Indonesia Pasca Kwik Kian Gie

- Penulis

Jumat, 1 Agustus 2025 - 20:39

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

M-J. Jakarta – Lini masa kita banjir duka. Warganet berkabung. Tokoh-tokoh bangsa memberi hormat terakhir. Begitulah jika republik kehilangan salah satu patriot terbaiknya. Sosok yang tak hanya pahlawan dalam arti simbolik, tetapi benar-benar mewariskan tradisi perlawanan terhadap ketidakadilan, dan perjuangan untuk keadilan sosial, kesejahteraan rakyat, serta kesentosaan bangsa.

Dialah Kwik Kian Gie (KKG). Ekonom yang tak hanya bicara angka dan grafik, tetapi juga nurani dan etika kebangsaan. Dalam sejarah ekonomi-politik Indonesia, ia dikenal sebagai intelektual publik yang konsisten mengkritik arah pembangunan nasional-terutama saat rezim Orde Baru menjadikan negara ini lahan monopoli, ladang oligarki, dan surga kleptokrasi. Ia membongkar bagaimana jaringan kuasa kala itu hanya menguntungkan segelintir orang: keluarga, kroni, dan para gedibal yang hidup dari rente kebijakan. Sebuah praktik yang mengingatkan kita pada cara kolonial VOC menguras nusantara hingga bangkrut secara moral dan finansial-dan pada akhirnya dilawan oleh para pendiri republik.

Apa sesungguhnya tawaran besar dari KKG? Ia menyuarakan satu prinsip sederhana namun revolusioner: pembangunan harus dijalankan dengan akal sehat dan berakar pada nilai-nilai Pancasila. Ekonomi Indonesia, menurutnya, tak boleh hanya dikejar lewat pertumbuhan, tetapi harus berpijak pada keadilan sosial dan kesejahteraan kolektif. Ia mengingatkan kita bahwa keberhasilan pembangunan bukan ditentukan oleh kemegahan infrastruktur atau angka makro ekonomi semata, tetapi oleh seberapa jauh negara mampu melindungi dan memajukan martabat rakyatnya.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Cita-cita republik yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, menurut KKG, harus menjadi kompas dalam setiap kebijakan ekonomi-politik nasional. Dan untuk mencapai itu, negara harus membenahi hal paling fundamental: pendidikan.

KKG dengan tegas menyatakan bahwa peningkatan kualitas ekonomi Indonesia tak akan mungkin tercapai tanpa reformasi pendidikan nasional. Pendidikan, dalam pandangannya, harus dirancang ulang agar melahirkan manusia yang merdeka secara pikir, mandiri dalam bertindak, dan setia pada jati diri bangsanya. Bukan manusia robotik yang hanya siap kerja, tetapi manusia Indonesia seutuhnya-yang mampu berpikir kritis, berdaya saing global, namun tetap berakar pada nilai-nilai lokal.

Ia mengusulkan agar sistem pendidikan disusun berdasarkan situasi dan kondisi Indonesia, serta bertumpu pada kebudayaan luhur nusantara. Pendidikan seperti inilah yang akan melahirkan generasi unggul-bukan generasi yang mudah tergoda menjadi koruptor, manipulator, atau penjilat kekuasaan, melainkan generasi yang siap menjadi pelayan publik dan panitia kesejahteraan rakyat.

Lebih jauh lagi, pendidikan model KKG tidak dimaksudkan hanya untuk menyuplai kebutuhan pasar kerja, tetapi untuk membebaskan manusia Indonesia dari ketergantungan dan inferioritas. Ia menginginkan sistem yang membentuk warga negara yang sadar, kritis, dan tahan terhadap kolonialisasi ideologis maupun ekonomi.

