Eigendom Verponding: Bayang Kolonial dalam Cermin Hukum Agraria Nasional

- Penulis

Kamis, 9 Oktober 2025 - 14:26

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

(Sebuah Studi Kebijakan tentang Dekolonisasi Tanah, Kepastian Hukum, dan Ketimpangan Akses Publik)

Jakarta, Majalahjakarta.com – Dalam sejarah panjang hukum pertanahan Indonesia, Eigendom Verponding menempati posisi yang ambigu: antara artefak kolonial dan sumber sengketa kontemporer. Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal (PPNT), yang konsisten mengawal isu-isu advokasi kebijakan publik, menilai bahwa fenomena ini mencerminkan paradoks hukum agraria nasional – ketika sistem hukum modern masih kerap dibayangi oleh logika feodal warisan kolonial.

Secara yuridis, Eigendom Verponding adalah bentuk hak milik absolut dalam sistem hukum perdata Belanda yang diberlakukan di Hindia Belanda. Namun sejak disahkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960, sistem tersebut telah dihapus dan digantikan oleh sistem hukum agraria nasional yang lebih berkeadilan sosial. Dalam kerangka hukum publik, Eigendom Verponding tidak lagi diakui sebagai bukti kepemilikan yang sah.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Regulasi terbaru, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, menegaskan bahwa setiap bentuk bukti kepemilikan lama – termasuk Eigendom Verpondingtidak memiliki kekuatan hukum jika tidak dikonversi melalui sistem pertanahan nasional. Artinya, pemegang dokumen lama tersebut wajib melakukan pendaftaran ulang dan konversi menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM) di kantor pertanahan setempat agar memiliki kepastian hukum.

Namun, problemnya tidak berhenti di situ. Banyak masyarakat yang masih memegang dokumen Eigendom Verponding karena keterbatasan akses informasi, biaya administrasi, atau ketidaktahuan terhadap prosedur hukum. Di sisi lain, lemahnya sosialisasi kebijakan dan inkonsistensi birokrasi di lapangan menimbulkan kesan bahwa hukum agraria nasional belum sepenuhnya membumi.

PPNT menilai, pemerintah seharusnya tidak hanya menegaskan norma hukum, tetapi juga memastikan transisi kebijakan yang inklusif-melalui digitalisasi data tanah, program konversi massal, dan edukasi hukum berbasis masyarakat. Sebab tanpa itu, hukum pertanahan hanya akan menjadi dokumen normatif yang sulit diakses rakyat kecil, sementara konflik agraria terus berulang dengan wajah yang berbeda.

Secara Akademik, kasus Eigendom Verponding adalah pelajaran penting tentang bagaimana politik hukum agraria harus dibaca sebagai upaya dekolonisasi hukum secara menyeluruh. Ia menuntut keberanian negara untuk menegakkan keadilan agraria substantif, bukan sekadar administratif. Di era digital dan keterbukaan data, publik berhak menuntut sistem pertanahan yang transparan, terintegrasi, dan berpihak pada kepastian hukum rakyat.

Latar Belakang dan Status Hukum
Dalam sejarah hukum agraria Indonesia, Eigendom Verponding adalah salah satu peninggalan paling kompleks dari sistem hukum kolonial Belanda. Kata “eigendom” berarti kepemilikan penuh (absolute ownership), sementara “verponding” merujuk pada sistem pajak tanah yang dikenakan atas hak milik tersebut. Hak ini pada masanya memberikan kekuasaan penuh kepada pemilik tanah, umumnya warga Eropa atau korporasi kolonial, untuk menguasai dan mengeksploitasi lahan.

Namun, pasca-kemerdekaan, paradigma hukum agraria Indonesia bergeser secara radikal. Melalui Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960, negara menegaskan prinsip bahwa tanah bukan lagi komoditas feodal atau kolonial, melainkan sarana keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam Pasal I Aturan Konversi UUPA ditegaskan bahwa semua hak tanah warisan kolonial, termasuk Eigendom Verponding, dikonversi menjadi Hak Milik, dengan batas waktu tertentu. Sayangnya, banyak pemegang hak yang tidak melakukan konversi tersebut, baik karena ketidaktahuan, kurangnya sosialisasi, maupun kendala administratif.

