M-J. Jakarta – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Peduli Nusantara Tunggal-sebagai garda terdepan pengawas kebijakan publik-menyatakan kecaman keras atas terungkapnya praktik kredit fiktif di Bank DKI. Ini bukan sekadar pelanggaran prosedural, melainkan konspirasi kejahatan terstruktur yang mengindikasikan inkompetensi sistemik dan penyalahgunaan wewenang oleh elite birokrasi dan korporasi lokal.
1. Kredit Fiktif: Modus Korupsi yang Disterilkan
Praktik ini bukan kecelakaan administratif, melainkan desain kriminal yang melibatkan:
– Pemalsuan dokumen (identitas nasabah, laporan keuangan).
– Kolusi internal (oknum pejabat Bank DKI, komite kredit, dan pihak eksternal).
– Penyalahgunaan otoritas oleh pejabat pembuat komitmen (PPK) yang mengabaikan prinsip due diligence.
Jika ditelusuri, pola ini mengikuti skema korupsi klasik seperti kasus BLBI atau mafia perbankan era 90-an. Bedanya, kali ini terjadi di bank milik pemerintah daerah-entitas yang seharusnya menjadi tulang punggung pembiayaan UMKM, bukan kandang penyamun berdasi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
2. Cacat Hukum dan Pengkhianatan terhadap Keadilan
Secara yuridis, praktik ini menghancurkan tiga pilar hukum:
1. Perdata: Pelanggaran Pasal 1320 KUHPerdata (perjanjian cacat hukum karena tidak ada kesepakatan nyata).
2. Pidana: Memenuhi unsur penipuan (Pasal 378 KUHP), korupsi (UU Tipikor), dan pencucian uang (UU TPPU).
3. Administratif: Pelanggaran prinsip good corporate governance (POJK No. 55/2016 tentang Bank Umum).
Ironisnya, meski bukti sudah terungkap, tidak ada penindakan tegas. Apakah ini bukti bahwa hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas?
3. Oligarki Keuangan dan Politisi Bermain Api
Kasus ini bukan sekadar masalah teknis perbankan, melainkan cermin bobroknya tata kelola keuangan daerah. Beberapa fakta mengerikan:
– Dana publik dikorupsi melalui rekayasa kredit, sementara masyarakat kesulitan mengakses pembiayaan.
– Pejabat bank dan politisi lokal diduga terlibat, tetapi proses hukum berjalan lambat-seolah ada upaya buying time untuk menghilangkan jejak.
– OJK dan BPK terkesan tutup mata, padahal ini kasus sistemik yang harusnya memicu audit besar-besaran.
Jika dibiarkan, ini akan menjadi preseden buruk bagi bank BUMD lain di Indonesia.
4. Tuntutan Revolusioner: Hukum Mati atau Reformasi Total
DPP Peduli Nusantara Tunggal mendesak:
1. Darurat Audit Forensik oleh tim independen (melibatkan KPK, PPATK, dan auditor internasional) untuk mengungkap seluruh aliran dana kredit fiktif.
2. Penahanan Segera terhadap seluruh pejabat Bank DKI yang terlibat, tanpa pandang bulu.
3. Pembersihan Manajemen: Pecat seluruh komisaris dan direksi yang lalai, termasuk mereka yang “hanya diam” saat kejahatan terjadi.
4. Intervensi Gubernur DKI: Sebagai pemegang saham utama, harus bertanggung jawab memutus rantai mafia ini.
Saatnya Rakyat Melawan
Kasus ini bukan lagi tentang “dugaan“, melainkan pembongkaran kejahatan terang-terangan. Jika aparat hukum masih bermain aman, maka masyarakat harus mengambil peran:
– Gugatan class action oleh nasabah dan pemilik identitas yang dipalsukan.
– Tekanan politik melalui DPRD DKI untuk memaksa transparansi.
– Gerakan sosial memboikot layanan Bank DKI hingga ada kepastian hukum.
Kami tidak butuh permintaan maaf kosong. Kami butuh penjarakan pelaku, sita aset haram, dan reformasi total.
(Arthur Noija SE)

















