Jakarta, Majalahjakarta.com – Dalam negara hukum yang demokratis, setiap kebijakan publik seharusnya tidak hanya diukur dari kepentingan politik jangka pendek, tetapi juga dari arah politik hukum yang menjadi fondasinya. Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal (PPNT) Jakarta-lembaga yang konsen di bidang advokasi kebijakan publik-menilai bahwa politik hukum adalah kebijakan resmi tentang hukum yang bertujuan mencapai cita-cita negara dan mengatasi persoalan publik secara sistematis.
Di tengah derasnya arus regulasi dan kebijakan baru, politik hukum seharusnya menjadi kompas normatif bagi negara untuk memastikan bahwa hukum bekerja bukan sebagai alat kekuasaan, melainkan sebagai sarana keadilan dan kesejahteraan rakyat.
1. Politik Hukum: Instrumen Regulasi yang Mengikat dan Berkeadilan
Politik hukum pada hakikatnya merupakan alat untuk meregulasi kebijakan publik agar memiliki dasar hukum yang kuat, mengikat, dan dapat dilaksanakan secara efektif. Ia memastikan setiap kebijakan tidak hanya legal secara formil, tetapi juga sah secara moral dan sosial.
Tanpa arah politik hukum yang jelas, kebijakan publik mudah terjebak dalam bias kepentingan kekuasaan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kita bisa melihat contohnya dalam berbagai kebijakan ekonomi dan lingkungan yang tumpang tindih antar sektor. Dalam banyak kasus, peraturan dibuat reaktif, tanpa pertimbangan menyeluruh terhadap dampak sosial dan hukum. Akibatnya, masyarakat menjadi korban ketidakpastian. Padahal, politik hukum seharusnya menjamin keterpaduan antara kebijakan dan hukum agar tidak saling menegasikan.
2. Menentukan Arah dan Bentuk Hukum Sesuai Tujuan Konstitusi
Sebagai pengarah utama sistem hukum nasional, politik hukum menentukan arah pembentukan, perubahan, dan penegakan hukum agar sejalan dengan tujuan negara seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945: melindungi bangsa, mencerdaskan rakyat, dan mewujudkan keadilan sosial.
Namun realitasnya, arah hukum Indonesia sering kali bergeser mengikuti dinamika politik praktis. Revisi undang-undang strategis—seperti UU Cipta Kerja-menunjukkan betapa kuatnya tekanan ekonomi-politik dapat menggeser esensi keadilan hukum. Proses legislasi yang seharusnya berbasis kajian akademik dan partisipasi publik sering kali dilakukan secara terburu-buru.
Hal ini mencerminkan lemahnya politik hukum berbasis konstitusi, yang seharusnya menjadikan hukum sebagai instrumen rakyat, bukan alat elit politik.
3. Dasar Pembentukan Kebijakan: Filosofis, Sosiologis, dan Politis
Menurut Jurnal Sukabumi, politik hukum menentukan dasar-dasar filosofis, sosiologis, dan politis dalam pembentukan kebijakan publik melalui peraturan perundang-undangan.
Artinya, setiap kebijakan publik idealnya harus:
Filosofis: mencerminkan nilai-nilai dasar Pancasila dan tujuan konstitusi.
Sosiologis: selaras dengan kebutuhan nyata masyarakat.
Politis: merefleksikan arah ideologis negara, bukan kepentingan golongan.
Namun, praktik di lapangan menunjukkan sebaliknya. Banyak regulasi tidak mengakar pada kebutuhan sosial, melainkan pada kepentingan investor atau kelompok tertentu. Misalnya, kebijakan eksploitasi sumber daya alam di beberapa daerah yang tidak mempertimbangkan hak masyarakat adat. Ini menandakan adanya dislokasi antara politik hukum dan keadilan sosial.
4. Penyesuaian dengan Realitas Sosial: Hukum yang Hidup, Bukan Membatu
Konsep hukum progresif yang diperkenalkan oleh Prof. Satjipto Rahardjo mengingatkan bahwa hukum harus mampu hidup di tengah masyarakat. Politik hukum yang baik bukan yang hanya menegaskan pasal, tetapi yang mampu menyesuaikan hukum dengan realitas sosial.
Sayangnya, Indonesia sering terjebak pada hukum yang statis dan elitis. Banyak regulasi disusun tanpa melibatkan masyarakat terdampak. Contohnya, dalam kebijakan tata ruang dan pertanahan, regulasi sering kali berpihak pada pengembang ketimbang warga. Akibatnya, hukum kehilangan ruh kemanusiaannya.
Padahal, politik hukum seharusnya memastikan bahwa regulasi tidak membatasi rakyat, melainkan memberdayakan mereka.
5. Menciptakan Kepastian dan Keadilan
Hukum tanpa kepastian menimbulkan kekacauan, sedangkan kepastian tanpa keadilan melahirkan penindasan. Inilah dilema klasik yang hanya bisa dijembatani oleh politik hukum yang visioner.
Dengan dasar politik hukum yang kuat, kebijakan publik akan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa yang adil-tidak hanya untuk rakyat, tetapi juga bagi pemerintah itu sendiri. Data dari World Justice Project (WJP) 2024 menempatkan Indonesia di peringkat 68 dari 142 negara dalam Rule of Law Index. Angka ini menegaskan bahwa kepastian dan keadilan hukum masih menjadi pekerjaan rumah besar.
6. Politik Hukum sebagai Batas Kekuasaan Penguasa
Di negara hukum, kekuasaan bukan hanya untuk memerintah, tetapi juga untuk dibatasi. Politik hukum berfungsi sebagai benteng moral dan normatif agar penguasa tidak menyalahgunakan wewenang.
Namun dalam praktik, hukum sering kali justru dijadikan alat legitimasi kekuasaan. Produk hukum yang seharusnya membatasi pemerintah malah digunakan untuk memperluas kewenangan. Misalnya, penerbitan Perppu dalam kondisi politik, bukan kedaruratan hukum.
Jika politik hukum tidak dijaga independensinya, maka prinsip rule of law akan tergantikan oleh rule by law-di mana hukum sekadar menjadi instrumen kekuasaan, bukan penjaga keadilan.
Meneguhkan Politik Hukum sebagai Kompas Etika Negara
Dewan Pimpinan Pusat PPNT Jakarta menegaskan bahwa politik hukum harus menjadi kompas etika negara, bukan sekadar strategi teknokratis. Ia harus membimbing kebijakan publik agar selaras dengan nilai-nilai Pancasila, kebutuhan rakyat, dan prinsip keadilan sosial.
Politik hukum yang kuat bukan yang menghasilkan banyak aturan, tetapi yang mampu melahirkan hukum yang adil, partisipatif, dan berkeadaban. Karena hanya dengan politik hukum yang berorientasi pada rakyat, cita-cita konstitusi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” bisa benar-benar diwujudkan, bukan sekadar dikutip.
Arthur Noija SH

















