Mafia Tanah Menurut Kebijakan Undang – undang Pertanahan

- Penulis

Selasa, 21 Oktober 2025 - 18:23

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

Jakarta, Majalahjakarta.com – Persoalan mafia tanah di Indonesia bukan sekadar tindak kejahatan administratif, melainkan bentuk nyata dari degradasi moral birokrasi dan lemahnya pengawasan negara terhadap kebijakan pertanahan. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana hukum dapat direkayasa menjadi alat konspirasi, ketika segelintir oknum instansi negara bekerja sama dengan pihak tertentu untuk menerbitkan Surat Bukti Hak melalui mekanisme jual beli fiktif.

Praktik semacam ini mencerminkan bahwa penegakan hukum agraria masih jauh dari cita-cita keadilan sosial, sebagaimana termaktub dalam konstitusi. Padahal, jual beli tanah seharusnya menjadi proses hukum yang memberikan kepastian, bukan ruang abu-abu bagi permainan kekuasaan. Dalam konteks ini, masyarakat wajib memahami pentingnya prosedur legal dan pemeriksaan dokumen hak atas tanahl sebelum melakukan transaksi, agar tidak terjebak dalam pusaran kejahatan pertanahan.

Di berbagai kota besar, konflik dan sengketa tanah semakin sering terjadi-mulai dari perebutan aset publik hingga penggusuran untuk proyek infrastruktur berskala besar. Ironisnya, pembangunan yang seharusnya mempersatukan justru melahirkan fragmentasi sosial dan ketidakadilan struktural. Padahal, secara filosofis, tanah adalah pemersatu bangsa, sumber kehidupan yang mengikat masyarakat dalam satu kesatuan wilayah dan nasib bersama.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Namun realitas di lapangan justru berbanding terbalik.
Praktik mafia tanah menunjukkan pola kejahatan yang sistematis:
1. Pemalsuan dokumen dan tanda tangan demi mendapatkan sertifikat hak milik.
2. Keterlibatan oknum pejabat berwenang yang memuluskan proses pendaftaran tanah atas aset yang bukan haknya.
3. Kelemahan negara dalam melindungi hak rakyat, terutama mereka yang secara historis menempati lahan namun belum memiliki sertifikat resmi.

Ketika negara gagal hadir sebagai pelindung, rakyat kehilangan posisi tawar. Banyak warga hanya menjadi penonton di atas tanah yang telah mereka pijak turun-temurun.

Padahal, kebijakan pertanahan di Indonesia sejatinya sudah memiliki dasar hukum yang kuat. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang berlandaskan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Implementasinya diperkuat melalui Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang menekankan pentingnya pendaftaran sebagai kegiatan berkelanjutan untuk menjamin kepastian hukum atas kepemilikan tanah.

Namun dalam praktiknya, regulasi seringkali tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Aparat penegak hukum dan birokrat pertanahan kerap berlindung di balik formalitas administrasi, sementara mafia tanah dengan mudah menembus celah hukum yang lemah.

Mafia Tanah di Balik Meja Kekuasaan: Ketika Regulasi Tak Lagi Berpihak pada Rakyat
Mafia tanah bukan lagi bayangan yang samar di ruang gelap. Mereka nyata, terorganisir, dan bekerja di ruang-ruang resmi yang seharusnya steril dari praktik kecurangan. Seolah-olah mereka duduk dalam satu ruangan yang sama dengan aparat dan birokrat, berbagi data, membangun jejaring, dan menafsirkan hukum sesuai kepentingan pribadi.

Seperti diungkapkan oleh pemerhati kebijakan publik Arthur Noija, “Mafia tanah seakan-akan berada di ruangan.” Ungkapan ini menggambarkan betapa jaringan kerja mereka beroperasi di balik sistem formal yang sah, namun praktiknya justru bertentangan dengan hukum dan merugikan banyak pihak. Para korban kehilangan hak atas tanahnya bukan karena kalah di pengadilan, tetapi karena dikalahkan oleh sistem yang dipermainkan.

Jaringan mafia tanah bukan sekadar kumpulan individu jahat, melainkan sindikat yang terorganisir dengan struktur dan strategi yang rapi.