Kini, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, dan Pendaftaran Tanah, negara secara tegas menyatakan bahwa seluruh alat bukti tertulis atas tanah bekas hak barat-termasuk Eigendom Verponding-tidak lagi berlaku. Artinya, tanah-tanah tersebut berstatus sebagai Tanah yang Dikuasai Langsung oleh Negara, kecuali telah dilakukan konversi secara resmi ke dalam sistem hukum nasional.

Konsekuensi bagi Pemegang Bukti Eigendom Verponding
Kebijakan ini membawa konsekuensi hukum yang signifikan. Pemegang bukti Eigendom Verponding tanpa konversi kini berada dalam posisi rentan dan tidak pasti secara hukum. Secara administratif, tanah mereka dapat dikategorikan sebagai tanah negara dan berpotensi disengketakan oleh pihak lain.

Kondisi ini menciptakan ironi kebijakan: di satu sisi, negara menegakkan supremasi hukum nasional; di sisi lain, masyarakat pemegang bukti lama sering kali tidak dibekali dengan akses informasi dan layanan hukum yang memadai untuk melakukan konversi. Akibatnya, celah ini dimanfaatkan oleh spekulan tanah, mafia sertifikat, atau oknum aparat untuk mengaburkan status kepemilikan lahan.

Dalam konteks kebijakan publik, PPNT (Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal) menilai bahwa permasalahan Eigendom Verponding bukan semata soal legal-formal, melainkan cermin ketimpangan transisi hukum agraria nasional. Pemerintah sering kali memusatkan perhatian pada regulasi, tetapi lupa pada aspek edukasi dan implementasi.

Proses Mendapatkan Kepastian Hukum
Dalam kerangka hukum agraria nasional, kepastian hukum atas tanah bukan sekadar formalitas administratif, melainkan manifestasi dari keadilan sosial sebagaimana diamanatkan dalam UUPA Nomor 5 Tahun 1960. Salah satu kasus klasik yang terus berulang hingga kini adalah status tanah bekas Eigendom Verponding – hak kepemilikan kolonial yang belum seluruhnya terkonversi menjadi hak milik nasional.

1. Pendaftaran Tanah dan Konversi Hak
Langkah pertama menuju kepastian hukum adalah pendaftaran tanah. Pemegang bukti Eigendom Verponding wajib mengajukan konversi hak menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM) dengan mendaftarkan tanah tersebut ke Kantor Pertanahan setempat (BPN). Proses ini bukan hanya untuk memperbarui status hukum, tetapi juga untuk menegaskan bahwa hak atas tanah telah berada dalam kerangka hukum nasional yang sah dan diakui.
2. Regulasi Terbaru dan Penguatan Legalitas
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021, tanah bekas hak barat yang masih dikuasai oleh Warga Negara Indonesia (WNI) hanya dapat diproses apabila disertai surat pernyataan penguasaan fisik tanah yang diketahui oleh saksi dan disahkan aparat berwenang. Ketentuan ini bertujuan untuk memastikan keabsahan penguasaan dan mencegah klaim fiktif yang kerap menjadi sumber sengketa.

Baca Juga:  Dewan Kota DKJ: Diakui Hukum, Dipinggirkan Demokrasi

Namun, dalam praktiknya, implementasi di lapangan kerap menghadapi hambatan: mulai dari lemahnya sosialisasi, ketidaksinkronan data antara dokumen lama dan peta bidang, hingga praktik birokrasi yang masih manual. Akibatnya, banyak masyarakat yang secara de facto menguasai tanah, tetapi secara de jure kehilangan legitimasi hukum.
3. Kepastian Hukum sebagai Pilar Perlindungan Hak
Melalui proses konversi dan sertifikasi ini, masyarakat memperoleh jaminan kepemilikan resmi yang diakui negara. Sertifikat tersebut menjadi dasar perlindungan hukum terhadap potensi sengketa, penyerobotan, atau klaim ganda. Namun, di sisi lain, fakta lapangan menunjukkan bahwa ketimpangan akses terhadap layanan pertanahan membuat banyak warga terjebak dalam situasi “setengah legal” – menguasai tanah tanpa kepastian hukum.

