Jakarta, Majalahjakarta.com – Kemajuan teknologi telah memberi dampak positif bagi kehidupan manusia dan perkembangan peradaban. Salah satu wujudnya ialah munculnya berbagai perusahaan rintisan (start-up) berbasis digital. Namun, di sisi lain, kehadiran start-up juga menimbulkan persoalan tersendiri, terutama ketika perusahaan tersebut menghadapi kebangkrutan atau pailit.
Proses mengurus start-up yang mengalami kepailitan dinilai cukup rumit. Pasalnya, sebagian besar perusahaan rintisan maupun financial technology (fintech) hanya menjual jasa berbasis teknologi digital tanpa memiliki aset yang dapat dijadikan jaminan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kepailitan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal tersebut disampaikan Dekan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (FH UKI), Dr. Hendri Jayadi Pandiangan, SH., MH., dalam kuliah umum bertajuk “Masa Depan Hukum Kepailitan Indonesia di Tengah Gelombang Start-up dan Fintech” di Universitas Pakuan, Bogor, Senin (6/10/2025).
Menurut Hendri, dalam perkara kepailitan, prinsip utama yang dilakukan adalah penyitaan umum terhadap seluruh harta debitur sebagai jaminan atas kewajibannya kepada para kreditur.
“Artinya, kunci utama kepailitan terletak pada aset debitur. Jika tidak ada aset yang dapat disita sebagai jaminan, hal ini tentu menjadi kerugian besar bagi pihak kreditur,” tegasnya.
Hendri mendorong agar pemerintah dan pemangku kepentingan melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Revisi tersebut dinilai penting untuk memberikan kejelasan mengenai definisi aset dalam konteks kepailitan.
Menurutnya, pengertian aset tidak seharusnya terbatas pada barang berwujud, tetapi juga dapat mencakup sistem dan teknologi yang dimiliki perusahaan.
“Teknologi dari perusahaan yang pailit seharusnya bisa dimasukkan sebagai aset. Konsep ini memang masih terdengar asing dan belum diterapkan di Indonesia. Bahkan hak kekayaan intelektual seperti merek, paten, dan teknologi belum sepenuhnya dipahami sebagai aset pailit,” ujar Hendri menjelaskan.
Hendri juga menyoroti salah satu unsur utama dalam kepailitan, yakni keberadaan utang. Menurutnya, banyak perusahaan financial technology (fintech) yang sejatinya berperan hanya sebagai broker atau perantara transaksi.
“Sebagai contoh, dalam aktivitas jual beli, penjual dan pembeli tidak perlu bertemu langsung karena dijembatani oleh platform teknologi. Begitu pula dalam urusan pinjam meminjam, cukup dengan mengisi data secara daring, pinjaman bisa langsung cair dalam waktu singkat,” paparnya.
Ia kemudian mempertanyakan bagaimana mekanisme pelunasan utang jika kreditur di sebuah perusahaan start-up atau fintech justru memiliki utang kepada pihak lain. Di sisi lain, nasabah atau kreditur pun belum tentu memahami dengan jelas posisi keuangannya karena selama ini hanya bertransaksi melalui platform digital.
“Hal-hal seperti ini belum diatur secara eksplisit dalam UU Nomor 37 Tahun 2004. Jadi, jika perusahaan fintech atau start-up dinyatakan pailit sementara tidak memiliki aset, bagaimana proses appraisal-nya? Diperlukan tafsir yang lebih luas terkait pengertian utang yang timbul akibat transaksi elektronik dalam UU Kepailitan,” jelas Hendri.
Hendri menegaskan pentingnya revisi terhadap Undang-Undang Kepailitan, agar selaras dengan perkembangan teknologi dan dinamika ekonomi digital saat ini. Menurutnya, substansi utama dari revisi tersebut adalah memastikan perlindungan hukum bagi para kreditur.
“Regulasi yang mengatur transaksi elektronik yang dilakukan oleh perusahaan fintech perlu diperjelas dan dirinci. Semua itu bertujuan untuk melindungi kreditur,” ujarnya.
Ia menambahkan, salah satu prinsip utama dalam hukum kepailitan adalah penghormatan terhadap hak-hak kreditur agar mereka mendapatkan perlakuan yang adil dan setara.
“Prinsipnya, hak-hak kreditur harus dihargai dan diperlakukan sama,” tukas Hendri. (lian)