1. Mereka beroperasi secara sistematis dan tampak legal, padahal sesungguhnya melanggar hukum.
2. Tujuan utamanya semata-mata adalah keuntungan ekonomi sepihak dengan mengorbankan hak orang lain.
3. Mereka pandai memanfaatkan celah regulasi di bidang pertanahan, memanfaatkan informasi administrasi mengenai pemberian dan sertifikasi hak atas tanah, bahkan mengincar lahan-lahan terlantar yang ditinggalkan pemilik sahnya untuk kemudian diklaim melalui jalur administratif yang manipulatif.

Dalam praktiknya, kelemahan hukum agraria nasional semakin diperparah oleh ketiadaan aturan rinci mengenai hak milik menurut hukum adat. Akibatnya, masyarakat adat atau pemilik tanah tradisional sering kali harus membuktikan kepemilikan hanya melalui penguasaan fisik dan iktikad baik, yang ironisnya tidak cukup kuat di hadapan hukum formal negara. Ketimpangan ini menjadi pintu masuk bagi mafia tanah untuk menafsirkan “celah hukum” sebagai “peluang bisnis”.

Fenomena ini menunjukkan bahwa masalah mafia tanah bukan hanya kejahatan perorangan, tetapi juga cerminan dari kegagalan kebijakan publik dalam membangun sistem pertanahan yang adil dan transparan. Negara yang seharusnya menjadi pelindung justru sering abai terhadap akar persoalan sosial dan administratif di tingkat akar rumput.

Mengapa Masyarakat Rentan Menjadi Korban?

Faktor-faktor yang membuat masyarakat mudah dieksploitasi oleh jaringan mafia tanah antara lain:
1. Kurangnya pengetahuan tentang fungsi dan kekuatan hukum sertifikat tanah sebagai bukti hak yang sah.
2. Anggapan bahwa biaya pendaftaran tanah mahal, sehingga masyarakat menunda atau bahkan mengabaikannya.
3. Proses administrasi yang dianggap lama dan berbelit, membuat masyarakat enggan mengurus sertifikasi.
4. Minimnya edukasi hukum di tingkat desa maupun perkotaan mengenai perlindungan hak atas tanah.
5. Lemahnya pengawasan dan pemeliharaan tanah, sehingga banyak lahan menjadi objek spekulasi dan penyerobotan.

Di sinilah negara seharusnya hadir. Pemerintah perlu meninjau ulang implementasi kebijakan agraria dengan memperkuat akses informasi publik, pelayanan pendaftaran tanah yang cepat dan murah, serta reformasi birokrasi pertanahan agar bebas dari pungutan liar dan praktik kolusi.

Menata Ulang Pengaturan Hukum Pertanahan: Saat Negara Harus Lebih Tegas terhadap Mafia Tanah
Indonesia dikenal sebagai negara hukum (rechtstaat), di mana segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara diatur oleh hukum. Dalam konteks pertanahan, pengaturan hukum telah dibuat sedemikian kompleks untuk melindungi masyarakat dari berbagai bentuk konflik dan penyalahgunaan kewenangan. Namun, kerapuhan sistem dan lemahnya pengawasan telah membuka ruang bagi munculnya praktik kejahatan sistemik yang dikenal sebagai mafia tanah – sebuah ironi di tengah cita-cita hukum yang mestinya melindungi rakyat kecil.

Hukum seharusnya berfungsi sebagai instrumen keadilan dan perlindungan, bukan sekadar teks normatif di atas kertas. Ia hadir untuk menyelesaikan pelanggaran yang terjadi di tengah masyarakat serta menjamin kepastian hak setiap warga negara. Dalam konteks kejahatan pertanahan, perlindungan hukum terhadap pemilik tanah sejatinya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang berfungsi menegaskan hak kepemilikan dan melindungi pemegang hak dari tindakan melawan hukum.

Namun, dalam praktiknya, proteksi hukum bagi pemegang sertifikat tanah masih lemah dan mudah diterobos oleh jaringan mafia tanah. Hal ini menunjukkan adanya jarak antara norma hukum dan realitas sosial. Seperti dikemukakan oleh Fitzgerald dalam teori perlindungan hukum, tujuan utama hukum adalah mengintegrasikan dan mengoordinasikan berbagai kepentingan masyarakat agar tercipta keseimbangan antara hak dan kewajiban. Ketika hukum gagal memainkan fungsi integratifnya, maka keadilan akan digantikan oleh kepentingan.

