Surabaya, Majalahjakarta.com – Dunia literasi Surabaya kembali mendapat warna baru. Jurnalis senior Imung Mulyanto resmi meluncurkan antologi puisi solo perdananya berjudul “Tuhan, Plis Deh…” di Ruang Multi Media Kampus STIKOSA-AWS Surabaya. Meski ini karya solo pertamanya, Imung sejatinya bukan pendatang baru dalam dunia puisi. Karya-karyanya telah mengisi lebih dari sepuluh antologi bersama komunitasnya, mulai dari Warumas (Wartawan Usia Emas), Sanggar Patriana Surabaya, hingga para mantan wartawan Surabaya Post. (3/10/25)
Namun, Imung dengan rendah hati menegaskan dirinya bukan penyair.
“Saya tidak berani menyebut diri penyair. Saya ini jurnalis yang kebetulan suka menulis puisi. Tapi saya berani menyatakan diri sebagai penulis, karena memang hidup saya berasal dari menulis,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dari Jurnalisme ke Skenario Film
Perjalanan panjang Imung di dunia tulis-menulis tak bisa dilepaskan dari profesinya sebagai jurnalis. Hampir 15 tahun ia mengabdi di Harian Sore Surabaya Post, kemudian sekitar 5 tahun di Jatim Newsroom Dinas Kominfo Jatim, dan lebih dari 12 tahun bersama Arek TV Surabaya.
Sebelum menjadi wartawan, jejak awalnya justru bermula dari dunia skenario film dan televisi. Ia pernah menulis naskah program pendidikan di Balai Produksi Media Televisi (BPM TV) Pustekkom Dikbud, dan delapan tahun bekerja bersama sastrawan legendaris Arswendo Atmowiloto dalam penulisan Film Seri ACI (Aku Cinta Indonesia), seri terpanjang di televisi era 1980-an.
Selain itu, Imung juga aktif menulis skenario untuk TVRI Jatim dan beberapa televisi swasta di Jakarta. Tidak berhenti di situ, ia merambah dunia cerpen, novel, esai, artikel, hingga biografi. Bahkan, ia kerap dipercaya menjadi editor untuk karya sahabat-sahabatnya, mulai dari “Wong Katrok Merambah Media” karya Sasetya Wilutama, novel “Halimun Biru di Singosari” karya Hariono Santoso, hingga “Ndara Mantri Guru” karya Prof. Sugimin WW.
Inspirasi dari Jurnalis Legendaris
Ketertarikan Imung pada puisi tak lepas dari inspirasi A. Azis, pendiri Surabaya Post. Dalam buku biografi “A. Azis Wartawan Kita” (1985) karya Nurinwa, A. Azis digambarkan bukan hanya menulis berita, tapi juga puisi, cerpen, dan naskah sandiwara yang menggugah semangat perjuangan di masa revolusi.
“Sebagai anak psikologis A. Azis, mungkin saya ikut tertular virus dari beliau,” tutur Imung sambil tersenyum.
Menjaga Konsistensi Berkarya
Buku “Tuhan, Plis Deh…” hanyalah satu dari deretan karya yang menandai konsistensi Imung di dunia literasi. Tahun lalu ia merilis novel perdana “Simfoni di Ujung Senja.” Tahun ini, ia tengah menyiapkan kumpulan cerpen dan esai yang siap diterbitkan.
Bagi Imung, menulis bukan sekadar profesi, melainkan nafkah, panggilan jiwa, sekaligus jalan pengabdian. Melalui buku puisi ini, ia berharap publik, khususnya generasi muda, semakin terdorong untuk mengekspresikan kegelisahan hidup lewat karya tulis.
Catatan Kegelisahan dalam Antologi Puisi Imung Mulyanto
Antologi puisi terbaru karya jurnalis senior Imung Mulyanto, berjudul “Tuhan, Plis Deh…”, menghadirkan 50 puisi yang dibagi dalam empat bagian: Puisi Cinta Semesta, Puisi Cinta Pertiwi, Puisi Cinta Sesama, dan Puisi Cinta Tuhan. Menariknya, proses kreatif penulisannya dilakukan dengan disiplin jurnalistik: ada riset, observasi, hingga wawancara.
Bagi Imung, menulis puisi bukan sekadar bermain diksi, melainkan proses sublimasi rasa.
