Cerpen: Maaf Yang Tersisa Dalam Sepi

- Penulis

Jumat, 3 Oktober 2025 - 14:43

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

Jakarta, Majalahjakarta.com – Hidup sering kali menyuguhkan luka yang datang dari orang terdekat. Ada kalanya sakit itu begitu dalam hingga enggan hilang meski waktu telah berlari jauh. Namun, ajaran hidup mengingatkan untuk tidak menyimpan dendam. Cerita ini berawal dari sebuah percakapan ringan, namun berakhir dengan sebuah penemuan mengejutkan yang mengubah segalanya.

Pagi itu, di beranda rumah yang dilingkupi cahaya matahari lembut, aku duduk menatap secangkir kopi yang hampir dingin. Suasana hening, hanya suara burung gereja yang sesekali terdengar dari pohon jambu di samping rumah. Aku baru saja membaca pesan pendek dari seorang teman lama: “Jangan biarkan dendam merampas ketenanganmu.”

Pesan itu datang tepat ketika aku sedang berusaha mengalihkan pikiran dari satu nama yang terus membayang. Nama seorang sahabat yang dulu pernah menjadi bagian terpenting dalam hidupku, sebelum segalanya retak oleh kesalahpahaman. Luka itu masih terasa, meski bertahun-tahun sudah berlalu.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Aku ingat bagaimana kami dulu begitu akrab, berbagi mimpi, rahasia, bahkan doa. Namun suatu hari, satu kalimat salah tafsir membuat hubungan kami pecah. Ia menganggapku mengkhianati kepercayaannya, sementara aku merasa ia tidak pernah memberi ruang untuk penjelasan. Sejak saat itu, kami memilih jalan masing-masing.

Hari-hari setelahnya dipenuhi diam. Diam yang menusuk, diam yang menumbuhkan jarak. Aku masih teringat sebuah nasihat bijak yang pernah kudengar: “Pertengkaran akan terasa besar jika dibiarkan, tapi akan mengecil ketika keberanian untuk memaafkan hadir.”

Namun entah mengapa, aku tidak mampu. Rasanya gengsi lebih kuat daripada suara hati. Setiap kali ada kesempatan untuk berdamai, pikiranku menolak. Seolah ada dinding besar yang menahan niat baik itu.

Hingga suatu malam, aku bermimpi. Dalam mimpiku, ia datang dengan senyum yang sama seperti dulu, membawa selembar kertas lusuh. Di atasnya tertulis: “Maafkan aku sebelum terlambat.” Aku terbangun dengan keringat dingin, jantung berdegup kencang. Mimpi itu terasa terlalu nyata untuk diabaikan.

Keesokan harinya, aku memberanikan diri menulis pesan singkat kepadanya. Namun sebelum terkirim, aku menahan jempolku. “Bagaimana kalau ia tidak membalas? Bagaimana kalau ia menganggap aku lemah?” pikirku. Pesan itu pun kusimpan dalam draf, tidak pernah benar-benar kukirimkan.

Hari-hari kembali berjalan biasa. Hingga pada suatu sore, seorang tetangga datang mengetuk pintu dengan wajah murung. Ia membawa kabar yang membuat tubuhku lemas seketika. Sahabatku itu telah pergi untuk selamanya. Sebuah kecelakaan lalu lintas merenggut nyawanya. Aku terdiam, seakan dunia runtuh di hadapanku.

Malam itu aku duduk sendirian di kamar, membuka kembali pesan yang tidak pernah kukirim. Air mataku menetes, menyesali kebodohan yang membiarkan gengsi mengalahkan kasih sayang. Betapa aku lupa bahwa hidup ini singkat, dan kesempatan untuk meminta maaf atau memberi maaf tidak selalu datang dua kali.

Baca Juga:  Sedekah Sampah, Waqaf Iqro: Komunitas Ayo Less Waste Salurkan Donasi Lewat Global Ehsan Relief Indonesia

Di antara isak tangis, terngiang kata-kata lama yang pernah kudengar dari seorang guru: “Memaafkan bukan berarti kita kalah. Justru dengan memaafkan, kita menang melawan diri sendiri.”

Kata-kata itu bagai pisau yang menusuk ke dalam hati. Aku ingin memaafkan, aku ingin meminta maaf, tapi semua sudah terlambat.

Beberapa hari setelah pemakamannya, keluarganya mengundangku datang ke rumah. Dengan langkah berat, aku mendatangi rumah itu. Suasana duka masih menyelimuti, aroma bunga tabur memenuhi udara. Ibunya menyambutku dengan pelukan.

