Di Atas Bendera Indonesia Incorporated

- Penulis

Sabtu, 16 Agustus 2025 - 23:52

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

M-J. JakartaBerdentang. Menggelegar. Ide Indonesia Incorporated hadir dengan sejuta harap, sekaligus berjuta tanya. Ia berdiri di persimpangan: antara cita luhur ekonomi Pancasila dan bayang-bayang korporatisme negara. Presiden Prabowo Subianto melemparkannya di hadapan para pengusaha, seolah menjanjikan jalan keluar dari krisis APBN warisan pemerintahan sebelumnya. Tetapi publik berhak bertanya: benarkah ini jalan baru menuju kemandirian nasional, atau sekadar program tanpa ruh-seperti banyak inisiatif yang lahir lalu menguap di masa lalu?

Gagasan besar Indonesia Incorporated merefleksikan ambisi membangun negara dengan paradigma korporasi: seluruh potensi sumber daya, institusi, hingga warga negara diarahkan secara terintegrasi demi tujuan nasional. Dalam kerangka ekonomi-politik Pancasila, ia bukan semata jargon manajerial. Ia diklaim sebagai upaya menghidupkan kembali amanat Pasal 33 UUD 1945-bahwa produksi dan distribusi haruslah dikelola sebagai usaha bersama untuk kemakmuran rakyat, bukan monopoli segelintir elite.


Agus Rizal (Ekonom Universitas MH Thamrin)

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kini tantangannya: mampukah gagasan ini diterjemahkan menjadi kebijakan nyata yang berpihak pada rakyat? Ataukah ia akan tersandera oleh kepentingan bisnis besar yang selama ini akrab dengan kekuasaan? Mari kita telisik, dengan pelan, serius, dan tentu saja kritis.

Secara ideologis, Indonesia Incorporated hadir sebagai upaya meramu efisiensi pasar dengan intervensi strategis negara. Presiden Prabowo menegaskan bahwa Ekonomi Pancasila adalah sintesis “yang terbaik dari kapitalisme dan sosialisme”: pasar dimanfaatkan untuk inovasi dan kompetisi, sementara negara hadir memastikan pemerataan, melindungi sektor strategis, serta mendistribusikan manfaat secara adil. Formula ini mengingatkan pada doktrin middle way economics yang sukses berkembang di negara-negara Skandinavia, namun tentu dengan fondasi kultural dan hukum yang khas Indonesia.

Dari sisi apresiasi, pendekatan ini memiliki relevansi strategis. Pertama, ia menegaskan arti penting kedaulatan ekonomi di tengah derasnya arus neoliberalisme yang cenderung melemahkan kapasitas negara. Kedua, konsep ini membuka ruang sinergi lintas sektor-pemerintah, BUMN, swasta nasional, hingga koperasi-untuk bergerak sebagai entitas kolaboratif, bukan saling menjatuhkan dalam persaingan destruktif. Ketiga, orientasi pembangunan yang bertumpu pada sumber daya domestik, mulai dari mineral strategis hingga potensi kelautan, menandai arah pembangunan yang berbasis keunggulan komparatif sekaligus berorientasi jangka panjang.

Namun, dari perspektif ekonomi politik, kritik tajam tak bisa dihindarkan. Pertama, gagasan ini berpotensi tergelincir ke dalam state corporatism-negara menjelma bak holding raksasa yang mengaburkan batas antara kepentingan publik dan kepentingan elite birokratis. Kedua, tanpa kerangka akuntabilitas yang kokoh, integrasi nasional berisiko menyusut menjadi konsolidasi kekuasaan ekonomi-politik segelintir kelompok, alih-alih demokratisasi akses dan distribusi. Situasi ini berbahaya karena justru melahirkan oligarki hitam yang super rakus dan serakah.

Ketiga, terdapat jebakan trickle-down effect-prioritas berlebihan pada korporasi besar dengan asumsi keuntungan otomatis mengalir ke bawah. Fakta di banyak negara menunjukkan efek ini sering gagal, bahkan justru memperlebar jurang ketimpangan. Jika dibiarkan, ia dapat melumpuhkan daya saing UMKM, menghancurkan kelas menengah, dan menjerumuskan kelas bawah ke jurang semakin dalam.

