan gas untuk membiayai pembangunan. Mereka hanya mengenakan pajak perusahaan asing dan royalti tinggi dari konsesi energi. Dengan cadangan minyak raksasa, kesejahteraan rakyat dijadikan strategi stabilitas politik rakyat puas, rezim tenang.
Monako adalah pengecualian Eropa yang paling memesona. Negeri kecil berpenduduk 40 ribu jiwa ini bertumpu pada pariwisata mewah, kasino, dan real estate super-eksklusif. Le Monde (14 Januari 2025) melaporkan bahwa sepertiga penduduk Monako adalah miliarder atau individu berpenghasilan tinggi dari seluruh dunia. “Di sini, pajak hanyalah kata di kamus, bukan potongan di slip gaji,” tulis media itu dengan getir. Monako hidup dari sirkulasi uang orang kaya pajak tak lagi diperlukan.
Maladewa pun membuktikan bahwa surga tropis bisa jadi mesin ekonomi. Negara kecil ini memungut pajak dari sektor pariwisata, bukan penghasilan. The Maldives Independent (25 Januari 2025) mencatat bahwa 28% Produk Domestik Bruto (PDB) Maladewa berasal dari pariwisata. Setiap malam inap wisatawan di resort mewah memberi devisa besar. Sementara rakyatnya hidup dari subsidi pangan dan pendidikan gratis.
Namun, kemakmuran tanpa pajak bukan tanpa bayangan. The Guardian (15 Februari 2025) menyoroti ketimpangan ekstrem di negara-negara tersebut. Di Monako, 1% populasi menguasai 60% aset nasional. Tanpa sistem pajak progresif, redistribusi ekonomi nyaris tak ada. Negara memang makmur, tapi kekayaan terkonsentrasi di segelintir tangan.
The Economist (3 Maret 2025) menyebut fenomena ini sebagai “efisiensi demografis”: negara kecil dengan sumber daya besar mampu mengelola kekayaan tanpa tekanan fiskal. Bahama atau Brunei punya keunggulan struktural populasi kecil, sumber daya melimpah, dan biaya sosial rendah. Model ini mustahil diterapkan di negara besar seperti Indonesia yang berpenduduk 280 juta jiwa.
Indonesia tentu tak bisa menyalin sistem mereka begitu saja. Tapi yang layak dikritisi adalah mengapa negara kaya sumber daya masih bergantung pada pajak rakyat kecil. Kekayaan alam yang melimpah belum menjadi mesin kesejahteraan karena tata kelola yang buruk dan minimnya nilai tambah ekspor. Minyak, batu bara, dan nikel tetap dijual mentah, sementara rakyat dibebani pajak konsumsi, digital, hingga karbon.
Kebijakan fiskal pun terus menekan publik. Pemerintah berencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2026 (Kompas, 1 Februari 2025). Di sisi lain, kebocoran pajak dan korupsi masih menghantui. Tempo (10 Februari 2025) mencatat potensi kebocoran penerimaan negara mencapai Rp 200 triliun per tahun. Rakyat diminta berhemat demi negara, tetapi negara belum berhemat demi rakyat.
Perbandingan dengan Brunei atau Qatar bukan sekadar soal kaya minyak, melainkan soal kemauan politik. Negara-negara itu menabung untuk masa depan rakyatnya, sementara Indonesia kerap menambal defisit dengan utang atau pajak baru. Dalam konteks ini, sinisme menjadi bentuk kejujuran. Negara yang kuat bukan karena banyak memungut, melainkan karena sedikit membocorkan.
Mungkin sudah saatnya Indonesia belajar bukan untuk menjadi negara nirpajak, tapi negara yang efisien, jujur, dan cerdas memungut. Pajak semestinya alat gotong royong, bukan alat pungut yang membebani. Jika negara lain bisa hidup tanpa menekan dompet rakyat, pertanyaannya sederhana namun tajam: mengapa kita yang kaya sumber daya justru terus diajak menanggung beban kebijakan yang tak pernah kita ciptakan?
Dwi Taufan Hidayat

