Ketika Hukum Tak Tegas, Mafia Tanah Menjadi Penguasa Baru
Penanganan kasus mafia tanah menuntut penegakan hukum yang tegas, transparan, dan berkeadilan. Sengketa pertanahan tidak hanya menyangkut kepemilikan lahan, tetapi juga berkaitan langsung dengan rasa aman, hak ekonomi, dan martabat sosial warga negara. Oleh karena itu, penyelesaian konflik tanah harus ditempatkan sebagai bagian dari kebijakan publik yang strategis dan berkelanjutan.

Beberapa langkah kebijakan yang telah diambil pemerintah perlu diapresiasi, meskipun pelaksanaannya masih jauh dari ideal:
1. Perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah harus melibatkan aparat penegak hukum secara aktif-mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga lembaga peradilan-agar proses hukum berjalan objektif dan tidak berpihak.
2. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) telah berupaya memberantas praktik mafia tanah melalui kerja sama dengan Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung, salah satunya dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Anti Mafia Tanah.
3. Melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), pemerintah juga berupaya mempercepat sertifikasi tanah di seluruh Indonesia untuk mempersempit ruang gerak mafia tanah yang memanfaatkan tanah tak bersertifikat sebagai lahan manipulasi hukum.

Namun, perlu ditegaskan bahwa penegakan hukum yang efektif tidak hanya bergantung pada lembaga, tetapi juga pada moralitas pejabat publik dan integritas birokrasi. Tanpa itu, semua aturan akan kehilangan makna.

Membangun Kepastian Hukum dari Akar Masalah
Pasal 19 UUPA 1960 secara tegas mengamanatkan bahwa negara wajib melaksanakan pendaftaran tanah untuk menjamin kepastian hukum bagi rakyat. Melalui proses tersebut, pemerintah memberikan sertifikat tanah sebagai alat bukti hak yang sah dan kuat secara hukum. Sertifikat bukan hanya dokumen administratif, melainkan simbol legitimasi negara terhadap hak kepemilikan warganya.

Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan banyak tanah yang masih belum terdaftar, atau bahkan telah bersertifikat tetapi tetap disengketakan. Ini menunjukkan bahwa legalitas formal tidak selalu berbanding lurus dengan keadilan substantif. Dalam banyak kasus, sertifikat bisa dipalsukan, diambil alih, atau digandakan melalui jalur administrasi yang koruptif.

Tanah yang seharusnya menjadi sumber kehidupan justru berubah menjadi sumber konflik. Ketika sertifikat yang dikeluarkan negara tidak lagi dipercaya, maka yang hilang bukan hanya hak kepemilikan, tetapi juga kepercayaan rakyat terhadap hukum.

Perlindungan Hukum atas Sertifikat Tanah: Antara Norma, Mafia, dan Ketimpangan Penegakan
Dalam konteks hukum agraria, sertifikat tanah bukan sekadar lembar kertas administratif. Ia adalah simbol kedaulatan individu atas tanah yang dijamin oleh negara dan menjadi bukti kepemilikan sah menurut hukum. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa pemalsuan dokumen pertanahan dan tumpang tindih sertifikat masih menjadi persoalan serius yang mengancam hak-hak rakyat.

Perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat tanah perlu mendapat perhatian lebih karena kejahatan pemalsuan dokumen tergolong tindak pidana serius yang bukan hanya merugikan individu, tetapi juga mencederai kepercayaan publik terhadap negara sebagai pengatur dan pelindung hak kepemilikan.

Pemalsuan Dokumen: Kejahatan yang Merusak Sistem Hukum Pertanahan
Dalam hukum positif Indonesia, pemalsuan surat atau dokumen pertanahan telah diatur secara tegas dalam Pasal 263 ayat (1) dan ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

1. Pasal 263 ayat (1) menyebutkan bahwa barang siapa membuat atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan hak, perjanjian, atau menjadi alat bukti dengan maksud untuk menggunakannya seolah-olah surat tersebut asli dan benar, dan apabila pemakaiannya menimbulkan kerugian, diancam pidana penjara paling lama enam tahun.

2. Ayat (2) menegaskan bahwa barang siapa dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah asli dan menimbulkan kerugian bagi orang lain, diancam dengan pidana yang sama.

Dalam praktiknya, pemalsuan tanda tangan juga termasuk ke dalam kategori pemalsuan surat sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut.

Sayangnya, meskipun ketentuan pidana ini sudah jelas, penegakan hukumnya masih lemah dan tidak konsisten. Mafia tanah memanfaatkan celah administratif dan lemahnya koordinasi antarinstansi untuk memanipulasi data kepemilikan tanah, bahkan kerap melibatkan oknum di lingkaran birokrasi.

