Status DKI Berubah Menjadi DKJ Arah Kebijakan Hukum Publik Jakarta Utara

- Penulis

Selasa, 4 November 2025 - 12:10

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

Jakarta, Majalahjakarta.com – Perubahan status dari Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 bukan sekadar pergeseran nomenklatur administratif. Ia adalah simbol transisi paradigma pemerintahan daerah yang akan menentukan wajah baru Jakarta-dan salah satu arena paling strategis untuk menilai efektivitas perubahan ini adalah Jakarta Utara, wilayah yang menjadi denyut logistik dan gerbang laut Indonesia.

Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal (PPNT) Jakarta, sebagai lembaga yang fokus pada advokasi kebijakan publik, memandang bahwa perubahan ini bukan hanya tentang penyesuaian status hukum, melainkan juga tentang bagaimana pemerintah menata ulang arah kebijakan hukum publik yang berdampak langsung terhadap masyarakat perkotaan, pelaku ekonomi, hingga lingkungan pesisir.

Kota Global, Namun Tetap Rapuh Secara Struktural
Salah satu poin penting dalam kebijakan baru DKJ adalah penegasan peran Jakarta sebagai kota global dan pusat ekonomi nasional. Secara teoritis, kebijakan hukum publik ke depan akan diarahkan untuk memperkuat peran Jakarta sebagai pusat perdagangan, layanan keuangan, dan aktivitas bisnis internasional.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Namun, dalam konteks Jakarta Utara, status ini adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, pelabuhan Tanjung Priok dan kawasan maritim di sekitarnya menjadi magnet investasi logistik, industri, dan ekspor. Tetapi di sisi lain, ketimpangan spasial dan sosial-ekonomi masih menjadi masalah kronis. Data BPS tahun terakhir menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di beberapa kelurahan pesisir Jakarta Utara tetap lebih tinggi dibandingkan wilayah administratif lain di Jakarta, menandakan ketidakmerataan hasil pembangunan.

Dengan kata lain, ketika pemerintah pusat berbicara tentang “kota global”, masyarakat pesisir masih berbicara tentang banjir rob, relokasi paksa, dan harga tanah yang kian tak terjangkau.

Perubahan Nomenklatur: Formalitas atau Reformasi Struktural?
Pergantian nama dari DKI menjadi DKJ memang tampak sederhana-sekadar mengubah huruf dalam administrasi. Namun perubahan nomenklatur seharusnya mencerminkan reorientasi kebijakan publik. Sayangnya, banyak indikator menunjukkan bahwa perubahan ini berisiko menjadi kosmetik belaka jika tidak diikuti dengan reformasi struktural dalam tata kelola.

Misalnya, bagaimana kesiapan birokrasi dalam menyelaraskan sistem hukum, mekanisme pelayanan publik, dan tata kelola keuangan daerah di bawah kerangka DKJ? Apakah perubahan nomenklatur juga akan membawa transformasi nilai dan kinerja di tingkat birokrasi daerah, termasuk di wilayah seperti Jakarta Utara yang memiliki kompleksitas geografis dan sosial tinggi?

Jika jawabannya tidak, maka “DKJ” hanya akan menjadi baju baru dengan tubuh lama-tanpa pembaruan cara berpikir maupun praktik pemerintahan yang lebih adaptif terhadap tantangan zaman.

Aglomerasi dan Tantangan Koordinasi Wilayah
Salah satu karakter khas DKJ adalah fungsi aglomerasi, yaitu kemampuan Jakarta untuk mengelola keterkaitan wilayah dengan kawasan penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek). Model ini diharapkan mampu mengurangi beban urbanisasi dan ketimpangan infrastruktur antarwilayah.

Namun pertanyaan krusialnya: siapa yang akan mengendalikan orkestrasi kebijakan antarwilayah itu? Undang-Undang DKJ menempatkan seorang wakil presiden sebagai pemimpin wilayah aglomerasi, tetapi secara praktis, efektivitasnya bergantung pada sinkronisasi antar-pemerintah daerah, yang selama ini justru sering tumpang-tindih kepentingan.

Bagi Jakarta Utara, aglomerasi akan berimplikasi pada pengelolaan tata ruang, transportasi logistik, dan ekosistem pesisir. Tanpa koordinasi yang jelas, potensi konflik tata ruang-antara proyek reklamasi, jalur logistik, dan kawasan pemukiman-akan terus berulang.