Dengan sistem pendidikan dan kurikulum yang tepat, para lulusan Indonesia seharusnya tumbuh menjadi manusia unggul-berdikari dalam ekonomi, berdaulat dalam politik, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Jika pendidikan berhasil melahirkan manusia semacam itu, maka ketika mereka menduduki jabatan publik-baik sebagai politisi, birokrat, atau pejabat negara-mereka tidak akan berubah menjadi penjahat berkerah, melainkan menjadi pelayan rakyat dan panitia kesejahteraan bangsa.

Dari sekian banyak pemikiran Kwik Kian Gie, ada dua yang patut menjadi renungan serius bangsa ini: pertama, tentang transformasi konglomerasi menjadi oligarki; kedua, soal sistem kurs bebas yang justru menjelma menjadi mekanisme depresiasi permanen terhadap nilai tukar rupiah.

1. Oligarki: Bahaya yang Dinormalkan
KKG secara tegas menyebut bahwa konglomerasi yang bertransformasi menjadi oligarki bukan sekadar penyimpangan ekonomi, melainkan pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan. Bagi KKG, oligarki adalah bentuk mutakhir dari penjajahan: bukan melalui senjata, tetapi lewat kendali modal, narasi, dan kebijakan publik. Ini adalah efek langsung dari penerapan ekonomi pasar bebas yang anti-negara, anti-pemerataan, dan bersandar pada keserakahan segelintir elite.

Jika oligarki tak berhasil dibongkar, maka secara substantif kita tidak sedang menjalankan negara, melainkan hanya mengelola ladang kuasa untuk kepentingan korporasi. Dalam kerangka inilah, KKG memperingatkan: selama tradisi oligarki tak dihapus, maka proklamasi kemerdekaan kita telah gagal secara praksis.

Baca Juga:  Investasi Berdaulat Jalan Baru Menuju Kemandirian

2. Depresiasi Rupiah: Skenario yang Tidak Netral
Soal depresiasi rupiah, KKG menolak pendekatan yang semata teknokratis. Ia melihat bahwa penurunan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing bukan semata karena dinamika pasar, melainkan juga disengaja-dipelihara sebagai bagian dari strategi sistemik untuk melumpuhkan ekopolitik nasional.

Secara umum, depresiasi bisa disebabkan oleh ketidakseimbangan fundamental: defisit neraca perdagangan, inflasi tinggi, ketidakstabilan politik, atau fluktuasi suku bunga. Namun, menurut KKG, penjelasan itu tidak cukup. Ia mencurigai adanya agensi-agensi tak kasat mata, kekuatan luar dan dalam negeri-asing, aseng, dan asong-yang bekerja dalam jaringan kerjasama gelap untuk menjadikan Indonesia sebagai dapur pencucian uang global.

Akibatnya? Sejak kemerdekaan hingga hari ini, rupiah terdepresiasi hingga lebih dari 2.500%. Satu contoh kecil saja, pada akhir Desember 2024, depresiasi rupiah terhadap dolar AS tercatat sebesar 6%. Namun jika dihitung secara tahunan, dari 21 Juni 2023 hingga 21 Juni 2024, depresiasi melonjak hingga 8,45%. Ini bukan sekadar data ekonomi. Ini adalah indikator kedaulatan yang melorot drastis.

Apa akibat paling mendasar dari depresiasi rupiah? Jawaban paling jujur adalah: rupiah kehilangan kedaulatan. Ia tak lagi menjadi simbol kekuatan ekonomi nasional. Ia tak berdaya di tanah kelahirannya sendiri. Ketika mata uang sebuah bangsa tak mampu melindungi daya beli rakyatnya, maka sesungguhnya kedaulatan negara itu tengah dikikis secara perlahan namun pasti.

Dampaknya meluas. Tenaga Kerja Indonesia (TKI/W) melonjak jumlahnya karena banyak warga terpaksa mencari nafkah di luar negeri demi memanfaatkan selisih kurs. Harga barang impor pun ikut naik, yang secara langsung memicu kenaikan biaya produksi, dan berujung pada inflasi yang membebani rakyat lapisan bawah. Ketergantungan pada produk luar justru semakin dalam di saat rupiah semakin melemah. Kita membeli dengan harga mahal, tetapi menjual dengan harga murah. Kita bekerja keras, tetapi hasilnya lari ke luar negeri.