Sengketa dan Mediasi: Jalan Tengah yang Tak Selalu Efektif
Sengketa sertifikat tanah yang tumpang tindih seringkali diselesaikan melalui jalur non-litigasi, seperti mediasi di tingkat desa, arbitrase, atau alternatif penyelesaian sengketa lainnya. Langkah ini pada dasarnya merupakan wujud demokratisasi hukum, yang mencoba mengedepankan musyawarah dan kesepakatan di luar pengadilan.

Namun, dalam banyak kasus, proses mediasi gagal menembus akar masalah, terutama ketika salah satu pihak telah menggunakan dokumen palsu yang memiliki kekuatan formil lebih kuat dibanding bukti kepemilikan tradisional atau adat. Akibatnya, penyelesaian sengketa sering berakhir di ranah peradilan, yang membutuhkan waktu, biaya, dan tenaga besar.

Mafia Tanah dan Kelemahan Pemerintah
Fenomena maraknya mafia tanah memperlihatkan paradoks besar: hukum ada, tetapi tak berdaya di hadapan praktik suap dan penyalahgunaan wewenang.
Meskipun sudah ada berbagai regulasi, seperti UUPA 1960 dan kebijakan sektoral lainnya, campur tangan pemerintah masih minim dalam memberikan perlindungan nyata bagi pemilik tanah yang menjadi korban.

Penyidik kerap menghadapi kesulitan dalam mengusut kasus mafia tanah, bukan hanya karena kompleksitas dokumen, tetapi juga karena harus membongkar praktik ratifikasi dokumen yang telah “disahkan” secara administratif. Dengan kata lain, masalah mafia tanah tidak semata berada di luar sistem, melainkan tumbuh di dalam tubuh sistem itu sendiri.

Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 18 Tahun 2021: Langkah Menuju Kepastian Hukum
Kehadiran Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan Tanah, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, menjadi terobosan penting dalam memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak.

Regulasi ini menegaskan bahwa:
1. Setiap bidang tanah, satuan rumah susun, dan hak terdaftar lainnya harus tercatat secara resmi untuk menjamin legal certainty bagi pemilik sah, sekaligus mempermudah pembuktian hak di hadapan hukum.
2. Negara wajib memberikan perlindungan hukum terhadap korban mafia tanah, termasuk penegakan sanksi pidana terhadap para pelaku dan oknum pejabat yang terlibat.
3. Meskipun urusan pertanahan masuk ranah perdata, namun penegakan pidana tetap relevan untuk menjerat mafia tanah, terutama ketika perbuatannya menimbulkan kerugian ekonomi besar hingga miliaran rupiah.

Reforma Agraria: Jalan Panjang Menuju Keadilan Sosial
Dari berbagai persoalan di atas, jelas bahwa reforma agraria bukan sekadar program administratif, melainkan agenda moral dan politik hukum untuk memulihkan keadilan sosial bagi rakyat kecil.
Ketika pelaksanaan reforma agraria dijalankan dengan serius dan berpihak pada rakyat, maka manfaatnya bukan hanya berupa sertifikat, melainkan kesejahteraan dan kepastian hidup bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya di atas tanah.

Karena itu, pemberantasan mafia tanah tidak bisa hanya mengandalkan pasal dan peraturan, tetapi harus disertai penataan ulang sistem hukum pertanahan yang berintegritas, transparan, dan berpihak kepada korban, bukan pelaku.

Menakar Efektivitas Mediasi BPN dalam Penegakan Hukum Agraria: Antara Solusi dan Formalitas
Sebelum penegakan sanksi pidana dijalankan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) sejatinya memiliki mekanisme penyelesaian awal terhadap berbagai permasalahan sengketa tanah. Jalur mediasi menjadi langkah pertama yang ditawarkan, baik melalui fasilitasi langsung oleh BPN maupun dengan menyerahkan persoalan kepada para pihak untuk mencapai kesepakatan damai.

Baca Juga:  Gaya Hidup Mewah di Balik Dana Korupsi

Pendekatan ini sesungguhnya mencerminkan semangat hukum agraria Indonesia yang mengedepankan asas musyawarah dan keadilan sosial. Namun, efektivitas mediasi seringkali bergantung pada kemauan politik dan integritas pejabat yang terlibat. Dalam banyak kasus, mediasi gagal menjadi solusi substantif karena konflik pertanahan tidak hanya soal batas tanah, tetapi juga soal kepentingan ekonomi dan kekuasaan yang lebih besar di baliknya.