Analisis Yuridis: Antara Hukum dan Realitas
Implementasi hak Eigendom Verponding dalam konteks pendaftaran tanah berdasarkan UUPA 1960 merupakan isu fundamental yang menyinggung proses dekolonisasi hukum agraria. Hak ini, yang dulunya menjadi simbol absolutisme kolonial, dianggap tidak sesuai dengan asas kemakmuran rakyat dan keadilan sosial yang menjadi fondasi sistem agraria Indonesia.

Persoalan muncul ketika tanah-tanah bekas Eigendom Verponding tidak tercatat dalam sistem pendaftaran tanah nasional. Secara hukum, statusnya menjadi abu-abu-tidak dapat diklaim sebagai milik pribadi, tetapi juga belum sepenuhnya menjadi tanah negara. Hal ini melahirkan dua pertanyaan mendasar:
1. Bagaimana implementasi pendaftaran kepemilikan Eigendom Verponding menurut UUPA 1960?
2. Bagaimana status hukum tanah Eigendom Verponding yang tidak dikonversi sesuai peraturan UUPA?

Untuk menjawab pertanyaan ini, pendekatan yang digunakan adalah penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach), yaitu menelaah UUPA, PP No. 18 Tahun 2021, serta berbagai Peraturan Menteri ATR/BPN terkait pendaftaran tanah. Selain itu, digunakan pula pendekatan konseptual (conceptual approach) untuk memahami doktrin dan prinsip hukum agraria yang berkembang dalam teori maupun praktik, termasuk konsepsi hak kepemilikan dan transformasi sistem hukum dari kolonial ke nasional.

Antara Norma dan Praktik di Lapangan
Dari hasil kajian dan telaah regulatif terhadap sistem hukum agraria nasional, dapat disimpulkan bahwa implementasi pendaftaran kepemilikan tanah bekas Eigendom Verponding telah diatur secara tegas dalam Bagian Kedua Ketentuan Konversi Romawi I Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960. Ketentuan ini menyatakan bahwa seluruh hak atas tanah yang berasal dari sistem hukum kolonial-termasuk eigendom-harus dikonversi menjadi Hak Milik yang diakui oleh sistem hukum agraria nasional.

Konversi ini bukan sekadar perubahan status administratif, melainkan perwujudan prinsip keadilan sosial dan dekolonisasi hukum pertanahan. Namun, dalam praktiknya, pengakuan dan perlindungan hukum penuh baru dapat diperoleh apabila pemegang hak tersebut mendaftarkan tanahnya secara resmi sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021.

Regulasi ini menjadi dasar penting bagi pemerintah untuk menegaskan bahwa tanah yang tidak terdaftar atau tidak dikonversi tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak diakui sebagai hak milik.

Status Hukum: Antara Ketidakjelasan dan Risiko Kehilangan Hak
Status tanah Eigendom Verponding yang belum dikonversi dan tidak terdaftar menurut sistem nasional secara yuridis menjadi tidak jelas dan kehilangan kepastian hukum. Tanpa melalui proses konversi dan pendaftaran resmi, tanah tersebut berisiko dianggap sebagai tanah negara, terutama jika tidak dimanfaatkan sesuai asas fungsi sosial tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPA.

Dalam konteks kebijakan publik, situasi ini membuka ruang bagi potensi konflik: antara masyarakat pemegang bukti lama dengan pihak lain, bahkan dengan negara sendiri. Ironisnya, ketidakpastian ini bukan hanya akibat kelalaian individu, tetapi juga akibat minimnya sosialisasi hukum, ketidaksinkronan data pertanahan, serta lemahnya pelayanan administratif di tingkat daerah.

