Jakarta, Majalahjakarta.com – Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Utara akhirnya menegaskan langkah tegas: mulai 17 November 2025, truk dan kontainer bermuatan berat akan dibatasi jam operasionalnya di Jalan Raya Cilincing. Kebijakan ini lahir dari rapat bersama lintas instansi, menandai fase baru dalam upaya menata lalu lintas logistik di kawasan pelabuhan tersibuk di Indonesia.
Gerbang Logistik yang Menyesakkan
Sebagai pintu keluar-masuk utama arus barang ke Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara memikul beban logistik nasional yang berat. Ribuan truk kontainer, depo, bengkel, dan pool kendaraan berat menjadi pemandangan harian di jalur padat seperti Jl. Raya Cilincing, Akses Marunda, Yos Sudarso, dan R.E. Martadinata.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun di balik geliat ekonomi itu, tersimpan paradoks: tumbuhnya risiko keselamatan dan ketimpangan tata ruang. Dalam tiga tahun terakhir, tercatat 328 kasus kecelakaan lalu lintas di wilayah ini, dengan kerugian material mencapai Rp 1,1 miliar dan korban jiwa yang terus bertambah (data Polres Jakarta Utara, 2024).
Kepadatan truk besar pada jam-jam sibuk pagi dan sore memperlihatkan betapa ruang jalan di Jakarta Utara telah menjadi arena perebutan antara ekonomi dan keselamatan publik.
Kebijakan yang Berakar pada Regulasi, Bukan Sekadar Reaksi
Kebijakan pembatasan jam operasional ini bukan lahir dari ruang hampa. Ia memiliki dasar kuat:
Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan,
Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2024 tentang Kelas Jalan Berdasarkan Penggunaan,
serta Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 5 Tahun 2014 tentang Transportasi.
Selain itu, Suku Dinas Perhubungan Jakarta Utara juga mengusulkan revisi Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 5148/1999, yang selama ini menjadi payung hukum utama bagi larangan mobil barang bermuatan berat di jalan-jalan tertentu.
Langkah teknisnya meliputi:
1. Sosialisasi kepada pemilik depo dan pool sejak Desember 2024,
2. Pemasangan spanduk dan rambu pembatasan,
3. Pelaksanaan uji coba dan evaluasi efektivitas di lapangan, melibatkan unsur kelurahan, kecamatan, dan Polres Jakarta Utara.
Antara Ketegasan dan Konsistensi
Kebijakan ini seolah menjadi “angin segar” bagi warga yang selama ini resah terhadap truk-truk raksasa yang melintas dekat sekolah dan permukiman. Namun, kritik tajam muncul dari kalangan akademisi dan pemerhati transportasi:
apakah pembatasan jam operasional cukup menyentuh akar persoalan, atau hanya sekadar penataan simbolik?
Pasalnya, penempatan depo dan pool truk banyak yang tidak sesuai zonasi, bahkan berdampingan dengan kawasan padat penduduk. Tanpa penegakan hukum tata ruang, pembatasan waktu bisa berubah menjadi solusi setengah hati.
Selain itu, kerusakan jalan akibat kendaraan over load dan minimnya infrastruktur jalan alternatif membuat kebijakan ini berpotensi menimbulkan bottleneck baru. Kritik lain mengarah pada koordinasi lintas lembaga yang kerap terhambat ego sektoral.
“Kebijakan ini baik, tapi harus diikuti dengan audit zonasi, penataan depo, dan rekayasa lalu lintas berbasis data real-time,” ujar seorang analis transportasi.
Pelajaran untuk Tata Kelola Kota
Kasus Cilincing menjadi studi kebijakan menarik tentang bagaimana kota menata ulang dirinya di tengah desakan ekonomi global. Ia memperlihatkan dilema klasik: antara melancarkan logistik dan menjaga keselamatan warga.
Bagi Jakarta Utara, langkah ini bukan sekadar mengatur jam jalan, tapi menguji kapasitas tata kelola publik – apakah birokrasi mampu menyeimbangkan kepentingan industri dan hak hidup aman bagi warganya.
Jika berhasil, Cilincing bisa menjadi model tata kelola transportasi perkotaan yang humanis dan berbasis data. Jika gagal, kebijakan ini hanya akan menjadi catatan administratif tanpa daya ubah.
Anung MHD
Editor:Red

