Mediasi baru dapat dianggap sah apabila hasil kesepakatan tidak bertentangan dengan ketentuan hukum pertanahan yang berlaku. Namun, ketika dua pihak yang bersengketa tidak menemukan titik temu, maka jalur hukum menjadi pilihan terakhir – baik melalui peradilan perdata, tata usaha negara, maupun pidana, tergantung pada dimensi pelanggaran yang terjadi.

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 01 Tahun 1999 menegaskan bahwa BPN wajib menangani penyelesaian sengketa pertanahan yang telah diupayakan secara administratif, dan baru membawa perkara ke ranah pidana apabila:
1. Sengketa tanah dinilai terlalu kompleks untuk diselesaikan secara mediasi.
2. Terdapat indikasi kuat tindak pidana seperti pemalsuan, penyerobotan, atau penipuan dokumen tanah.
3. Perkara menyentuh kepentingan publik dan berpotensi mengganggu ketertiban umum.

Dalam konteks hukum pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memuat sejumlah pasal yang relevan, antara lain Pasal 263, 264, 266, 385, 389, 425, 167, dan 168, yang mengatur berbagai bentuk kejahatan pertanahan – mulai dari pemalsuan dokumen, penyerobotan lahan, hingga pengendalian dengan pemerasan.

Dengan demikian, siapapun yang melanggar larangan atau ketentuan hukum pertanahan dapat dikenai sanksi pidana. Namun, penegakan pidana harus tetap mengacu pada bukti nyata bahwa tindakan tersebut benar-benar dilakukan oleh pelaku yang memiliki niat jahat (mens rea) dan telah menimbulkan kerugian hukum bagi pihak lain.

Dalam praktiknya, BPN memang berupaya mengedepankan penyelesaian damai melalui mediasi. Namun, realitas di lapangan kerap menunjukkan sebaliknya. Para mafia tanah justru semakin lihai membangun jaringan kejahatan yang melibatkan oknum pejabat, Kantor Jasa Akta Tanah palsu, hingga pegawai internal yang berkolusi.

Untuk itu, pemerintah menegaskan langkah tegas: setiap aparatur BPN yang terbukti terlibat dalam kasus pertanahan akan dijatuhi sanksi administratif dan pidana yang setimpal. Langkah ini bukan sekadar penegakan hukum, melainkan upaya memulihkan kembali kepercayaan publik terhadap layanan pertanahan dan kepastian hukum.

Namun demikian, kritik publik tetap relevan: penegakan hukum yang adil tidak cukup hanya pada “penindakan”, tetapi juga harus menyentuh reformasi sistemik dalam birokrasi pertanahan. Tanpa reformasi struktural, mediasi BPN hanya akan menjadi seremonial administratif yang tidak menyentuh akar persoalan.

Reforma agraria sejatinya bukan hanya soal redistribusi tanah, tetapi juga soal keberanian negara menegakkan keadilan agraria – menempatkan tanah bukan sebagai komoditas, melainkan sebagai sumber kehidupan rakyat yang harus dijaga dari kerakusan para mafia tanah dan lemahnya integritas aparat.

Menegakkan Keadilan Agraria: Ketegasan Negara dalam Memberantas Mafia Tanah
Kehadiran oknum mafia tanah bukan lagi sekadar isu pinggiran, melainkan ancaman serius terhadap keadilan sosial dan kedaulatan agraria di Indonesia. Karena itu, penindakan tegas terhadap para pelaku kejahatan pertanahan menjadi keharusan. Hukuman yang berat bukan hanya bentuk pembalasan, tetapi juga instrumen efek jera bagi jaringan mafia tanah yang kerap bermain di balik meja kekuasaan dan birokrasi.

Pemerintah bersama aparat penegak hukum perlu menunjukkan ketegasan dan kebijaksanaan hukum dalam menangani kasus pertanahan. Sebab, tanah bukan sekadar aset ekonomi, tetapi juga ruang hidup dan identitas sosial bagi masyarakat Indonesia. Ketika tanah rakyat dirampas melalui praktik kotor, maka negara sesungguhnya sedang kehilangan moralitas hukumnya.

