Jakarta, Majalahjakarta.com – Di balik gemerlap lampu dan keramaian wisata sejarah Kota Tua, Jakarta Barat, terselip ironi yang menggugat integritas pengelolaan ruang publik. Sejumlah warga Kelurahan Pinangsia mempertanyakan keadilan dalam tata kelola izin kegiatan di kawasan eks Terminal Kota Tua, sisi utara Kali Besar Timur.
Pasalnya, sejumlah acara masyarakat setempat kerap ditolak oleh Unit Pengelola Kawasan (UPK) Kota Tua dengan alasan administratif yang nyaris sama: “Lahan ini belum diserahterimakan ke UPK.” Namun di saat bersamaan, kegiatan yang disebut warga sebagai “beratensi” justru dengan mudah memperoleh izin, bahkan mendapat dukungan fasilitas dari pihak pengelola.
“Kalau bukan kegiatan dari orang dalam atau ada ‘titipan’, pasti dipersulit. Alasannya selalu sama: belum serah terima. Tapi kalau kegiatan UPK sendiri, syuting film, atau acara besar, bisa jalan terus,” ujar HY salah seorang warga Pinangsia kepada Majalahjakarta.com, Sabtu (25/10/2025).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Warga Merasa Didiskriminasi
Catatan redaksi menunjukkan, sedikitnya tiga kegiatan warga pernah ditolak sepanjang dua tahun terakhir, di antaranya:
1. Kegiatan Karang Taruna Kecamatan Tamansari (2023)
2. Acara kolaborasi PKL Kunir dan warga untuk santunan anak yatim piatu (11 Juli 2025)
3. Permohonan tenda hajatan warga bernama Hasan (Juli 2025)
Sebaliknya, sejumlah acara yang dinilai “beratensi” justru berjalan tanpa hambatan, termasuk kegiatan internal UPK, syuting iklan komersial, dan perayaan Maulid besar di depan kantor UPK yang digelar pada Jumat (24/10/2025).
“Kalau memang belum diserahterimakan, semestinya semua kegiatan ditolak tanpa pandang bulu. Tapi faktanya, ada acara besar di tempat yang sama. Ini bukan lagi soal izin, tapi soal keadilan,” tegas warga lainnya.
Dugaan Maladministrasi dan Krisis Etika Birokrasi
Fenomena “tebang pilih izin acara” di kawasan Kota Tua mengindikasikan adanya dugaan maladministrasi dan konflik kepentingan dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, terdapat empat prinsip utama yang seharusnya menjadi panduan setiap lembaga publik, termasuk UPK:
1. Keadilan dan Non-Diskriminasi (Pasal 4 huruf b)
Semua warga berhak atas pelayanan publik tanpa membedakan status sosial, ekonomi, atau relasi personal.
2. Transparansi dan Akuntabilitas (Pasal 10)
Setiap unit penyelenggara wajib membuka informasi dan pertanggungjawaban publik secara jelas.
3. Standar Pelayanan Publik (Pasal 21)
Prosedur, biaya, dan waktu pelayanan wajib ditetapkan secara pasti agar publik memiliki kepastian hukum.
4. Pengawasan dan Sanksi (Pasal 35–39)
Masyarakat berhak melaporkan dugaan penyimpangan, dan pejabat publik dapat dikenai sanksi administratif bila terbukti melanggar.
Praktik “izin berbasis atensi” jelas melanggar asas non-diskriminasi dan transparansi yang menjadi roh dari undang-undang tersebut.
Kota Tua dan Tata Ruang yang Dilanggar
Selain aspek pelayanan publik, ketimpangan perizinan di Kota Tua juga menyinggung pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Ada empat prinsip penting dalam regulasi tersebut:
1. Fungsi Sosial Ruang (Pasal 4 & 5)
Ruang publik harus digunakan untuk kepentingan umum, bukan untuk kelompok tertentu atau kepentingan komersial yang tidak transparan.
2. Fasos-Fasum Belum Diserahterimakan (Pasal 35)
Aset publik yang belum diserahterimakan harus dijaga, bukan dimanfaatkan untuk kegiatan berbayar atau bersifat eksklusif.
3. Kewenangan Pemerintah Daerah (Pasal 16 & 17)
Pemerintah daerah wajib memastikan pemanfaatan ruang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan prinsip keterbukaan publik.
4. Sanksi Administratif dan Pidana (Pasal 69–73)
Penyalahgunaan ruang publik dapat dikenai sanksi administratif hingga pidana, termasuk pencabutan izin penggunaan ruang.
Ruang Publik Bukan Ruang Titipan
Menurut pengamat tata kota Nirwono Joga dari Universitas Trisakti, ruang publik seharusnya bersifat inklusif dan berpihak pada kepentingan masyarakat luas, bukan produk dari relasi kuasa.
“Begitu ruang publik dikomersialisasi atas dasar hubungan personal, maka publik kehilangan haknya sebagai warga kota,” ujarnya dalam diskusi urban di Jakarta (2023).
Kota Tua, dengan sejarah kolonial dan simbol kebudayaannya, semestinya menjadi contoh transparansi pengelolaan ruang, bukan cermin praktik diskriminatif. Jika pemerintah provinsi DKI Jakarta benar ingin menjadikan kawasan ini sebagai World Heritage Cultural Zone, maka audit tata kelola oleh Inspektorat DKI dan Ombudsman RI perlu dilakukan-tidak hanya pada aspek administrasi, tetapi juga pada etika pelayanan publik dan integritas birokrasi.
Sebab, ruang publik yang dikuasai oleh “titipan” bukan lagi milik warga, melainkan milik kuasa. (Red)

















