Jakarta, Majalahjakarta.com – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang pemerintah sebagai wujud kepedulian pada gizi anak bangsa justru kembali tercoreng. Ironisnya, kali ini bukan anak kampung terpencil yang jadi korban, melainkan cucu dari Mahfud MD, mantan Menko Polhukam. Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, pun terpaksa meminta maaf, meski publik bertanya-tanya: seberapa aman sebenarnya program ini?
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, dengan wajah penuh ketidaknyamanan, akhirnya mengucapkan kalimat klasik yang selalu muncul saat pemerintah ketahuan lalai: “Kami mohon maaf atas hal itu.” Ucapan itu disampaikan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 1 Oktober 2025, menyusul kabar cucu Mahfud MD yang harus dirawat di rumah sakit usai keracunan makanan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) (MetroTVNews, 1 Oktober 2025).
Permintaan maaf itu terdengar lebih seperti template birokrasi ketimbang bentuk tanggung jawab yang sungguh-sungguh. Publik sudah terlalu sering mendengar kalimat serupa setiap kali ada masalah. Bedanya, kali ini kasusnya menimpa cucu pejabat senior. Baru kemudian Kepala BGN bergerak cepat, seperti kebakaran jenggot, menyampaikan maaf. Kalau yang keracunan hanya anak-anak di desa pelosok, apakah suara maaf itu akan sekeras hari ini?
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Program MBG sendiri sejak awal digadang-gadang sebagai program unggulan untuk mengatasi masalah stunting dan gizi buruk. Narasinya manis, bungkusan politiknya apik, dan gembar-gembornya menggelegar. Namun, faktanya, laporan keracunan massal akibat makanan MBG bukan kali ini saja terdengar. Media sebelumnya mencatat, sejumlah siswa di berbagai daerah juga mengalami hal serupa. Tetapi, alih-alih jadi evaluasi serius, kasus itu sering kali menguap begitu saja (Kompas, 15 September 2025).
Sungguh ironis, program yang seharusnya menyehatkan justru membuat anak-anak masuk rumah sakit. Publik pun mulai bertanya: apakah pemerintah benar-benar serius dalam menjamin kualitas makanan MBG, atau sekadar menebar proyek jumbo demi citra politik? Apalagi, distribusi makanan gratis ini melibatkan banyak vendor yang kadang lebih sibuk menghitung margin ketimbang menjaga kualitas gizi.
Kasus cucu Mahfud MD seakan menjadi alarm yang membangunkan elite politik bahwa masalah ini nyata. Sayangnya, harus menunggu seorang cucu pejabat untuk diracuni agar pejabat tinggi di Badan Gizi Nasional benar-benar meminta maaf. Anak-anak kecil di kampung, yang sebelumnya muntah-muntah setelah menyantap jatah MBG, mungkin hanya dianggap “efek samping yang wajar.”
Bahkan lebih sinisnya, publik bisa menduga bahwa permintaan maaf ini lebih ditujukan kepada Mahfud MD secara pribadi ketimbang kepada rakyat secara luas. Sebab, bukankah lebih penting menjaga hubungan baik dengan lingkar kekuasaan daripada menunjukkan komitmen penuh pada rakyat jelata? (Tempo, 20 September 2025).
Yang tak kalah menarik adalah bagaimana pemerintah selalu punya cara mengemas masalah menjadi sekadar “kejadian insidental.” Kepala BGN bisa dengan mudah berkata bahwa kasus ini akan ditelusuri, lalu membentuk tim evaluasi, lalu… ya, selesai. Rakyat lupa, kasus serupa muncul lagi, pejabat minta maaf lagi, dan siklus berulang.
Lucunya, program yang seharusnya menjamin standar gizi malah sering tak jelas pengawasan kualitasnya. Lembaga pengawas makanan, dari dinas hingga pusat, seolah sibuk membuat laporan panjang lebar yang ujungnya hanya menambah tebal map di rak kantor. Padahal, di lapangan, nasi kotak yang dibagikan kadang basi, lauknya tak layak, dan gizinya lebih mirip kantin murah ketimbang program nasional.
Cucu Mahfud MD yang jadi korban keracunan ini mungkin akan mendapat perhatian medis terbaik. Rumah sakit cepat tanggap, dokter terbaik turun tangan, dan Kepala BGN langsung minta maaf. Tapi bagaimana dengan ribuan anak lain yang mungkin hanya diberi obat warung oleh orang tuanya ketika muntah karena makanan MBG?
Tragedi ini justru membuka wajah asli dari program populis: manis di panggung politik, pahit di meja makan rakyat. Publik pun akhirnya melihat bahwa jargon “bergizi gratis” bisa berubah menjadi “berisiko gratis.” Apalagi jika semua hanya berorientasi pada pencitraan dan pemborosan anggaran.
Program MBG sudah menelan dana triliunan rupiah dari APBN (Detik, 10 Agustus 2025). Dengan dana sebesar itu, publik berhak menuntut standar kualitas yang ketat. Tetapi, kenyataan yang muncul justru makanan asal-asalan. Apakah dana besar itu benar-benar digunakan untuk kualitas makanan, atau lebih banyak “tersedot” ke biaya administrasi dan mark-up vendor?
Sinisme masyarakat semakin beralasan ketika melihat pola klasik proyek pemerintah: besar di anggaran, semrawut di pelaksanaan, minim pengawasan, dan berakhir dengan permintaan maaf setiap kali ada korban. Kalau sudah begini, sulit untuk tidak curiga bahwa MBG lebih mirip proyek politik jangka pendek ketimbang program gizi berkelanjutan.
Sementara itu, elite politik mungkin sibuk menenangkan Mahfud MD agar tidak terlalu marah. Karena kalau seorang Mahfud saja cucunya bisa keracunan, bagaimana dengan cucu rakyat biasa yang namanya tak pernah masuk headline berita? Sayangnya, publik sudah terlalu sering menjadi “kelinci percobaan” dari program-program pemerintah.
Pada akhirnya, kasus ini meninggalkan satu pertanyaan sinis: berapa banyak anak lagi yang harus masuk rumah sakit hanya untuk membuktikan bahwa program MBG memang butuh evaluasi serius? Ataukah kita menunggu sampai anak presiden sendiri keracunan, baru kemudian pemerintah benar-benar bertindak?
Jika jawabannya masih sebatas “kami mohon maaf atas hal itu,” mungkin publik tak perlu heran. Karena dalam kamus birokrasi kita, maaf lebih murah daripada perbaikan sistem.
Dan lebih getirnya lagi, publik harus menyaksikan kontras yang mencolok: anak-anak makan lauk basi dari MBG, sementara para pejabat yang mengelola anggarannya duduk di meja rapat dengan hidangan hotel bintang lima. Triliunan rupiah dianggarkan atas nama gizi rakyat, tapi di ujungnya justru lebih banyak mengisi perut para elite daripada menyehatkan generasi bangsa. Mungkin inilah definisi gizi seimbang versi pemerintah: rakyat kenyang janji, pejabat kenyang fasilitas.
Dwi Taufan Hidayat