Menurut Prof. Dr. Nurhasan Ismail, S.H., M.Si., Guru Besar Hukum Tanah Universitas Gadjah Mada, fenomena mafia tanah ibarat “kejahatan yang berada di dalam ruangan.” Maksudnya, jaringan kerja mereka tidak tampak di permukaan, tetapi beroperasi secara nyata, terorganisir, dan sistematis, melibatkan berbagai lapisan pelaku – dari oknum birokrat, aparat hukum, hingga aktor swasta.

Mereka tampil legal di luar, namun sejatinya menjalankan praktik ilegal yang melanggar hukum dan merugikan ekonomi masyarakat. Tujuan utama mereka hanya satu: memperoleh keuntungan sepihak dengan mengorbankan hak orang lain.

Dalam konteks perlindungan hukum, penyelesaian masalah pertanahan semestinya melibatkan penegak hukum dan pejabat berwenang, yang memiliki integritas serta komitmen terhadap asas keadilan. Kasus pengambilalihan paksa tanah milik warga oleh mafia tanah merupakan tindak pidana murni yang menyalahi norma hukum sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960.

Prinsip perlindungan hukum ini juga ditegaskan dalam Pasal 1 UUD 1945, yang menolak segala bentuk perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Artinya, setiap pelanggaran terhadap hak kepemilikan tanah tidak hanya menyalahi undang-undang, tetapi juga mengkhianati konstitusi dan hak asasi warga negara.

UUPA sendiri telah menjadi payung hukum utama dalam menjamin kepastian hak atas tanah, agar setiap pemilik merasa aman dan terlindungi secara hukum. Namun, perlindungan hukum tidak akan bermakna bila masyarakat masih minim literasi agraria.

Masih banyak warga yang beranggapan bahwa proses pendaftaran tanah dan penerbitan sertifikat memerlukan biaya mahal serta waktu lama. Ketidaktahuan ini justru membuka celah bagi mafia tanah untuk memanipulasi proses sertifikasi, mengiming-imingi “jalan pintas”, atau bahkan menggandakan dokumen kepemilikan.

Padahal, sertifikat tanah memiliki fungsi vital sebagai alat bukti hukum yang sah, sekaligus tameng bagi pemilik terhadap potensi penyerobotan dan sengketa. Sayangnya, kurangnya pemahaman masyarakat tentang arti penting sertifikat menyebabkan banyak hak atas tanah tidak tercatat, sehingga mudah disusupi kepentingan mafia.

Indonesia, sebagai negara hukum, telah mengatur sistem pertanahan secara kompleks melalui berbagai peraturan. Namun, sebagaimana diingatkan para ahli, peraturan sebaik apapun akan menjadi tidak berarti bila penegak hukum dan birokrasi yang mengemban amanah tidak bersih.

Karena itu, pemberantasan mafia tanah tidak cukup dengan menegakkan hukum, melainkan juga mereformasi moralitas birokrasi agraria. Penegakan hukum harus menyentuh akar struktural, bukan sekadar menindak pelaku di lapangan.

Jika negara benar-benar ingin mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan agraria, maka ketegasan dalam menindak mafia tanah harus diiringi dengan pemberdayaan hukum rakyat: memberikan edukasi, mempermudah sertifikasi, dan membangun sistem pertanahan yang transparan serta akuntabel.

Membangun Kepastian Hukum Pertanahan: Negara, Mafia Tanah, dan Tantangan Penegakan Keadilan Agraria
Hukum pada hakikatnya hadir sebagai solusi atas pelanggaran dan ketidakadilan yang terjadi di tengah masyarakat. Ia bukan sekadar kumpulan pasal, tetapi sistem nilai yang berfungsi melindungi hak warga negara dari tindakan sewenang-wenang. Dalam konteks pertanahan, hukum berperan penting untuk memberikan rasa aman, kepastian, dan keadilan atas kepemilikan tanah – sumber kehidupan yang begitu vital bagi rakyat Indonesia.

Namun, di balik kerangka hukum yang tampak rapi, realitas mafia tanah memperlihatkan betapa lemahnya pelaksanaan hukum di lapangan. Praktik manipulatif dalam penerbitan sertifikat, pemalsuan dokumen, hingga kolusi antara oknum pejabat dan pihak swasta telah menjadikan hukum agraria seperti alat permainan, bukan lagi pelindung rakyat.

