Surabaya, Majalahjakarta.com – Kasus penipuan bermodus penerimaan Taruna Akademi Kepolisian (Akpol) yang menyeret dua anggota Polri asal Pekalongan, Jawa Tengah, kembali mengguncang kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum. Nilai uang yang lenyap mencapai Rp2,6 miliar, sebuah angka fantastis yang membuka tabir gelap praktik jual-beli “kursi” di lembaga pendidikan kepolisian.
Dr. Didi Sungkono, S.H., M.H., pengamat kepolisian sekaligus Direktur Lembaga Bantuan Hukum Rastra Justitia, menilai peristiwa ini bukan sekadar pelanggaran etik individual, melainkan indikator kegagalan sistem pembinaan moral di tubuh Polri.
“Kelakuan oknum seperti ini sudah sangat tidak bisa dibenarkan. Merugikan institusi, merusak kepercayaan publik, dan memperlihatkan lemahnya kontrol internal,” ujar Didi di Surabaya, Sabtu (2/11).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Didi, tindakan dua anggota Polri yang kini telah diamankan Propam menunjukkan adanya disfungsi pengawasan dan lemahnya kultur etik di tingkat bawah. Ia mendorong agar penyidik menelusuri aliran dana Rp2,6 miliar secara tuntas.
“Tidak mungkin uang sebesar itu dinikmati sendirian. Harus diselidiki apakah ada jaringan di atasnya. Publik perlu mengawasi sidang etik dan pidananya,” tegasnya.
Kasus ini bermula dari laporan Dwi Purwanto, pengusaha asal Kabupaten Pekalongan, yang mengaku menjadi korban penipuan oleh empat orang: dua polisi dan dua warga sipil. Modusnya: janji anaknya akan diterima menjadi Taruna Akpol melalui jalur kuota khusus tahun 2025.
Namun, alih-alih diterima, anak korban justru gagal di tahap awal seleksi, sementara uang miliaran rupiah yang telah disetorkan tak pernah dikembalikan.
Polda Jawa Tengah kini menahan dua anggota Polri, yakni Bripka Alexander Undi Karisma, eks anggota Polsek Doro, dan Aipda Fachrurohim alias Rohim, keduanya kini menjalani penempatan khusus (patsus) dan menunggu sidang Komisi Kode Etik Profesi (KKEP).
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jateng, Kombes Pol Dwi Subagio, membenarkan penangkapan itu.
“Benar, yang bersangkutan ditangkap saat sedang mengikuti pendidikan perwira. Kami akan proses secara transparan, termasuk menelusuri ke mana aliran uang Rp2,6 miliar itu,” ujarnya.
Sementara itu, Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Pol Artanto, menegaskan bahwa perkara ini akan ditangani melalui dua jalur: pidana umum dan kode etik kepolisian. “Tidak ada kompromi bagi anggota yang memperdagangkan jabatan,” katanya.
Dari perspektif hukum publik, kasus ini mencerminkan dua hal penting: pertama, masih adanya ruang gelap yang memfasilitasi praktik “jual-beli jabatan” di lembaga pendidikan strategis; kedua, krisis etika institusional yang belum sepenuhnya pulih meski Polri telah berulang kali menjanjikan reformasi.
Dalam konteks akademik, kasus ini menjadi studi sosial hukum yang menegaskan bahwa integritas tidak dapat dibangun lewat slogan, tetapi melalui sistem kontrol yang kuat, sanksi yang tegas, dan pendidikan moral yang berkelanjutan di internal Polri.
Karena pada akhirnya, seperti disampaikan Didi Sungkono, “Ketika hukum diperdagangkan oleh aparatnya sendiri, maka negara kehilangan cermin moralnya. Dan dari situlah keadilan mulai pudar.”
(Redho)

















