Jakarta, Majalahjakarta.com – Penasehat Inpoin Center, Dr. Tasrif M. Saleh, menegaskan bahwa Kepolisian Republik Indonesia (Polri) harus terus berbenah diri dengan memperkuat budaya keteladanan dan profesionalisme untuk memulihkan kepercayaan publik.
Menurut Tasrif, maraknya kritik dan kemarahan publik terhadap institusi Polri belakangan ini disebabkan citra positif dan integritas aparat belum sepenuhnya tercermin dalam perilaku keseharian.
“Banyak pimpinan Polri yang baik dan jujur, bahkan lahir ‘Jenderal Hoegeng’ baru. Namun keteladanan itu perlu lebih dipantulkan ke masyarakat agar citra Polri tidak buram,” ujar Tasrif saat ditemui di Jakarta, Minggu (5/10).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pria bergelar Doktor dari Universitas Jayabaya ini menilai bahwa salah satu pekerjaan rumah terbesar Polri adalah menuntaskan reformasi budaya organisasi sebagaimana diamanatkan dalam reformasi Polri tahun 1999, yakni membangun supremasi keteladanan di semua lini.
“Tuntaskan pekerjaan rumah Polri, yaitu membangun supremasi keteladanan untuk seluruh anggota. Keteladanan dari elite harus manunggal hingga ke jajaran bawah,” katanya.
Tasrif juga mengingatkan agar anggota Polri tidak terjebak dalam budaya “flexing” atau pamer kemewahan yang saat ini marak di ruang publik, karena dapat menimbulkan persepsi negatif di masyarakat.
“Budaya flexing hanya menimbulkan kesan arogan dan haus harta. Itu berpotensi mendorong aparat untuk berperilaku koruptif atau kolusif demi memenuhi hasrat pamer,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa praktik semacam itu dapat merusak moral institusi dan memperlemah kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum.
Tasrif juga menyoroti kebiasaan penggunaan strobo atau sirine secara berlebihan dalam pengawalan pejabat yang dinilai sebagai simbol arogansi di ruang publik.
“Penggunaan strobo atau sirine ‘tot-tot wuk-wuk’ tanpa keperluan mendesak justru memancing emosi publik, sama halnya dengan pamer kemewahan di media sosial,” tegasnya.
Lebih lanjut, Tasrif menekankan pentingnya penghayatan nilai-nilai Tri Brata dan Catur Prasetya oleh seluruh anggota Polri agar menjadi pedoman moral yang hidup dalam tindakan nyata, bukan sekadar slogan seremonial.
“Polri punya Tri Brata dan Catur Prasetya. Tapi karena aspek budaya belum selesai reformasinya, nilai-nilai itu belum menyatu sepenuhnya dalam diri aparat,” ujarnya.
Ia menutup dengan penegasan bahwa upaya pembenahan Polri harus dilakukan secara sistemik dan terukur.
“Supaya perbaikan Polri tidak sekadar wacana, harus jelas bagian mana yang diperbaiki. Keteladanan aparat harus menjadi fokus utama,” pungkasnya. (Dvd/Red)