Dalam konteks ini, perlindungan hukum terhadap pemilik tanah menjadi keharusan yang mendesak. Hukum agraria, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, menegaskan bahwa tanah harus dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun ketika hukum gagal melindungi rakyat dari praktik mafia tanah, maka amanat konstitusi itu kehilangan maknanya.

Mengacu pada teori perlindungan hukum Fitzgerald, hukum idealnya berfungsi untuk mengintegrasikan dan mengoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat. Dalam situasi di mana banyak kepentingan saling bertabrakan, perlindungan terhadap kepentingan individu hanya dapat dilakukan melalui pembatasan terhadap kepentingan pihak lain secara adil dan proporsional. Dengan kata lain, fungsi hukum bukan sekadar mengatur, tetapi menyeimbangkan.

Penyelesaian konflik dan sengketa pertanahan karenanya menjadi bagian fundamental dari upaya mewujudkan rasa aman dan kepastian hukum bagi masyarakat. Tanah tidak hanya bernilai ekonomis, tetapi juga simbol sosial dan identitas budaya. Ketika konflik tanah marak tanpa penyelesaian yang jelas, bukan hanya hukum yang dipertaruhkan, tetapi juga kepercayaan publik terhadap negara.

Untuk menjawab tantangan itu, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) telah berupaya memperkuat sistem hukum pertanahan melalui beberapa langkah strategis. Salah satunya dengan membentuk Satgas Anti-Mafia Tanah yang bekerja sama dengan Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung. Kehadiran Satgas ini diharapkan menjadi garda depan pemberantasan jaringan mafia tanah yang selama ini beroperasi secara terorganisir dan sulit dijangkau hukum biasa.

Selain langkah penegakan hukum, Kementerian ATR/BPN juga melaksanakan program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) sebagai bagian dari agenda nasional sertifikasi tanah. Melalui program ini, setiap bidang tanah masyarakat diukur berdasarkan titik koordinat geospasial yang akurat, sehingga meminimalkan potensi tumpang tindih dan manipulasi dokumen.

Pendaftaran tanah berbasis koordinat bukan sekadar urusan teknis, melainkan fondasi kepastian hukum. Dengan adanya sistem ini, hak atas tanah masyarakat tercatat secara permanen dan terproteksi dari upaya pemalsuan maupun penguasaan ilegal.

Namun demikian, keberhasilan kebijakan ini tidak hanya ditentukan oleh teknologi dan regulasi, melainkan oleh integritas aparatur hukum dan kesadaran masyarakat. Tanpa keduanya, hukum akan terus berada di bawah bayang-bayang mafia tanah yang lihai memanfaatkan celah birokrasi dan kelemahan pengawasan.

Membangun Kepastian Hukum Pertanahan: Menegakkan Keadilan di Tengah Maraknya Mafia Tanah
Salah satu pilar utama dalam sistem hukum agraria Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Melalui Pasal 19, undang-undang ini menegaskan pentingnya pembangunan kepastian hukum (legal certainty) di bidang pertanahan. Negara, melalui lembaga yang berwenang, diwajibkan melakukan pendaftaran tanah secara menyeluruh, agar setiap bidang tanah memiliki surat bukti hak yang sah, kuat, dan akurat sebagai alat pembuktian kepemilikan.

Dengan kata lain, sertifikat tanah bukan sekadar selembar dokumen administratif, tetapi merupakan akta otentik yang memiliki kekuatan hukum untuk menjamin hak kepemilikan seseorang atas sebidang tanah. Sertifikat menjadi bukti legal yang dilindungi oleh undang-undang – instrumen penting bagi masyarakat dalam menjaga hak atas ruang hidupnya.

Namun, dalam praktiknya, perlindungan hukum terhadap pemegang sertifikat tanah masih menghadapi tantangan serius. Salah satu persoalan paling krusial adalah kejahatan pemalsuan dokumen pertanahan, yang sering kali melibatkan jaringan mafia tanah. Tindakan ini jelas merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Dalam Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP, ditegaskan bahwa siapa pun yang dengan sengaja membuat atau memalsukan surat-termasuk dokumen pertanahan-dengan maksud untuk menggunakannya seolah-olah asli dan sah, diancam pidana penjara paling lama enam tahun. Pemalsuan tanda tangan juga termasuk dalam kategori kejahatan tersebut. Ketentuan ini memberikan dasar hukum yang kuat bagi negara untuk menindak tegas pelaku pemalsuan sertifikat tanah yang merugikan pemilik sah.

