Stateless Tersangka Korupsi dan Ilusi Keadilan Negara

- Penulis

Selasa, 7 Oktober 2025 - 13:25

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

Jakarta, Majalahjakarta.com – Kejaksaan Agung menyatakan Mohammad Riza Chalid dan Jurist Tan kini berstatus stateless setelah paspor mereka dicabut oleh Kementerian Imigrasi. Langkah ini diklaim untuk mempermudah penegakan hukum terhadap dua buronan kakap kasus korupsi. Namun di balik manuver administratif itu, terselip tanda tanya besar: apakah negara sedang menegakkan hukum atau sedang mempermainkannya?

Langkah hukum yang semula dimaksudkan untuk memperkuat keadilan kini justru terasa seperti sandiwara administratif. Pencabutan paspor, tindakan yang sejatinya bersifat administratif, tiba-tiba menjelma menjadi alat penentu nasib kewarganegaraan dua buronan besar negeri ini: Mohammad Riza Chalid (MRC) dan Jurist Tan (JT).

Keduanya disebut Kejaksaan Agung (Kejagung) kini berstatus stateless, alias tidak memiliki kewarganegaraan. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Anang Supriatna, mengonfirmasi bahwa status ini muncul setelah Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan mengabulkan permohonan pencabutan paspor dari penyidik. “Sudah kita minta cabut paspornya. JT pun sudah kita minta cabut. Supaya stateless, kan,” ujarnya kepada wartawan pada 6 Oktober 2025 (CNN Indonesia, 6 Oktober 2025).

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Riza Chalid bukan nama asing dalam daftar panjang skandal ekonomi politik Indonesia. Ia pernah disebut dalam kasus “Papa Minta Saham” di era Presiden Jokowi lalu hilang tanpa jejak. Kini, namanya kembali mencuat dalam dugaan korupsi di tubuh Pertamina dengan potensi kerugian negara mencapai triliunan rupiah (Tempo, 2 Agustus 2025). Jurist Tan pun demikian, ia diduga kuat terlibat dalam kasus korupsi pengadaan Chromebook di Kemendikbudristek yang menyeret sejumlah pejabat dan rekanan proyek pendidikan digital (Kompas, 12 Agustus 2025).

Namun ketika hukum seharusnya menjadi jalan terang menuju kebenaran, pemerintah tampak menyalakan lentera di dalam kabut. Menjadikan seseorang stateless melalui pencabutan paspor bukan tindakan ringan; ini seperti menekan tombol “hapus” pada identitas hukum seseorang tanpa proses yudisial yang terbuka.

Pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, bahkan mengingatkan bahwa status stateless tidak serta-merta menghentikan tanggung jawab pidana, tetapi juga tidak menjamin efektivitas penegakan hukum lintas negara. “Negara lain bisa menolak mengekstradisi atau menahan orang yang dianggap stateless, karena tidak jelas yurisdiksinya,” ujarnya (Bisnis Indonesia, 30 Juli 2025).

Di sisi lain, logika administratif yang digunakan pemerintah tampak paradoksal. Jika paspor dicabut untuk mencegah pelarian, mengapa status stateless justru membuat mereka semakin sulit dijangkau oleh hukum internasional? Apakah ini strategi penyelamatan atau justru pelepasan tanggung jawab?

Sejarah korupsi besar di Indonesia sering memperlihatkan pola yang mirip. Aktor besar menghilang, publik gaduh, lalu kasus berujung pada sunyi panjang. Dari BLBI, e-KTP, hingga megakasus Pertamina, selalu ada figur “pengusaha lincah” yang tiba-tiba lenyap bersama berkas paspornya. Mereka seperti hidup di semesta paralel, hilang di atas kertas, tapi tetap eksis dalam ekonomi gelap negeri ini.

Pencabutan paspor hanyalah satu babak dari drama panjang penegakan hukum yang penuh paradoks. Di satu sisi, negara ingin menunjukkan ketegasan, di sisi lain, ia tampak menyiapkan jalan keluar yang lebih halus. Apalagi jika benar, sebagaimana rumor beredar di kalangan jurnalis investigasi, bahwa keduanya memiliki dokumen identitas alternatif di negara lain, sebuah skenario yang membuat istilah stateless tampak seperti lelucon hukum.

Langkah ini pun mengundang pertanyaan etis. Pencabutan paspor seharusnya dilakukan dengan dasar kuat, misalnya dalam konteks keamanan nasional, bukan sebagai “hukuman” administratif bagi tersangka yang bahkan belum diadili. Jika negara bisa mencabut kewarganegaraan seseorang tanpa putusan pengadilan, bukankah itu membuka pintu bagi penyalahgunaan kekuasaan di masa depan? (Republika, 8 Oktober 2025).