Izin, Investasi, dan Pelayanan Publik di Era DKJ: Jakarta Utara di Persimpangan Kebijakan Baru
Perubahan status dari Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ) bukan hanya menggeser simbol administratif, tetapi juga menata ulang seluruh sistem tata kelola, terutama di bidang perizinan, investasi, dan pelayanan publik.

Bagi wilayah seperti Jakarta Utara-yang menjadi simpul vital ekonomi nasional dengan keberadaan Pelabuhan Tanjung Priok, kawasan industri maritim, dan jalur logistik utama-perubahan ini bukan sekadar formalitas hukum. Ia berpotensi mengubah lanskap ekonomi daerah, arah investasi, hingga wajah pelayanan publik yang langsung bersentuhan dengan warga.

1. Regulasi Perizinan dan Investasi: Sentralisasi atau Desentralisasi Baru?
Salah satu isu paling krusial pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ) adalah arah kebijakan perizinan dan investasi. Di atas kertas, pemerintah berupaya menciptakan iklim investasi yang lebih efisien dan terintegrasi. Namun, persoalan yang muncul adalah: apakah kewenangan perizinan akan dipusatkan di tingkat provinsi, atau tetap diberikan ruang bagi pemerintah kota untuk mengatur berdasarkan karakteristik wilayahnya?

Baca Juga:  Kebocoran BBM Subsidi di Camplong: Cermin Buram Tata Kelola Migas di Daerah

Dalam konteks Jakarta Utara, sentralisasi berlebihan justru dapat menciptakan bottleneck kebijakan. Investor sektor maritim dan logistik membutuhkan kepastian hukum dan kecepatan administrasi, bukan birokrasi yang tumpang-tindih. Data BKPM (2023) menunjukkan bahwa sektor transportasi dan pergudangan di Jakarta menyumbang lebih dari 12% total nilai investasi nasional, dengan mayoritas aktivitas berpusat di wilayah utara. Artinya, kebijakan yang tidak adaptif di level lokal berpotensi menghambat arus modal dan lapangan kerja.

Sementara itu, pemerintah daerah dituntut menyesuaikan regulasi agar mampu menjamin kemudahan berusaha (ease of doing business) tanpa mengorbankan transparansi dan pengawasan publik. Di sinilah tantangan kebijakan hukum publik muncul: bagaimana memastikan bahwa setiap izin yang diterbitkan mendukung pembangunan inklusif, bukan hanya mempercepat ekspansi korporasi besar di kawasan pesisir?

Kritiknya jelas-Jakarta tidak boleh kembali menjadi laboratorium kebijakan elitis yang menyingkirkan masyarakat kecil dari akses ekonomi.

2. Pelayanan Publik Berkelanjutan: Antara Stabilitas dan Reformasi
Di sisi lain, perubahan status menuju DKJ tidak serta-merta mengubah seluruh struktur pelayanan publik. Pemerintah menegaskan bahwa layanan dasar seperti BPJS Kesehatan, pendidikan, hingga layanan administrasi seperti Samsat akan tetap berjalan normal. Hal ini penting untuk menjaga kepercayaan publik di tengah transisi hukum dan politik yang besar.

Namun, kestabilan administrasi tidak berarti stagnasi reformasi. Pelayanan publik Jakarta masih menghadapi masalah klasik: antrean panjang, sistem digital yang belum terintegrasi, dan ketimpangan akses antara pusat kota dan wilayah pesisir.

Laporan Ombudsman RI (2023) menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan standar pelayanan publik di Jakarta masih berada di kategori “cukup baik”, namun dengan skor kepatuhan 81,47, masih di bawah beberapa provinsi lain seperti Jawa Timur dan Jawa Tengah. Artinya, perubahan menjadi DKJ seharusnya menjadi momentum untuk meningkatkan kualitas, bukan sekadar menjaga kelangsungan layanan.

Khusus bagi Jakarta Utara, integrasi layanan publik berbasis maritim-seperti digitalisasi perizinan pelabuhan, sistem transportasi terpadu, hingga akses layanan sosial bagi pekerja sektor informal-harus menjadi prioritas dalam penyusunan Peraturan Daerah (Perda) dan kebijakan turunan UU DKJ.