Sayangnya, realitas di lapangan menunjukkan bahwa praktik mafia tanah masih merajalela. Mereka beroperasi secara terorganisir, membangun jaringan Kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) palsu, membuat sertifikat fiktif, hingga melibatkan oknum pejabat dan pegawai pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung hukum.

Fenomena ini menunjukkan adanya kerapuhan sistem birokrasi pertanahan serta lemahnya integritas sebagian aparat negara. Hukum yang seharusnya menjadi pelindung justru sering kali dimanipulasi untuk memperkaya kelompok tertentu. Di sinilah pentingnya ketegasan negara dan moralitas hukum dalam memberantas mafia tanah secara struktural, bukan sekadar kasuistik.

Pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) telah menegaskan komitmennya untuk memberikan sanksi tegas terhadap setiap oknum pegawai yang terlibat dalam praktik kejahatan pertanahan. Langkah ini menjadi bentuk reformasi birokrasi agraria, sekaligus upaya memperbaiki layanan publik di bidang pertanahan agar kembali berlandaskan integritas dan keadilan hukum.

Namun, penegakan hukum saja tidak cukup. Dibutuhkan kesadaran kolektif masyarakat akan pentingnya pendaftaran tanah, legalitas sertifikat, serta pemahaman mengenai proses administrasi agraria. Edukasi publik harus menjadi bagian integral dari kebijakan pertanahan agar rakyat tidak mudah diperdaya oleh jaringan mafia tanah yang memanfaatkan ketidaktahuan dan ketidakpastian hukum.

Oleh karena itu, hukuman yang tegas bagi mafia tanah bukan hanya sekadar bentuk pembalasan, tetapi juga simbol keadilan sosial dan komitmen negara terhadap rakyatnya. Negara wajib hadir melindungi setiap jengkal tanah rakyat dari kejahatan struktural yang mengancam kedaulatan hukum dan keadilan sosial.

Sebagaimana semangat UUPA 1960, tanah bukan semata benda ekonomi, tetapi ruang kehidupan yang harus dikelola secara adil dan manusiawi. Maka, ketegasan hukum terhadap mafia tanah adalah bagian dari perjuangan moral bangsa untuk menegakkan kembali cita-cita keadilan agraria.

Referensi :
1. Peraturan Perundang-undanganPranoto, H., 2020, Sengketa Sertifikat Hak Milik Ganda Dalam Perspektif Teori Tujuan Hukum, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 16, No. 1, hal 13–24.
2. Raharjo, S., 2000, Ilmu Hukum, Citraa Aditya Bakti,Bandung.Sinay Moniung, E. and Natakharisma, K., 2020,
3. Jurnal Ilmiah Raad Kertha, Peranan HukumPidana pada Penyelesaian Sengketa Pembatalan Sertif Hak Atas Tanah Oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Vol. 3, No. 1. hal 122- 137.
4. Utomo, S., 2021, Perceepatan Reforma Agraria Untuk Mencapai Keadilan,
5. Jurnal Hukum Biisnis Bonum Commune, Vol. 4, No. 2, hal 202–213.UU No 01 tahun 1946 tentang Peraturan Tentang Hukum Pidana Sumber OnlineUU No. 05 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar

Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal
Arthur Noija SH

Berita Terkait

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran
Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan
Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia
Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”
Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara
Pertumbuhan 5 Persen, Tapi Siapa yang Untung?
Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda
Marak Debitur Dijerat Pasal Penggelapan Objek Fidusia, Pakar Hukum: “Jangan Campur Urusan Perdata dengan Pidana”
Berita ini 13 kali dibaca
4 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Berita Terkait

Kamis, 6 November 2025 - 04:03

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran

Kamis, 6 November 2025 - 03:30

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Rabu, 5 November 2025 - 19:27

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 November 2025 - 19:03

Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”

Rabu, 5 November 2025 - 17:56

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 November 2025 - 17:24

Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda

Selasa, 4 November 2025 - 16:56

Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria

Selasa, 4 November 2025 - 16:29

UIN Jakarta Kucurkan Rp2,85 Miliar Beasiswa untuk Dosen dan Tendik: Dorong Kualitas SDM dan Layanan Kampus

Berita Terbaru

Hukum

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Kamis, 6 Nov 2025 - 03:30

Berita

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 Nov 2025 - 19:27

Berita

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 Nov 2025 - 17:56

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x