Kritikus hukum tata negara Refly Harun menilai manuver ini “absurd tapi politis.” Dalam wawancaranya di kanal YouTube pribadi, ia menyebut bahwa Kejagung mungkin lebih bermaksud “menciptakan efek simbolik ketegasan” ketimbang menyelesaikan perkara substansial. “Negara tampak ingin memamerkan ketegasan, tapi dalam praktiknya justru kehilangan arah penegakan hukum,” katanya.

Sementara itu, publik kembali diajak menonton sinetron hukum yang sama dengan pemeran berbeda. Netizen di media sosial dengan cepat mencatat ironi ini: “Yang dicabut paspornya dua orang, tapi yang kehilangan kewarganegaraannya justru rasa percaya rakyat pada hukum.”

Baca Juga:  Efektivitasnya Praperadilan dalam Membatalkan Penetapan Tersangka

Pernyataan Kejagung bahwa proses hukum tetap berlanjut terdengar menenangkan, tapi juga problematik. Jika tersangka sudah stateless, mekanisme apa yang menjamin penegakan hukum bisa dilakukan? Bagaimana mengeksekusi proses hukum terhadap seseorang yang “tidak lagi warga negara mana pun”? Seolah-olah hukum kini bermain di ruang hampa udara administratif (Metrotvnews, 7 Oktober 2025).

Dalam konteks hak asasi manusia, langkah ini berpotensi melanggar prinsip non-discrimination dan hak atas kewarganegaraan sebagaimana dijamin oleh Universal Declaration of Human Rights. Artikel 15 menyebut: “Setiap orang berhak atas suatu kewarganegaraan. Tidak seorang pun boleh dicabut kewarganegaraannya secara sewenang-wenang.” Dengan demikian, jika Indonesia melakukannya demi kepentingan penegakan hukum tanpa dasar hukum yang jelas, negara berisiko melanggar komitmen internasionalnya sendiri.

Ironinya, pemerintah justru menegaskan bahwa status stateless itu “memudahkan proses pemulangan dan deportasi” (CNBC Indonesia, 6 Oktober 2025). Logika ini sulit diterima: bagaimana mungkin negara bisa mendeportasi seseorang yang tidak memiliki kewarganegaraan? Ke mana dia akan dipulangkan jika tak ada negara yang mau mengakui keberadaannya?

Mungkin inilah paradoks khas penegakan hukum di Indonesia: semakin keras negara berteriak “tegakkan keadilan!”, semakin kabur batas antara hukum, politik, dan sandiwara birokrasi.

Analisis Lanjutan: “Stateless” dalam Perspektif Global dan HAM
Kasus Riza Chalid dan Jurist Tan membawa Indonesia masuk ke wilayah abu-abu hukum internasional. Status stateless bukan hal baru di dunia, tetapi penggunaannya terhadap tersangka korupsi adalah sesuatu yang jarang terjadi.

Rusia, misalnya, pernah mencabut kewarganegaraan sejumlah lawan politik yang melarikan diri ke luar negeri. Namun langkah itu dikritik oleh Amnesty International karena dianggap sebagai bentuk hukuman politik yang melanggar hak dasar. Amerika Serikat juga berhati-hati menggunakan pencabutan kewarganegaraan, bahkan terhadap pelaku terorisme, karena bertentangan dengan prinsip konstitusi mereka yang menjamin due process of law.

Singapura mengambil pendekatan berbeda. Negara itu memang memiliki kebijakan ketat terhadap koruptor, tapi selalu menegakkannya melalui jalur yudisial. Tidak ada satu pun kasus di mana pemerintah mencabut kewarganegaraan hanya untuk mempercepat proses hukum. “Hukum tidak boleh kehilangan arah moralnya, bahkan ketika mengejar kejahatan besar,” kata mantan Jaksa Agung Singapura, Walter Woon, dalam sebuah forum hukum internasional tahun 2024.

Bandingkan dengan Indonesia: langkah administratif dilakukan dulu, dasar yuridis dijelaskan kemudian. Pemerintah ingin tampak tegas, tetapi justru memperlihatkan bahwa hukum di negeri ini bisa dibengkokkan oleh kepentingan pragmatis.