“Saat menulis puisi, saya benar-benar menemukan kemerdekaan berekspresi. Tidak ada titipan pesan, tidak ada deadline. Hanya ada amanah rasa. Puisi bagi saya adalah catatan kegelisahan, ekspresi personal yang paling jujur,” ujarnya.
Puisi Sebagai Muhasabah
Dosen STIKOSA-AWS, Zaenal Arifin Emka, melihat karya Imung bukan hanya curahan hati, tetapi juga refleksi perjalanan hidup. Melalui puisinya, Imung seperti sedang menandai “terminal-terminal perjalanan panjang” manusia: dari alam ruh, dunia, barzakh, hingga menuju hari perhitungan.
“Kesadaran itu membuatnya bermuhasabah, bertanya apakah lakonnya sudah apik, peran yang dimainkannya sudah tunai. Ia tampak gelisah menakar bekal perjalanan panjangnya, ingin kelak menerima catatan amalnya dengan tangan kanan,” ujar Zaenal.
Menurut Zaenal, kegelisahan itu justru menunjukkan kecerdasan. Hidup, katanya, memang butuh bekal agar tidak terlunta-lunta di perjalanan akhir. Puisi Imung bisa menjadi penanda bagi anak cucu, bahwa perjalanan panjang hidup seseorang bukan hanya soal kisah, melainkan juga soal hikmah.
Impresif, Nakal, dan Blak-blakan
Sementara itu, penulis sekaligus editor produktif Adriono menilai, kehadiran Imung sebagai jurnalis justru memberi warna berbeda pada puisi-puisinya.
“Dulu ada anggapan, kalau penyair nyemplung jadi wartawan, karyanya bisa rusak. Tapi karya Imung justru unik. Tema, diksi, dan kedalaman puisinya beragam. Ada perjalanan, ada kritik sosial, ada religiusitas, tapi gaya ungkapnya tetap terasa segar,” kata Adriono.
Ia mencontohkan puisi “Telaga Kastoba” hasil kunjungan ke Pulau Bawean yang ditutup dengan bait tajam:
Kepintaran kadang memporakporandakan / Biarlah cara purba yang menjaganya//
Namun, jejak kewartawanan Imung tak bisa dihapus begitu saja. Gaya blak-blakan, lugas, bahkan menohok, muncul ketika puisinya menyentuh ranah kritik sosial. Dalam “Sajak Gusur-Menggusur”, ia menulis:
Penguasa menggusur rakyat / Rakyat jatuh / Menimpa penguasa! / Tunggulah saatnya: Kebajikan pasti akan menggusur kebathilan//
“Di sini terasa sekali jiwa watchdog seorang jurnalis. Puisinya kadang mirip pamflet politik, tapi tetap puitis dan bernas,” tambah Adriono.
Religius Tapi Populer
Hal lain yang menonjol adalah cara Imung mengolah tema religius dengan gaya populer, bahkan sedikit nakal. Dalam puisi “Maaf, Aku Belum Selesai”, misalnya, Tuhan dipersonifikasi sebagai dosen yang memberi kesempatan remedial.
Lebih jauh lagi, judul antologi “Tuhan, Plis Deh…” menegaskan keberanian gaya tersebut. Adriono mengutip baitnya:
Tuhan, plis deh… / Ajari lagi aku tertawa dengan tulus / Jangan dengan tontonan badut-badut berdasi bergaya anti korupsi / Tidak dengan akrobat birokrat penggarong uang rakyat / Apalagi bangsat berdandan sorban penipu umat
Puisi ini sekaligus menunjukkan kritik tajam Imung pada realitas sosial, dengan bahasa lugas yang tak kehilangan sisi sastranya.
Warisan Rasa dan Hikmah
Antologi “Tuhan, Plis Deh…” bukan sekadar kumpulan puisi, melainkan warisan kegelisahan seorang jurnalis yang menjadikan menulis sebagai jalan hidup. Ia meramu perjalanan panjang, kritik sosial, dan perenungan religius ke dalam satu wadah ekspresi.
Seperti kata Zaenal, buku ini bukan hanya catatan, tetapi juga hikmah yang ingin dibagi kepada generasi mendatang. Imung seakan berkata: “Saya gelisah, tapi dari kegelisahan itulah lahir bekal, kisah, dan doa.” (Redho)