Maka, pertanyaan mendasar tetap sama: Apakah Indonesia Incorporated akan menjadi jalan baru menuju kedaulatan ekonomi berkeadilan, atau sekadar wajah baru dari oligarki lama yang berganti nama?

Dari sudut pandang kedaulatan ekonomi, Indonesia Incorporated berhadapan dengan dilema mendasar: bagaimana menjamin kontrol penuh atas sektor-sektor strategis, sementara ketergantungan terhadap modal, teknologi, dan pasar luar negeri masih begitu tinggi. Narasi resmi boleh saja menekankan pengelolaan sumber daya oleh negara demi rakyat, tetapi realitas global menunjukkan hal lain. Dalam rantai pasok internasional, negara berkembang seperti Indonesia sering diposisikan lemah. Ironisnya, alih-alih negara yang menguat, justru lahir fenomena swastanisasi negara: kepala negara tak ubahnya menjadi broker atau makelar dalam bisnis global.

Jika integrasi ekonomi nasional dilakukan tanpa strategi substitusi impor yang sistematis dan penguatan basis industri hulu, maka konsep ini hanya akan melanggengkan ketergantungan eksternal. Indonesia Incorporated bisa sekadar menjadi rebranding dari model pembangunan lama-tetap berbasis modal asing sebagai penggerak utama. Padahal, kita tahu: modal asing itu sering kali ilusi, penenang sesaat yang meninabobokan, bukan obat mujarab yang menyembuhkan.

Baca Juga:  Due Process, Bukan Dalih Proses

Lebih jauh, ancaman terhadap kedaulatan ekonomi juga datang dari potensi penetrasi korporasi multinasional. Melalui skema “kemitraan strategis” atau “aliansi modal”, mereka bisa dengan mudah masuk dan mengambil alih kontrol aset vital. Tanpa regulasi ketat dan keberpihakan jelas kepada entitas nasional, sinergi yang diidamkan bisa berubah menjadi alih kendali. Sejarah sudah membuktikan: di sektor energi, tambang, hingga pangan, kontrak jangka panjang yang timpang kerap merugikan bangsa, bahkan mengunci negara agar tak bisa mengambil alih kembali kendali di kemudian hari.

Karena itu, gagasan besar ini wajib berdiri di atas fondasi hukum yang kokoh: pengelolaan sektor strategis harus berbasis kontrol mayoritas domestik, dengan mekanisme sovereignty safeguard yang tak bisa dinegosiasikan. Titik. Kita adalah pemilik, penguasa, pengelola, sekaligus penarik keuntungan sebesar-besarnya. Tidak ada tafsir lain.

Dalam kerangka analisis ekonomi politik berbasis ideologi Pancasila, Indonesia Incorporated tidak boleh dipersempit hanya sebagai manajemen korporasi berskala negara. Pancasila mengandung prinsip kedaulatan rakyat dalam politik sekaligus kedaulatan ekonomi dalam Pasal 33 UUD 1945, yang menegaskan penguasaan sumber daya alam oleh negara adalah mandat konstitusional untuk kemakmuran seluruh rakyat. Bukan alat akumulasi modal bagi elite, apalagi instrumen dominasi korporasi besar. Sekali lagi, niat dan praktiknya harus dari, oleh, dan untuk kemakmuran seluruh warga negara.

Teori state capitalism (Bremmer, 2010) mengingatkan kita: ketika negara mengadopsi logika pasar tanpa filter ideologis, maka efisiensi dan akumulasi keuntungan akan ditempatkan di atas distribusi yang adil. Jika implementasi Indonesia Incorporated terlalu bias pada efisiensi ala kapitalisme dan mengandalkan mitos trickle-down effect, maka sila kelima “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” hanya akan jadi retorika kosong, bahkan bisa mengkhianatinya.

