Jakarta, Majalahjakarta.com – Ketika miliaran rupiah hasil korupsi mengalir, tak hanya pelaku utama yang harus mempertanggungjawabkan. Gaya hidup pasangan dan lingkaran terdekat sering kali menjadi cermin dari moralitas yang ikut rusak. Kasus Harvey Moeis dan Sandra Dewi bukan sekadar kisah hukum, tetapi potret bagaimana kemewahan dijadikan selimut bagi kebobrokan struktural.
Aliran Dana yang Mengalir ke Gaya Hidup
Pada Senin (21/10/2025), artis Sandra Dewi resmi mengajukan keberatan terhadap penyitaan 88 tas mewah miliknya oleh Kejaksaan Agung. Ia mengklaim bahwa seluruh tas tersebut dibeli dari hasil kerja kerasnya sebagai publik figur melalui kontrak endorsement dan kerja sama dengan berbagai merek internasional. (detik.com, 21 Oktober 2025)
Namun di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (24/10/2025), penyidik Kejagung Max Jefferson membeberkan bukti transfer uang sebesar Rp14,17 miliar dari terdakwa korupsi tata niaga timah, Harvey Moeis, ke rekening sang istri. Dana tersebut, menurut hasil penyelidikan, digunakan untuk membeli tas-tas mewah dan barang berharga lainnya. (tirto.id, 24 Oktober 2025)
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Bukti transaksi menunjukkan uang itu dikirim langsung dari Harvey Moeis kepada Sandra Dewi dalam dua periode, 2016–2019 dan 2018–2022,” ujar Max di persidangan. Jumlah total transfer mencapai lebih dari Rp13 miliar, dan sebagian besar digunakan untuk pembelian barang-barang mewah di luar negeri. (hot.detik.com, 24 Oktober 2025)
Pisah Harta, Pisah Tanggung Jawab?
Sandra Dewi mengklaim memiliki akta pisah harta dengan suaminya, sehingga ia adalah pihak ketiga yang beritikad baik. Namun penyidik Kejagung menemukan kejanggalan: dalam akta itu disebutkan tidak ada percampuran harta, sementara transaksi miliaran rupiah justru mengalir dari Harvey ke rekening Sandra. (cna.id, 24 Oktober 2025)
Secara hukum, argumen pisah harta bukan tameng absolut. Berdasarkan Pasal 5 dan 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), setiap pihak yang menerima, menguasai, atau memanfaatkan hasil kejahatan dapat dimintai pertanggungjawaban jika terbukti mengetahui atau patut menduga sumber uang tersebut berasal dari tindak pidana.
“Dalam kasus TPPU, tidak cukup seseorang mengaku tak tahu asal uang. Harus ada kehati-hatian dalam menerima dana dalam jumlah besar,” ujar pengamat hukum pidana dari Universitas Indonesia, Andi Hamzah, sebagaimana dikutip Kompas.id (23 Oktober 2025).
Ketika Endorsement Jadi Tameng Moral
Dalam daftar penyitaan, Kejagung tidak hanya menemukan tas-tas branded, tetapi juga deposito, perhiasan, dan properti bernilai tinggi di kawasan elit Jakarta. (Media Indonesia, 23 Oktober 2025)
Publik pun bertanya-tanya: apakah semua itu murni hasil kerja keras profesional, atau bagian dari aliran dana haram yang disamarkan lewat gaya hidup dan popularitas? Di tengah dunia digital, batas antara “endorsement” dan “pencucian uang” semakin kabur.
Kejagung menyebut tak ada bukti kerja sama resmi antara Sandra Dewi dan merek tas mewah yang ia klaim sebagai sponsor. “Tidak ditemukan kontrak endorsement terkait barang yang disita,” ujar pejabat Kejagung kepada Antara News (23 Oktober 2025). Dengan kata lain, penyitaan tetap sah selama proses hukum berlangsung, bahkan ketika keberatan masih diajukan. (babel.antaranews.com, 23 Oktober 2025)
Dua Dunia yang Tak Pernah Bertemu
Kontrasnya begitu mencolok. Di satu sisi, seorang publik figur menuntut pengembalian tas mewah senilai miliaran rupiah. Di sisi lain, jutaan rakyat masih bergelut dengan kelaparan, biaya hidup, dan pendidikan anak yang tak terjangkau. Uang Rp14 miliar bisa membangun puluhan sekolah, ratusan rumah layak huni, atau memberikan beasiswa ribuan siswa miskin.
Namun uang itu justru habis dalam genggaman kemewahan. Sebuah paradoks di mana gaya hidup seakan menjadi perisai moral: jika tampak sukses dan berkelas, publik mudah lupa bertanya dari mana sumber uangnya.
Ironinya, masyarakat yang dulu memuja gaya hidup artis kini ikut mengadili mereka lewat layar ponsel. Di ruang digital, citra bisa bergeser secepat jempol bergulir. Pesona selebritas dan moral publik seolah berkejaran di lintasan yang sama dan keduanya jarang bertemu di garis etika.
Refleksi: Korupsi Bukan Sekadar Dicuri, Tapi Dinikmati
Publik sering berpikir korupsi hanya urusan pelaku utama. Padahal, uang haram mengalir melalui jejaring: pasangan, keluarga, hingga lembaga yang menutup mata. Jika hanya terdakwa yang dihukum, sementara penerima manfaat tetap bebas, bagaimana mungkin efek jera bisa tumbuh?
Kasus ini membuka kembali perdebatan lama tentang moral hazard dalam sistem hukum kita. Apakah keadilan berhenti di ruang sidang, atau harus merambah ke seluruh jaringan kenikmatan hasil korupsi?
Sejarah menunjukkan, banyak kasus serupa berakhir tanpa menyentuh lingkar terdekat pelaku. Dulu, istri Gayus Tambunan sempat diperiksa karena rekeningnya ikut menerima dana haram (Kompas, 2010). Kini, lebih dari satu dekade kemudian, pola itu berulang dengan kemasan lebih glamor dan narasi lebih halus: endorsement, bukan gratifikasi.
Mungkin negara ini tak kekurangan undang-undang, tetapi kekurangan rasa malu. Selama kemewahan masih bisa dibungkus dengan label “prestasi” dan uang kotor disamarkan lewat popularitas, kita akan terus menonton sirkus korupsi yang sama dengan aktor berbeda, tapi naskah yang tak pernah berubah.
Kasus Sandra Dewi bukan sekadar soal tas mewah. Ia adalah cermin dari masyarakat yang terlalu mudah memaafkan kemewahan, terlalu lemah mempertanyakan moral, dan terlalu cepat melupakan asal-usul kekayaan.
Korupsi di Indonesia tak lagi sekadar pencurian uang rakyat, melainkan perayaan gaya hidup yang menormalisasi kebohongan. Dan selama itu masih dianggap wajar, maka negeri ini akan terus miskin bukan karena tak punya uang, tapi karena kehilangan rasa malu.
Dwi Taufan Hidayat

