“Aku tahu, kalian pernah berselisih,” katanya lirih. “Tapi sebelum meninggal, ia sempat menulis sesuatu untukmu.”

Tanganku bergetar saat menerima secarik kertas dari ibu itu. Ternyata itu adalah tulisan yang sama dengan yang kulihat dalam mimpi: “Maafkan aku sebelum terlambat.”

Aku tertegun. Bagaimana mungkin? Apakah mimpi itu hanyalah kebetulan, ataukah sebuah pertanda yang memang dikirimkan kehidupan agar aku segera berdamai sebelum terlambat? Aku tidak tahu. Yang jelas, hatiku semakin tenggelam dalam penyesalan.

Sejak hari itu, aku berjanji untuk tidak mengulang kesalahan yang sama. Aku mulai belajar memaafkan lebih cepat, meski hatiku masih sering keras kepala. Aku mencoba merajut kembali silaturahmi dengan mereka yang pernah renggang. Aku tahu, aku tidak bisa lagi meminta maaf pada sahabatku itu. Tapi setidaknya, aku bisa memastikan tidak ada lagi luka yang kubiarkan membusuk di antara aku dan orang lain.

Di beranda rumah itu, di pagi yang tenang, aku menatap secangkir kopi yang kini sudah benar-benar dingin. Aku berbisik pada diriku sendiri: “Maafkan, sebelum terlambat. Jangan tunggu hingga kematian merampas kesempatanmu.”

Beberapa minggu setelah itu, aku mendengar kabar mengejutkan. Ternyata sahabatku selama ini memendam beban hidup yang berat dan tekanan yang tak pernah ia ungkapkan. Luka batinnya jauh lebih dalam daripada perselisihan kecil kami. Dan aku, dengan keangkuhanku, justru menambah beban yang ia pikul.

Malam itu aku kembali membuka secarik kertas peninggalannya. Kata-kata itu kini terasa lebih berat: “Maafkan aku sebelum terlambat.”

Aku menutup mata, menahan sesak di dada. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku benar-benar memahami bahwa maaf bukan hanya tentang menyembuhkan orang lain, tetapi juga tentang menyelamatkan jiwa kita sendiri dari penyesalan yang tidak berkesudahan.

Dan aku terlambat menyadarinya.

Dwi Taufan Hidayat

Berita Terkait

Marak Debitur Dijerat Pasal Penggelapan Objek Fidusia, Pakar Hukum: “Jangan Campur Urusan Perdata dengan Pidana”
Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria
Apel Pagi di Lapas Banda Aceh: Momentum Disiplin dan Apresiasi Pegawai Teladan
Jakarta Jadi Kota Kedua Terbanyak Pembeli Jersey Persib
Politik Hukum Dalam Regulasi Kebijakan Dimata Hukum Publik
Panduan Cerdas Bunda Jaga Anak Digital
Remaja Perempuan di Gorontalo Dilaporkan Hilang, Diduga Pergi Bersama Teman Baru dari Media Sosial
TKA Perdana: Ujian Sistem, Bukan Hanya Siswa
Berita ini 13 kali dibaca
3 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Berita Terkait

Sabtu, 8 November 2025 - 20:01

Pengadilan Kepercayaan: Hukuman di Tangkai Amanah?

Sabtu, 8 November 2025 - 19:51

Redenominasi Rupiah: Solusi Atau Bencana Tersembunyi

Sabtu, 8 November 2025 - 07:37

Pengelolaan Koperasi MTI Diduga Tidak Transparan, Sejumlah Aset Dipertanyakan Anggota

Sabtu, 8 November 2025 - 01:36

Ledakan di SMA 72 Jakarta: Alarm Keselamatan di Ruang Belajar

Jumat, 7 November 2025 - 18:33

Beton di Atas Nurani: Ketika Pembangunan Kota Menyingkirkan Warganya Sendiri

Jumat, 7 November 2025 - 17:36

LSM ELANG MAS Minta Kejari Asahan Usut Dugaan Korupsi di MIN 1 Asahan: Transparansi Dana Pendidikan Kembali Dipertanyakan

Jumat, 7 November 2025 - 17:06

Sufmi Dasco Ahmad dan Dinamika Kepemimpinan Baru: Dari Parlemen ke Panggung Pilpres 2029

Jumat, 7 November 2025 - 16:39

HAKAN Dorong Reformasi UU Kewarganegaraan: Perlindungan Hukum untuk Perkawinan Campuran dan Diaspora Indonesia

Berita Terbaru

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x