Inilah dampak dari sistem global yang dirancang bukan untuk kemakmuran kita, melainkan untuk memperpanjang ketergantungan kita.

Dua persoalan besar dari desain global tadi-oligarki dalam negeri dan pasar bebas internasional-sepertinya masih akan berlangsung dalam waktu lama. Bahkan bisa jadi semakin akut. Mengapa? Karena kritik keras KKG tak dihiraukan, apalagi dijadikan bahan koreksi struktural. Para elite masih sibuk mempertahankan status quo. Tak ada kemauan untuk menciptakan kontra skema, apalagi anti-tesa sistemik yang bisa membebaskan Indonesia dari cengkeraman kekuatan pasar global.

Cengkeraman pasar masih terlalu kuat. Ia bukan hanya menguasai istana, tapi juga menancapkan kuku di berbagai kelembagaan negara-termasuk di sektor keuangan, pendidikan, dan bahkan narasi media. Akibatnya, Indonesia pasca-KKG tetap saja dikendalikan oleh logika pasar, bukan oleh kehendak rakyat. Negeri ini perlahan-lahan tergelincir menjadi bangsa miskin, berpenduduk senjang, warga-negara timpang, produsen babu, dan secara struktural-terjajah dalam diam.

Namun, di tengah kegersangan sistem, Kwik Kian Gie beruntung pernah diuji oleh sejarah. Ia tak hanya menjadi pengamat. Ia ikut bertarung dalam gelanggang birokrasi: sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi dan Keuangan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, hingga Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat. Semua peran itu ia jalani dengan penuh integritas dan hasil yang membanggakan. Ia lulus dalam ujian kekuasaan-tanpa kehilangan suara nurani.

Lebih dari itu, ia juga meninggalkan warisan lembaga pendidikan: Institut Bisnis & Informatika Indonesia (IBII) yang kini dikenal sebagai Kwik Kian Gie School of Business. Bukan hanya sekadar kampus, tetapi pusat pembibitan nalar merdeka yang diharapkan bisa melahirkan generasi baru pembaharu bangsa.

Kwik Kian Gie bukan hanya ekonom. Ia adalah pejuang dalam sunyi, pelurus jalan di tengah simpang siur kebijakan, dan penabuh genderang perang terhadap ketidakadilan struktural.
Selamat jalan pahlawan. Kami teruskan perjuanganmu.

Yudhie Haryono
CEO Nusantara Centre

Berita Terkait

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran
Pertumbuhan 5 Persen, Tapi Siapa yang Untung?
Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda
Ketika Prioritas Menentukan Hak Pasien BPJS
Ketika Negara Kaya Tak Butuh Pajak Rakyat
Pantai Publik Milik Negara
Macetnya Pelabuhan, Macetnya Akal Negara: Saat Regulasi Tak Lagi Punya Gigi
Dosa Ekologis di Gerbang Ekonomi: Membongkar Skandal Limbah dan Kealpaan Hukum di Tanjung Priok
Berita ini 36 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 6 November 2025 - 04:03

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran

Kamis, 6 November 2025 - 03:30

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Rabu, 5 November 2025 - 19:27

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 November 2025 - 19:03

Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”

Rabu, 5 November 2025 - 17:56

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 November 2025 - 17:24

Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda

Selasa, 4 November 2025 - 16:56

Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria

Selasa, 4 November 2025 - 16:29

UIN Jakarta Kucurkan Rp2,85 Miliar Beasiswa untuk Dosen dan Tendik: Dorong Kualitas SDM dan Layanan Kampus

Berita Terbaru

Hukum

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Kamis, 6 Nov 2025 - 03:30

Berita

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 Nov 2025 - 19:27

Berita

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 Nov 2025 - 17:56

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x