Lombok, Majalahjakarta.com – Seharusnya sekolah menjadi ruang aman dan penuh martabat. Namun, kenyataan sering kali berbalik arah, seperti kisah getir seorang guru perempuan di Lombok Timur yang harus menghadapi dilema berat ketika atasannya justru menjadikan jabatan sebagai senjata. Sebuah peristiwa yang membuka wajah gelap dunia pendidikan, penuh luka, ancaman, dan ironi.
Di sebuah ruang tamu sederhana di rumahnya, Ratna menatap layar ponselnya yang penuh dengan pesan tak terjawab. Pesan-pesan itu datang dari nomor yang seharusnya ia hormati: Kepala Sekolah tempatnya mengajar, seorang pria berusia separuh baya bernama Gunawan.
Ratna, guru muda lajang berusia 27 tahun, sebenarnya hanya ingin memastikan status pendaftarannya dalam program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Ia menanyakan apakah datanya sudah bisa didaftarkan melalui sistem Dapodik. Namun balasan yang ia terima bukan jawaban administratif, melainkan ajakan menikah.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Ayo kita menikah, Ratna. Kalau kamu mau, semua urusan sekolah akan aku urus. Kamu tidak perlu khawatir lagi dengan Dapodik,” begitu isi pesan yang berkali-kali dikirim Gunawan melalui WhatsApp.
Awalnya Ratna mengira itu sekadar candaan tak pantas. Namun semakin hari, pesan itu bertambah intens. Dari rayuan yang manis, berubah menjadi tekanan. “Kalau kamu tidak setuju, jangan harap bisa bertahan di sini. Data kamu bisa kuhapus kapan saja,” tulis Gunawan suatu malam.
Ratna hanya bisa terdiam. Ia mencoba mengabaikan pesan itu, berharap ancaman itu hanya gertakan. Tetapi sejak akhir Agustus, ia mendapati kenyataan pahit: akun GTK miliknya tidak bisa lagi diakses. Password berubah, dan ia tak lagi bisa masuk ke sistem.
“Mas, aku sudah coba login, tapi selalu gagal. Sepertinya password diganti,” ucap Ratna dengan suara bergetar kepada kakaknya, Damar.
Damar yang sejak awal curiga langsung menduga bahwa Gunawan sengaja melakukannya. “Ini jelas penyalahgunaan jabatan. Kamu hanya menolak ajakannya, lalu seenaknya dia menutup aksesmu? Ini tidak bisa dibiarkan, Ratna!”
Namun Ratna, dengan wajah pucat, masih ragu. “Aku takut, Mas. Kalau masalah ini makin besar, aku bisa kehilangan pekerjaan. Apalagi Gunawan punya banyak koneksi.”
Damar mengepalkan tangannya. “Kalau kamu diam, dia akan terus berbuat seenaknya. Kita harus mencari bukti.”
Hari-hari berikutnya menjadi beban berat. Ratna semakin sering menerima pesan bernada mengancam. Gunawan bahkan menyebut, “Kalau kamu masih keras kepala, aku bisa pastikan namamu tidak akan pernah muncul di data nasional. Kamu tahu akibatnya kan?”
Ratna merasa terpojok. Ia tidak bisa tidur. Setiap pagi di kelas, ia memaksakan senyum di depan murid-muridnya. Tetapi setiap malam, tangisnya pecah dalam diam.
Sementara itu, Damar berusaha mengumpulkan bukti. Ia meminta Ratna menyimpan semua pesan dari Gunawan. Ia juga mencoba menghubungi rekan guru lain untuk memastikan bahwa benar akses Dapodik dikuasai penuh oleh kepala sekolah.
“Betul, Ratna. Semua akses memang lewat Pak Gunawan. Tidak ada yang bisa mengubah password kecuali dia,” kata salah seorang guru senior dengan suara lirih.
Suatu sore, Damar datang membawa kabar baru. “Aku sudah berkonsultasi dengan temanku di Dinas Pendidikan. Kalau terbukti, Gunawan bisa kena sanksi berat. Kita harus berani melaporkan.”
Ratna hanya bisa menunduk. “Aku takut, Mas. Nanti malah aku yang disalahkan. Orang-orang akan bilang aku mencari masalah.”
Damar menatap adiknya dalam-dalam. “Tidak, Ratna. Kamu korban. Kamu berhak melawan.”
Namun malam itu, saat Ratna mencoba memberanikan diri membuka kembali WhatsApp-nya, sebuah pesan baru masuk dari Gunawan.
“Aku tahu kamu berniat melaporkanku. Tapi jangan lupa, semua orang percaya padaku. Aku yang pegang data, aku yang punya kuasa. Kalau kamu nekat, semua orang akan mengira kamu hanya cari sensasi. Lagipula, siapa yang akan percaya kalau kamu tidak pernah membalas pesanku? Bukti apa yang kamu punya?”
Ratna terdiam. Baru ia sadar, selama ini ia memang hanya mengabaikan pesan, tanpa pernah membalas. Semua bukti percakapan hanya berisi pesan satu arah. Gunawan bisa saja berkilah bahwa ia hanya bercanda, atau lebih parah, menuduh Ratna menyimpan pesan itu untuk menjatuhkannya.
Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia menatap ponsel itu lama, lalu menutupnya dengan tangan gemetar.
Pagi harinya, Ratna memutuskan untuk tidak masuk sekolah. Ia merasa lelah, kehilangan arah. Di rumah, ia duduk di beranda, menatap halaman kosong. Damar datang menghampiri. “Kamu kenapa, Ratna?”
Ratna hanya menggeleng. “Aku tidak tahu lagi harus bagaimana.”
Namun sebelum Damar sempat menenangkan, sebuah notifikasi baru muncul di ponsel Ratna. Kali ini bukan dari Gunawan, melainkan dari sistem resmi Dapodik.
Pesannya singkat, tapi membuat Ratna dan Damar saling pandang dengan wajah pucat.
“Akun Anda berhasil dipulihkan. Silakan login dengan password baru yang telah dikirimkan ke email Anda.”
Ratna tergesa membuka emailnya. Ia mendapati password baru yang dikirim resmi dari pusat. Ia mencoba masuk, dan berhasil. Namanya kembali muncul, lengkap dengan status pendaftarannya.
Damar tersenyum lega. “Alhamdulillah, Ratna. Sekarang kita punya bukti kuat. Aksesmu bisa dipulihkan, berarti benar Gunawan yang mengutak-atiknya. Kita bisa bawa ini ke ranah hukum.”
Ratna pun ikut tersenyum tipis. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada secercah harapan.
Namun saat ia menggulir layar untuk memastikan data-data lain, matanya tiba-tiba terhenti pada satu kolom baru. Ia membaca dengan seksama, jantungnya berdetak kencang.
Di bagian catatan tambahan, tercantum keterangan resmi:
“Status: Menikah dengan Gunawan (Kepala Sekolah).”
Ratna terperangah, tangannya bergetar hebat. “Mas… ini… ini apa maksudnya?!”
Damar ikut membaca, wajahnya langsung memucat. “Astaghfirullah… Dia bukan hanya menguasai data, Ratna. Dia sudah mengubah statusmu. Di sistem resmi, kamu tercatat sebagai istrinya.”
Ratna menjerit tertahan, ponselnya hampir terlepas dari genggaman. Dunia yang semula terasa sedikit terang, kembali runtuh dalam sekejap.
Dwi Taufan Hidayat