3. UU DKJ dan Ketergantungan pada Keputusan Politik Nasional
UU DKJ baru akan berlaku penuh setelah terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) tentang pemindahan resmi ibu kota negara ke Ibu Kota Nusantara (IKN). Artinya, Jakarta kini berada dalam fase limbo administratif: tidak lagi ibu kota negara, namun juga belum sepenuhnya otonom sebagai provinsi dengan kekhususan baru.

Dalam situasi transisi seperti ini, kebijakan perizinan dan pelayanan publik mudah terseret ke dalam ambiguitas hukum. Misalnya, siapa otoritas final dalam penyusunan kebijakan strategis investasi di pelabuhan? Apakah kewenangan tersebut masih tunduk pada kementerian pusat, atau sudah menjadi domain DKJ?

Kekaburan batas kewenangan ini dapat menimbulkan risiko ketidakpastian hukum investasi, yang berpotensi mengganggu kepercayaan dunia usaha. PPNT Jakarta menekankan pentingnya sinkronisasi vertikal antara kebijakan pusat dan daerah, agar perubahan status DKJ tidak menjadi jebakan administratif yang melemahkan efektivitas kebijakan publik.

4. Refleksi: Jakarta Harus Jadi Model Tata Kelola, Bukan Simbol Politik
Reformasi hukum dan kebijakan publik di era DKJ akan diuji bukan oleh seberapa cepat aturan baru diterbitkan, tetapi seberapa konsisten implementasinya di lapangan. Jakarta, dengan segala sumber daya dan infrastruktur modernnya, seharusnya mampu menjadi model tata kelola daerah yang efisien, transparan, dan berkeadilan sosial.

Namun untuk mencapainya, pemerintah harus berani menggeser paradigma pembangunan: dari sekadar menciptakan iklim investasi, menuju menciptakan iklim kesejahteraan.

Jakarta Utara adalah cermin nyata ketegangan itu-antara kepentingan korporasi dan hak hidup warga pesisir, antara kecepatan investasi dan keberlanjutan lingkungan, antara simbol kota global dan realitas ketimpangan sosial.

Jika kebijakan perizinan dan pelayanan publik dalam kerangka DKJ tidak diarahkan dengan perspektif keadilan sosial, maka perubahan ini hanya akan memperkuat status quo-Jakarta tetap kaya, tapi tidak adil.

Arthur Noija SH

Berita Terkait

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia
Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”
UIN Jakarta Kucurkan Rp2,85 Miliar Beasiswa untuk Dosen dan Tendik: Dorong Kualitas SDM dan Layanan Kampus
Apel Pagi di Lapas Banda Aceh: Momentum Disiplin dan Apresiasi Pegawai Teladan
Kebijakan Pelabuhan Dimata Hukum DKJ Di Jakarta Utara
Politik Hukum Dalam Regulasi Kebijakan Dimata Hukum Publik
Loyalitas Bergeser, Drama Jokowi-Gerindra Memanas
Ketika Prioritas Menentukan Hak Pasien BPJS
Berita ini 17 kali dibaca
4 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Berita Terkait

Rabu, 5 November 2025 - 19:03

Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”

Rabu, 5 November 2025 - 17:56

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Selasa, 4 November 2025 - 16:56

Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria

Selasa, 4 November 2025 - 16:11

Apel Pagi di Lapas Banda Aceh: Momentum Disiplin dan Apresiasi Pegawai Teladan

Selasa, 4 November 2025 - 15:54

Jakarta Jadi Kota Kedua Terbanyak Pembeli Jersey Persib

Selasa, 4 November 2025 - 12:10

Status DKI Berubah Menjadi DKJ Arah Kebijakan Hukum Publik Jakarta Utara

Selasa, 4 November 2025 - 11:32

Kebijakan Pelabuhan Dimata Hukum DKJ Di Jakarta Utara

Selasa, 4 November 2025 - 10:53

Politik Hukum Dalam Regulasi Kebijakan Dimata Hukum Publik

Berita Terbaru

Berita

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 Nov 2025 - 19:27

Berita

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 Nov 2025 - 17:56

Berita

Pertumbuhan 5 Persen, Tapi Siapa yang Untung?

Rabu, 5 Nov 2025 - 17:41

Kebangsaan

Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda

Rabu, 5 Nov 2025 - 17:24

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x