Jakarta, Majalahjakarta.com – Desakan untuk menata ulang tata kelola BPJS Ketenagakerjaan kembali mencuat. Advokat senior Daniel Minggu, S.H., secara terbuka meminta pemerintah melalui Wakil Presiden Republik Indonesia segera memberhentikan Anggoro Eko Cahyo, Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, dengan tidak hormat.
Langkah hukum dan moral ini, kata Daniel, merupakan puncak dari kekecewaan atas bobroknya sistem pengawasan internal lembaga yang mengelola triliunan dana pekerja tersebut. “Kami sudah tiga kali bersurat resmi melalui kanal Lapor Mas Wapres. Namun alih-alih mendapatkan solusi, justru diarahkan kembali ke BPJS-lembaga yang justru kami laporkan. Ini preseden buruk bagi transparansi publik,” ujarnya di Jakarta, Rabu (22/10/2025).
Daniel yang dikenal sebagai “Ayam Jantan dari Timur” menegaskan, desakan itu bukan sekadar amarah pribadi, melainkan bentuk tanggung jawab moral terhadap kegagalan struktural yang telah berlangsung lama di tubuh BPJS Ketenagakerjaan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia menyoroti dua persoalan mendasar yang menjadi akar dari tuntutannya:
1. Mandeknya fungsi pengawasan dan pemeriksaan (wasrik) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang BPJS No. 24 Tahun 2011, Pasal 10 dan 11. Menurutnya, petugas yang diberi mandat hukum untuk melakukan pengawasan dan penagihan justru tidak memiliki kompetensi memadai.
2. Dugaan adanya kolusi sistemik antara pimpinan BPJS dan sejumlah perusahaan besar. “Pernah saya sampaikan langsung di depan pejabat BPJS, Desember 2023 lalu: ini bukan sekadar maladministrasi, tapi potensi moral hazard yang menghancurkan kepercayaan pekerja terhadap lembaga negara,” tegasnya.
Daniel menilai absennya pelatihan khusus bagi petugas pengawasan-seperti yang dilakukan lembaga lain terhadap penyidik pegawai negeri sipil (PPNS)-bukan kebetulan, melainkan strategi yang disengaja agar “niat jahat bisa berjalan mulus.”
“Bagaimana mungkin lembaga sebesar BPJS tidak mendidik petugas wasrik-nya secara profesional? Ini seperti memberi wewenang tanpa senjata, lalu menyalahkan ketika pengawasan gagal. Jika bukan karena kelalaian, patut diduga ada kesengajaan,” ungkapnya.
Menurut Daniel, situasi ini mencerminkan defisit akuntabilitas dan krisis kepemimpinan publik. “Kepemimpinan yang abai terhadap kompetensi aparatnya adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah rakyat. Karena itu, pencopotan dengan tidak hormat bukan sekadar pilihan, tetapi kewajiban moral dan konstitusional,” tegasnya lagi.
Desakan Daniel mendapat dukungan dari sejumlah lembaga sipil, antara lain Lembaga Nasional Pemantau dan Pemerhati Aset Negara (LNPPAN), Lembaga Nasional Anti Korupsi (LNAKRI), serta LSM Generasi Muda Peduli Tanah Air (GEMPITA). Mereka menilai isu yang diangkat Daniel menggambarkan lemahnya tata kelola sektor jaminan sosial yang semestinya menjadi benteng keadilan bagi pekerja Indonesia.
Dalam waktu dekat, Daniel berencana menembuskan dokumen resmi ke Kementerian Keuangan, Kementerian Ketenagakerjaan, Komisi IX DPR RI, dan Ombudsman RI. Tujuannya, mendorong reformasi kelembagaan agar BPJS Ketenagakerjaan kembali pada fungsinya: melayani rakyat, bukan menjadi alat kongkalikong bisnis.
“BPJS bukan perusahaan asuransi swasta. Ia adalah instrumen negara untuk melindungi tenaga kerja. Jika mental birokratnya terjebak pada kepentingan, maka dana rakyat berubah menjadi ladang rente. Itu yang kami lawan,” tutup Daniel Minggu dengan nada keras.
Analisis Akademik – Studi Kebijakan Publik:
Kasus ini membuka ruang refleksi tentang lemahnya governance lembaga publik di Indonesia. Ketika fungsi pengawasan tidak diperkuat melalui pendidikan, kompetensi, dan independensi, maka kebijakan publik kehilangan ruhnya. Dalam konteks teori Good Governance, BPJS Ketenagakerjaan seharusnya menegakkan prinsip accountability dan transparency, bukan sekadar menjalankan administrasi teknis.
Pencopotan pimpinan yang dinilai gagal bukan hanya urusan personal, tetapi langkah struktural untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap lembaga jaminan sosial nasional. (Red)

