Lebih jauh, orientasi keuntungan tanpa pemerataan jelas menyimpang dari asas gotong royong ekonomi-roh Pancasila yang membedakan kita dari kapitalisme murni. Negara yang seharusnya menjadi penjaga kepentingan kolektif justru berisiko tergelincir menjadi aktor pasar pragmatis, yang mengabaikan fungsi utamanya sebagai penjamin keadilan sosial.

Sejarah mengajarkan, Bung Hatta (1944) menegaskan bahwa koperasi adalah tulang punggung demokrasi ekonomi. Dari sana lahirlah prinsip-prinsip demokratisasi ekonomi: nasionalisasi, restrukturalisasi, rekapitalisasi, redistribusi, hingga reindustrialisasi. Maka, dalam tafsir Presiden Prabowo, Indonesia Incorporated wajib memastikan koperasi dan usaha kecil menengah bukan sekadar ornamen, tetapi bagian inti dari arsitektur pembangunan. Jika tidak, slogan “gabungan kapitalisme dan sosialisme” bisa berakhir sebagai dominasi kapitalisme negara yang mengubur semangat kekeluargaan, bahkan menghancurkannya dari dalam.

Kesimpulannya, Indonesia Incorporated adalah gagasan besar dengan daya tarik politis sekaligus ideologis. Ia menyodorkan narasi alternatif terhadap neoliberalisme, sambil berusaha membumikan Pancasila ke dalam kebijakan ekonomi-politik Indonesia kontemporer. Tetapi, sebagaimana setiap desain besar, nilainya tidak akan diukur dari retorika atau dokumen kebijakan semata. Ujian sejatinya ada pada: mampukah ia menghadirkan distribusi kesejahteraan yang nyata, menjaga kedaulatan sumber daya, serta melindungi demokrasi ekonomi dari kooptasi kekuasaan?

Tanpa itu semua, idealisme ini berisiko terjebak menjadi sekadar slogan korporatis berbungkus nasionalisme. Ia bisa menjelma “ekonomi menara gading”: tampak indah dan megah di permukaan, tetapi rapuh secara ideologis. Sebuah paradoks pembangunan-gemerlap pada fasad, keropos pada fondasi. Mengapa? Karena tercerabut dari akar Pancasila. Wajahnya mungkin menawan, tetapi pondasinya goyah lantaran mengabaikan keadilan sosial dan kedaulatan ekonomi-ruh sejati ideologi bangsa.

Semoga saja gagasan ini tidak berakhir sebagai ilusi megah yang menipu pandangan, melainkan benar-benar menjelma menjadi jalan baru menuju kesejahteraan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Yudhie Haryono (Presidium Forum Negarawan) dan Agus Rizal (Ekonom Universitas MH Thamrin)

Berita Terkait

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran
Pertumbuhan 5 Persen, Tapi Siapa yang Untung?
Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda
Ketika Prioritas Menentukan Hak Pasien BPJS
Ketika Negara Kaya Tak Butuh Pajak Rakyat
Pantai Publik Milik Negara
Macetnya Pelabuhan, Macetnya Akal Negara: Saat Regulasi Tak Lagi Punya Gigi
Dosa Ekologis di Gerbang Ekonomi: Membongkar Skandal Limbah dan Kealpaan Hukum di Tanjung Priok
Berita ini 13 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 6 November 2025 - 04:03

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran

Kamis, 6 November 2025 - 03:30

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Rabu, 5 November 2025 - 19:27

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 November 2025 - 19:03

Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”

Rabu, 5 November 2025 - 17:56

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 November 2025 - 17:24

Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda

Selasa, 4 November 2025 - 16:56

Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria

Selasa, 4 November 2025 - 16:29

UIN Jakarta Kucurkan Rp2,85 Miliar Beasiswa untuk Dosen dan Tendik: Dorong Kualitas SDM dan Layanan Kampus

Berita Terbaru

Hukum

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Kamis, 6 Nov 2025 - 03:30

Berita

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 Nov 2025 - 19:27

Berita

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 Nov 2025 - 17:56

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x