Menurut data Kementerian ATR/BPN (2024), masih terdapat lebih dari 20 juta bidang tanah belum bersertifikat di Indonesia, termasuk tanah-tanah dengan dasar kepemilikan lama seperti Eigendom Verponding. Kondisi ini menunjukkan bahwa masalah agraria bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga problem tata kelola kebijakan publik yang belum inklusif.

Saran dan Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan hasil analisis di atas, Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal (PPNT) menyarankan agar implementasi hukum terkait Eigendom Verponding diperkuat melalui tiga pendekatan strategis:
1. Penguatan Sistem Pendaftaran Tanah Nasional
Pemerintah perlu memperkuat kapasitas Kantor Pertanahan dalam melakukan konversi hak lama dengan memperluas cakupan pelayanan, mempercepat digitalisasi arsip tanah, serta memastikan integrasi data nasional antara pusat dan daerah.
2. Edukasi dan Kesadaran Hukum Publik
Rendahnya pemahaman masyarakat terhadap kewajiban pendaftaran tanah menjadi akar persoalan. Dibutuhkan program edukasi hukum agraria secara masif dan berkelanjutan agar masyarakat memahami pentingnya sertifikasi dan konversi sebagai bentuk perlindungan hukum atas haknya.
3. Pemanfaatan Teknologi untuk Aksesibilitas dan Efisiensi
Inovasi digital seperti Pendaftaran Tanah Elektronik (PT Elektronik) harus dioptimalkan untuk mempermudah proses registrasi, mengurangi biaya, serta meminimalkan praktik percaloan atau manipulasi data oleh pihak tertentu.

Dengan langkah-langkah ini, implementasi hak Eigendom Verponding dapat berjalan lebih transparan, efisien, dan inklusif.

Dari Dekolonisasi Regulasi ke Keadilan Sosial
Persoalan Eigendom Verponding sejatinya adalah simbol dari ketegangan historis antara hukum kolonial dan hukum nasional. Enam dekade setelah UUPA diberlakukan, Indonesia masih berhadapan dengan bayangan masa lalu yang belum sepenuhnya terselesaikan.

Kritiknya sederhana namun tajam: negara tidak cukup hanya menegaskan norma hukum, tetapi harus hadir secara nyata dalam implementasinya.
Dekolonisasi hukum agraria tidak berhenti pada pencabutan hak lama, tetapi harus diwujudkan dalam keadilan akses, kepastian hukum, dan pemberdayaan rakyat sebagai subjek utama kepemilikan tanah.

Karena pada akhirnya, kepemilikan tanah bukan sekadar soal sertifikat, tetapi soal kedaulatan rakyat atas ruang hidupnya sendiri.

Arthur Noija SH

Berita Terkait

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran
Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan
Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia
Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”
Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara
Pertumbuhan 5 Persen, Tapi Siapa yang Untung?
Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda
Marak Debitur Dijerat Pasal Penggelapan Objek Fidusia, Pakar Hukum: “Jangan Campur Urusan Perdata dengan Pidana”
Berita ini 23 kali dibaca
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Berita Terkait

Kamis, 6 November 2025 - 04:03

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran

Kamis, 6 November 2025 - 03:30

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Rabu, 5 November 2025 - 19:27

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 November 2025 - 19:03

Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”

Rabu, 5 November 2025 - 17:56

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 November 2025 - 17:24

Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda

Selasa, 4 November 2025 - 16:56

Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria

Selasa, 4 November 2025 - 16:29

UIN Jakarta Kucurkan Rp2,85 Miliar Beasiswa untuk Dosen dan Tendik: Dorong Kualitas SDM dan Layanan Kampus

Berita Terbaru

Hukum

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Kamis, 6 Nov 2025 - 03:30

Berita

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 Nov 2025 - 19:27

Berita

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 Nov 2025 - 17:56

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x