Organisasi internasional seperti UNHCR dan Human Rights Watch telah lama memperingatkan bahaya arbitrary deprivation of nationality atau pencabutan kewarganegaraan secara sewenang-wenang. Efeknya bukan hanya pada individu, tapi juga pada citra negara di mata dunia. Negara yang mencabut kewarganegaraan tanpa proses hukum yang jelas berpotensi kehilangan legitimasi moral dalam forum internasional.

Dalam konteks HAM, tindakan ini melanggar prinsip dasar non-refoulement, yakni larangan untuk memaksa seseorang kembali ke negara di mana ia mungkin menghadapi penyiksaan atau penganiayaan. Jika seseorang stateless, negara asal maupun negara tujuan akan kesulitan menentukan tanggung jawab atas perlindungannya.

Pertanyaan mendasar pun muncul: apakah tindakan Kejagung benar-benar bertujuan menegakkan keadilan atau hanya strategi politik untuk menunjukkan “keberanian semu”? Jika keadilan bisa dicapai dengan cara menghapus identitas hukum seseorang, maka hukum telah berubah menjadi instrumen pencitraan.

Epilog:
Status stateless bagi Mohammad Riza Chalid dan Jurist Tan bukan sekadar soal dokumen, tetapi cermin bagaimana negara memandang hukum. Ia menunjukkan betapa mudahnya prinsip keadilan bergeser menjadi sekadar permainan administrasi.

Di negeri yang sering berteriak soal pemberantasan korupsi, kehilangan paspor ternyata lebih mudah daripada menemukan keadilan sejati. Dan pada akhirnya, mungkin bukan hanya dua buronan itu yang menjadi stateless. Kita semua, sebagai rakyat, perlahan kehilangan kewarganegaraan moral dalam negara hukum yang tak lagi mengenal batas antara kuasa dan kebenaran.

Dwi Taufan Hidayat

Berita Terkait

Ketika Hierarki Dilanggar: Kontroversi BIBU Kubutambahan dan Ujian Konsistensi Pemerintahan Prabowo
Eigendom Verponding dan Unifikasi Hukum Agraria: Antara Kepastian Hukum dan Keadilan Sosial
Dekan FH UKI: Revisi UU 37/2004 Antisipasi Start-up & Fintech Pailit
Desa Bojongsari Memanas, Warga Desak Perangkat Desa Dipecat Gara-gara Dugaan Penyimpangan Dana Bansos dan PBB
Pasar Sosial Sebagai Instrumen Pemerataan Ekonomi
Dugaan Kejanggalan Penilaian Aset, KJPP Latief Hanif dan Rekan Disorot dalam Sidang Gugatan PT Lintas Cindo Bersama
Ekonomi Sirkular Jadi Fokus KKN Mahasiswa Unnes di Kabupaten Semarang
Mandalika Taklukkan Marc Marquez, MotoGP Serasa Milik NTB
Berita ini 8 kali dibaca
4 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Berita Terkait

Selasa, 7 Oktober 2025 - 17:48

Dekan FH UKI: Revisi UU 37/2004 Antisipasi Start-up & Fintech Pailit

Selasa, 7 Oktober 2025 - 16:38

Desa Bojongsari Memanas, Warga Desak Perangkat Desa Dipecat Gara-gara Dugaan Penyimpangan Dana Bansos dan PBB

Selasa, 7 Oktober 2025 - 14:43

Dugaan Kejanggalan Penilaian Aset, KJPP Latief Hanif dan Rekan Disorot dalam Sidang Gugatan PT Lintas Cindo Bersama

Selasa, 7 Oktober 2025 - 14:27

Kasus Penganiayaan Bripda Satya Bergulir, Kuasa Hukum Minta Tindakan Tegas dari Polda Jatim

Selasa, 7 Oktober 2025 - 14:15

Sepeda Pribadi Dicuri dari Teras, Pengurus FWJ Indonesia Lapor ke Kepolisian Tangerang

Selasa, 7 Oktober 2025 - 13:13

Ekonomi Sirkular Jadi Fokus KKN Mahasiswa Unnes di Kabupaten Semarang

Selasa, 7 Oktober 2025 - 08:15

Puncak Perayaan HUT ke-80 TNI, Polres Pematangsiantar Beri Kejutan ke Sejumlah Satuan TNI

Senin, 6 Oktober 2025 - 19:21

Mandalika Taklukkan Marc Marquez, MotoGP Serasa Milik NTB

Berita Terbaru

Analisis

Pasar Sosial Sebagai Instrumen Pemerataan Ekonomi

Selasa, 7 Okt 2025 - 16:02

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x