Jakarta, Majalahjakarta.com – Di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, air mata orang tua mantan Mendikbudristek Nadiem Makarim menetes. Mereka percaya sang anak jujur, sejak kecil hingga kini. Namun, publik justru bertanya-tanya: bagaimana mungkin proyek laptop Chromebook yang menuai kritik besar bisa lolos tanpa jejak korupsi? Inilah drama politik, bisnis, dan moral yang berlapis sinisme.
Air mata orang tua di ruang sidang selalu menghadirkan simpati. Begitu pula ketika Nono Anwar Makarim, ayah dari mantan Mendikbudristek Nadiem Makarim, hadir di PN Jakarta Selatan dalam sidang praperadilan anaknya yang terseret dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook. Dengan suara bergetar, ia meyakinkan publik bahwa anaknya jujur sejak kecil. “Harapan bebas dong, bebas karena di lubuk hati saya sendiri sebagai bapak, itu yakin betul bahwa dia jujur, jujur,” ujar Nono (Kompas, 3 Oktober 2025).
Tapi publik Indonesia punya kebiasaan unik: kalau sudah mendengar kata jujur disebut berkali-kali, biasanya justru makin curiga. Apalagi kata itu diucapkan dalam konteks kasus korupsi berjamaah yang nilainya tak main-main. Program pengadaan laptop untuk sekolah, yang semula diklaim akan meningkatkan mutu pendidikan digital, justru berakhir sebagai barang rongsokan di banyak daerah. Kualitas rendah, harga tinggi, dan distribusi yang amburadul. Beberapa laporan investigasi media bahkan menyebut laptop tersebut lebih sering jadi pajangan di lemari sekolah daripada dipakai murid (Tempo, 12 September 2023).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam sidang, Nadiem berusaha meyakinkan hakim bahwa ia tidak ikut mengatur proyek itu secara teknis. Ia menyebut hanya menetapkan kebijakan, sementara urusan teknis dilakukan pejabat di bawahnya. Sayangnya, publik sudah bosan dengan alasan klasik: “Saya hanya menetapkan kebijakan.” Seolah-olah kebijakan bisa terbang tanpa tangan-tangan yang mengendalikannya (Detik, 3 Oktober 2025).
Ironinya, laptop Chromebook yang menjadi biang perkara justru lahir dari narasi besar: digitalisasi pendidikan. Sebuah kata ajaib yang mampu membuka keran anggaran puluhan triliun tanpa perlu perdebatan panjang. Saat itu, publik dijejali jargon “Merdeka Belajar” lengkap dengan janji modernisasi. Namun realitas di lapangan jauh dari indah. Beberapa guru mengeluh laptop murahan itu tidak kompatibel untuk aplikasi pembelajaran. “Mau dipakai belajar matematika, jangankan grafik, buka file PDF saja sering macet,” kata seorang guru di Sumatera Barat (CNN Indonesia, 15 November 2023).
Tentu saja, dalam pusaran proyek miliaran rupiah, kata jujur bisa kehilangan makna. Para pejabat yang terlibat sama-sama pandai memainkan narasi. Satu pihak mengaku “tidak tahu-menahu,” pihak lain menyebut “sekadar menjalankan perintah.” Korupsi di negeri ini memang jarang dilakukan oleh maling sendirian. Ia biasanya berbentuk orchestra, dengan dirigen yang kadang justru tampak paling bersih. Dan ketika ditangkap, selalu ada yang berseru, “Dia korban politik.”
Yang lebih menyedihkan, kasus ini memperlihatkan bagaimana orang tua harus maju ke depan publik untuk membela anaknya. Kita tentu maklum, siapa pun akan membela darah dagingnya. Tapi apakah pembelaan emosional itu bisa menghapus fakta tentang kerugian negara? Bukankah air mata orang tua para siswa yang menerima laptop tak layak juga sama derasnya? (Kompas, 7 Oktober 2023).
Di luar ruang sidang, spekulasi merebak: benarkah Nadiem benar-benar bersih? Ataukah ia hanya terlalu polos hingga dikelilingi “kucing garong” birokrasi yang memanfaatkan idealismenya? Pertanyaan ini ibarat teka-teki lama di republik ini: pejabat yang pintar tapi jujur sering terjebak, sementara yang licik justru naik pangkat. Seperti kata pepatah sinis, “Kalau tak bisa melawan sistem, sistem akan melumatmu.”
Lucunya, sebagian publik masih terbelah. Ada yang tetap percaya Nadiem adalah reformis muda yang dipasung oleh birokrasi culas. Ada pula yang yakin ia bagian dari kartel politik-bisnis yang menyedot anggaran pendidikan. Yang pasti, sidang ini menjadi panggung drama dengan aktor utama seorang mantan menteri, ayah yang berlinang air mata, dan laptop murahan yang kini jadi barang bukti (Detik, 3 Oktober 2025).
Jika kita menengok ke belakang, pola ini bukan barang baru. Kasus serupa pernah menimpa proyek e-KTP yang digadang-gadang akan merevolusi administrasi kependudukan. Hasilnya? Korupsi triliunan rupiah, pejabat tinggi masuk penjara, dan rakyat tetap harus antre dengan sistem yang sering rusak (Tempo, 10 Mei 2017). Dari e-KTP ke Chromebook, pola yang sama muncul: jargon digitalisasi jadi pintu masuk bancakan anggaran.
Lebih jauh lagi, kasus-kasus korupsi di kementerian sering kali menunjukkan gejala yang mirip: pejabat utama berlindung di balik dalih “hanya kebijakan,” sementara eksekutor teknis jadi tumbal. Pola political shielding ini bekerja rapi, seakan ada skenario baku: menteri bersih, bawahan busuk. Padahal, dalam birokrasi yang hirarkis, mustahil ada proyek raksasa tanpa restu atasan. Jika benar menteri tidak tahu, berarti ia terlalu lemah untuk memimpin. Kalau tahu tapi diam, berarti ia ikut bermain. Dua-duanya sama buruk (Kompas, 15 Desember 2022).
Dan jangan lupakan kartu sakti lain: narasi “korban politik.” Setiap kali seorang pejabat muda, populer, dan dianggap punya masa depan terseret kasus besar, selalu ada yang menyebutnya korban intrik elite. Tentu, politik memang penuh intrik. Tapi jika semua pejabat yang kena kasus korupsi dianggap korban politik, siapa sebenarnya pelaku politik kotor itu? Apakah hantu tak bernama yang selalu muncul tiap tahun anggaran digelontorkan? (CNN Indonesia, 22 September 2024).
Apapun hasil sidangnya nanti, kasus Chromebook akan tetap tercatat sebagai simbol kegagalan digitalisasi pendidikan di era jargon. Anak-anak di sekolah negeri tak mendapatkan laptop berkualitas, guru pusing, dan negara merugi. Sementara itu, pejabat bersilat lidah di ruang pengadilan, dan orang tua pejabat terpaksa menahan malu sambil bersuara lirih: “Anak saya jujur.”
Di sinilah sinisme publik menemukan momentumnya. Karena di negeri ini, terlalu sering kata jujur diucapkan di ruang sidang, tapi hampir tak pernah hadir di ruang kelas.(Dwi TH)