Jakarta, Majalahjakarta.com – Ketika seorang komisaris BUMD menyalakan retorika “gorok leher” dalam orasi publik, bukan hanya institusi yang tercoreng, tetapi demokrasi dan etika jabatan ikut tercabik. Posisi publik tak seharusnya menjadi mimbar ancaman, apalagi bagi pejabat yang digaji dari uang rakyat. Ini bukan sekadar kontroversi verbal, melainkan ujian moral bagi sistem tata kelola kita.
Di tengah panas siang Jakarta, mikrofon di tangan seorang komisaris BUMD tiba-tiba berubah menjadi alat ancaman. Kalimat “gorok leher” meluncur dari podium, mengguncang ruang publik dan menguji kewarasan demokrasi kita.
Pernyataan itu datang dari Muhammad Ainul Yakin Simatupang, anggota Dewan Komisaris PT Transportasi Jakarta (Transjakarta). Dalam sebuah orasi, ia menuding acara “Xpose Uncensored” di Trans7 menghina kiai, ulama, dan Nahdlatul Ulama (NU). Nada suaranya meninggi, emosinya bergejolak, lalu melontarkan peringatan keras: “Jangan sampai kader Banser menggorok leher kalian, seperti kader Banser menggorok PKI. Halal darah kalian apabila mengolok ulama.”
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Tak berhenti di sana, ia menambahkan ancaman yang lebih eksplosif: “Bayangkan seratus juta umat NU datang ke kantor kalian. Bakar ini, saya kira tidak sampai sepuluh menit akan hangus.”
Ucapan itu seketika memantik gelombang kecaman. Publik menilai Ainul menggunakan jabatan publik untuk menebar intimidasi. Desakan agar ia dicopot dari posisinya sebagai komisaris pun bermunculan di media sosial.
Pihak Transjakarta buru-buru memberi klarifikasi. Komisaris Utama Untung Budiharto menegaskan, pernyataan Ainul adalah pandangan pribadi, bukan sikap resmi perusahaan. Namun, klarifikasi ini tak serta-merta menenangkan publik. Sebab, ucapan seorang pejabat publik apalagi komisaris BUMD tak bisa dipisahkan dari bobot institusional yang melekat padanya.
Menguji Integritas Jabatan Publik
Di sinilah letak persoalan utama. Jabatan komisaris di Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) bukan sekadar posisi simbolik atau politik balas jasa. Ia merupakan bagian dari sistem pengawasan korporasi yang wajib menjunjung prinsip Good Corporate Governance (GCG) transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, independensi, dan keadilan.
Ketika seorang komisaris berbicara layaknya orator massa, bukan sebagai pengawas profesional, maka yang terguncang bukan hanya reputasi pribadi, melainkan kredibilitas lembaga dan kepercayaan publik terhadap tata kelola negara.
Apalagi, jabatan itu digaji dari uang rakyat dan diatur oleh Peraturan Gubernur DKI Jakarta tentang remunerasi BUMD. Maka, tanggung jawab moral seorang komisaris adalah kepada seluruh warga, bukan hanya kepada kelompok tertentu.
Lebih dari itu, orasi berisi ancaman kekerasan betapapun diniatkan untuk membela ulama tetaplah menyalahi etika publik. Demokrasi dan agama tidak pernah tumbuh dari intimidasi, melainkan dari dialog dan nalar sehat.
Pers dan Ujian Kebebasan Berpendapat
Dalam kasus ini, media juga memegang peran penting. Tayangan televisi yang dianggap menyinggung pesantren seharusnya dikritik melalui jalur etik, bukan dengan ancaman. Dunia jurnalistik mengenal mekanisme klarifikasi, hak jawab, dan Dewan Pers. Ancaman terhadap pekerja media justru memperlemah kontrol publik terhadap kekuasaan.
Membela kehormatan ulama tidak berarti mengancam kebebasan pers. Dua hal itu dapat berjalan seiring jika semua pihak memahami batas antara ekspresi keagamaan dan kekerasan verbal.
Bahasa Kekuasaan dan Kekerasan
Kita tengah menyaksikan gejala berbahaya: bahasa kekuasaan yang berubah menjadi bahasa kekerasan. Ketika pejabat publik bebas melontarkan ancaman tanpa konsekuensi, demokrasi perlahan kehilangan etikanya.
Bahasa politik yang sehat seharusnya menenteramkan, bukan menakut-nakuti. Ketika pejabat publik berbicara dengan gaya agitasi jalanan, garis antara otoritas dan orasi partisan menjadi kabur. Ini bukan hanya masalah individu Ainul, tapi gejala sistemik di mana sebagian pejabat lupa bahwa jabatan publik menuntut keteladanan tutur.
Mencari Tanggung Jawab dan Ketegasan
Dalam sistem BUMD, komisaris diangkat oleh kepala daerah melalui mekanisme uji kelayakan. Artinya, setiap perilaku mereka mencerminkan pula kredibilitas institusi pemberi mandat. Karena itu, penanganan kasus ini tidak boleh berhenti pada klarifikasi pribadi. Harus ada evaluasi etik, bahkan sanksi administratif bila terbukti melanggar prinsip tata kelola.
Jika tidak, pesan yang tersisa kepada publik hanya satu: bahwa kekerasan verbal pejabat publik dapat dimaafkan selama bungkusnya “pembelaan agama.” Dan dari situ, erosi demokrasi akan berjalan pelan tapi pasti.
Refleksi Penutup
Demokrasi tidak mati sekaligus; ia membusuk perlahan ketika bahasa ancaman dibiarkan tanpa sanksi. Retorika “gorok leher” bukan hanya mencederai kebebasan berbicara, tetapi juga menghina akal sehat bangsa.
Publik menunggu ketegasan. Sebab ketika orasi kekerasan dibiarkan tanpa konsekuensi, yang kalah bukan hanya logika dan etika, tapi juga masa depan tata kelola publik.
Demokrasi bukan hanya soal hak memilih, melainkan tata cara berbicara dalam ruang publik. Ketika pejabat kehilangan kemampuan berbicara dengan akal sehat, maka demokrasi kehilangan bahasanya.
Dwi Taufan Hidayat

















