Fhoto: Pantai Lagoon Ancol
M-J. Jakarta – Di balik gemerlapnya destinasi wisata Ancol yang menjadi ikon hiburan Ibu Kota, terselip ironi yang tak sepatutnya diabaikan. Dewan Pimpinan Pusat Peduli Nusantara Tunggal (PPNT) Jakarta, lembaga yang konsen terhadap kebijakan publik, melayangkan sorotan tajam kepada Badan Pembinaan Badan Usaha Milik Daerah (BPBUMD) DKI Jakarta. Kritiknya sederhana namun mengena: pengawasan dan pembinaan terhadap PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk dinilai masih jauh dari kata maksimal.
Mengapa hal ini penting? Karena di balik papan nama besar dan jargon Good Corporate Governance (GCG) yang dikumandangkan, terdapat lapisan realitas pahit yang dirasakan para pelaku UMKM di kawasan Ancol. Mereka yang seharusnya menjadi mitra strategis, justru terkesan hanya figuran di tengah permainan bisnis besar.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pengawasan yang Absen, Pembinaan yang Mandul
BPBUMD memiliki mandat besar: memastikan setiap BUMD menjalankan usaha dengan tata kelola yang baik, efisien, dan memberi dampak positif bagi masyarakat. Namun, dalam kasus Ancol, PPNT menilai pengawasan ini lebih sering berubah menjadi seremoni administratif ketimbang aksi nyata.
Kinerja PT Pembangunan Jaya Ancol memang selalu dihias dengan laporan tahunan yang manis, tetapi di lapangan, pedagang UMKM belum merasakan pembinaan yang berarti. Sementara tiket masuk, tarif sewa, hingga harga kebutuhan operasional terus bergerak naik, para pelaku usaha kecil seolah dipaksa beradaptasi tanpa diberi ruang bernapas.
Good Corporate Governance: Slogan atau Komitmen?
Good Corporate Governance (GCG) sering dijadikan tameng retorika bagi perusahaan pelat merah untuk menunjukkan keseriusan tata kelola. Namun, penerapan GCG tanpa pengawasan ketat ibarat perahu tanpa nakhoda-arahnya tidak jelas, tujuannya hanya wacana.
PPNT mendesak agar penerapan GCG di Ancol bukan sekadar formalitas laporan, melainkan terimplementasi dalam kebijakan nyata yang berpihak pada UMKM. GCG yang baik seharusnya berarti keterbukaan, keadilan, serta keberlanjutan bisnis yang tidak hanya menguntungkan perusahaan, tetapi juga ekosistem di sekitarnya.
Dampak Sosial Ekonomi: Siapa yang Untung, Siapa yang Tersingkir?
Ketika pengawasan minim dan pembinaan setengah hati, yang dirugikan bukan hanya pelaku UMKM, tetapi juga wajah ekonomi rakyat Jakarta itu sendiri. Kawasan wisata seperti Ancol seharusnya menjadi etalase pemberdayaan ekonomi kreatif dan usaha kecil, bukan arena monopoli bisnis yang hanya menguntungkan segelintir pihak.
Publik perlu bertanya: ke mana arah kebijakan BPBUMD? Apakah mereka pengawas yang tegas, atau hanya penonton di tribun kehormatan?
Solusi: Dari Retorika ke Aksi Nyata
Opini ini tidak sekadar mengkritik, tetapi juga mengajak semua pihak, khususnya Pemprov DKI Jakarta, untuk:
1. Menguatkan mekanisme pengawasan BPBUMD terhadap kinerja PT Pembangunan Jaya Ancol secara transparan.
2. Membuat program pembinaan UMKM yang terukur dan berbasis kebutuhan riil, bukan hanya sebatas pelatihan formalitas.
3. Memastikan penerapan GCG bukan jargon, melainkan kultur kerja yang konsisten, dengan indikator keberhasilan yang bisa diaudit publik.
BPBUMD DKI: Antara Mandat Pengawasan dan Realitas Proyek Mangkrak Ancol
Di tengah semarak pembangunan Jakarta yang digadang-gadang menuju kota global, bayang-bayang proyek mangkrak kembali mencuat. Kali ini sorotan mengarah ke PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk, salah satu ikon wisata dan properti terbesar di Ibu Kota, yang ternyata menyimpan catatan pekerjaan rumah: proyek-proyek yang mandek dan pengelolaan yang belum sepenuhnya optimal.
Kondisi ini bukan sekadar kesalahan teknis perusahaan semata. Di baliknya ada satu lembaga yang seharusnya berperan sebagai pengawas dan pembina: Badan Pembinaan Badan Usaha Milik Daerah (BPBUMD) DKI Jakarta.
Proyek Mangkrak: Gejala atau Penyakit Kronis?
BPBUMD DKI Jakarta memang mengklaim telah melakukan pembinaan terhadap PT Pembangunan Jaya Ancol terkait proyek-proyek yang mangkrak. Namun, pertanyaan mendasarnya:
Mengapa pembinaan baru dilakukan setelah masalah membesar?
Apakah pengawasan bersifat preventif atau hanya reaktif?
Proyek mangkrak bukan hanya soal tiang pancang yang terbengkalai. Ia adalah indikasi ketidakmampuan manajemen dan tata kelola yang seharusnya sudah terdeteksi sejak awal. Dan di sinilah BPBUMD seolah kehilangan taringnya: hadir, tetapi tidak berfungsi maksimal.
Keterkaitan Ancol dan BUMD: Saham Publik, Risiko Publik
Perlu diingat, PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk adalah satu dari 14 BUMD di DKI Jakarta, di mana mayoritas sahamnya dipegang oleh Pemerintah Provinsi. Artinya, setiap keuntungan yang diraih, setiap kerugian yang muncul, adalah bagian dari risiko dan hak publik Jakarta.
Dengan posisi strategis ini, pengelolaan Ancol seharusnya mencerminkan kepentingan daerah: transparan, akuntabel, dan berpihak pada kepentingan masyarakat luas, termasuk pemberdayaan UMKM, optimalisasi aset publik, dan pengembangan kawasan yang berkelanjutan.
Namun, kenyataannya, proyek mangkrak menjadi cermin buruk: di mana dana publik berpotensi tersandera, dan peluang ekonomi hilang sia-sia.
Mandat BPBUMD: Pengawas atau Penonton?
BPBUMD bukan lembaga kosmetik. Fungsinya vital: membina, mengawasi, dan mengarahkan BUMD agar selaras dengan misi pembangunan daerah. Tetapi dalam praktiknya, BPBUMD lebih sering terlihat sebagai penonton pasif ketimbang sutradara tegas.
Mengapa evaluasi tidak mampu mencegah kebocoran atau stagnasi proyek sejak dini?
Apakah mekanisme pengawasan masih terjebak pada laporan formalitas, bukan analisis mendalam?
Publik Punya Hak untuk Tahu
Ketika aset publik dikelola oleh perusahaan yang mayoritas sahamnya milik daerah, publik berhak menuntut transparansi total:
1. Audit terbuka terhadap proyek-proyek mangkrak dan alasan di baliknya.
2. Rencana pemulihan dan timeline yang jelas, bukan janji yang terus diulur.
3. Akuntabilitas BPBUMD sebagai pengawas utama, agar publik tak hanya mendengar slogan pembinaan, tetapi juga melihat hasilnya.
Arthur Noija SH