Dewan Kota DKJ: Diakui Hukum, Dipinggirkan Demokrasi

- Penulis

Minggu, 26 Oktober 2025 - 16:36

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

Jakarta, Majalahjakarta.com – Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal yang fokus pada advokasi kebijakan publik menilai bahwa dalam perspektif hukum publik, perubahan status DKI Jakarta menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ) tidak serta-merta mengubah posisi Dewan Kota secara substansial.

Secara hukum, Dewan Kota tetap eksis dan berfungsi di tingkat administrasi kota maupun kabupaten. Namun, posisinya masih sebatas lembaga musyawarah yang berperan memberi saran dan pertimbangan kepada wali kota, bukan sebagai badan legislatif yang memiliki kewenangan politik dan hak anggaran sebagaimana Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Data dari Kementerian Dalam Negeri menunjukkan bahwa sepanjang lima tahun terakhir, efektivitas peran Dewan Kota dalam menyampaikan aspirasi warga belum menunjukkan pengaruh signifikan terhadap penyusunan kebijakan strategis daerah. Hal ini terjadi karena struktur kewenangan yang terbatas, serta ketergantungan administratif pada eksekutif kota.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dari perspektif studi kebijakan publik, kondisi ini menimbulkan pertanyaan etis dan institusional:
Apakah Dewan Kota hanya menjadi simbol partisipasi publik, atau benar-benar instrumen demokrasi deliberatif yang mampu menyalurkan suara warga di tengah sistem pemerintahan yang makin terpusat?

Dalam kerangka hukum, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta dan rancangan Undang-Undang DKJ sama-sama tidak memberikan perluasan kewenangan signifikan kepada Dewan Kota. Artinya, peran mereka tetap berada pada ranah advisori-memberi masukan tanpa jaminan akan diakomodasi dalam kebijakan.

Dewan Kota di Era DKJ: Diakui Undang-Undang, Tapi Masih di Pinggiran Demokrasi
Perubahan status Jakarta dari Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ) membawa konsekuensi hukum dan tata kelola pemerintahan yang luas. Namun, di tengah transisi menuju paradigma baru sebagai kota global dan pusat ekonomi nasional, satu lembaga tetap berada dalam posisi “abu-abu” — Dewan Kota/Dewan Kabupaten.

1. Pengakuan Formal dalam Undang-Undang DKJ
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ) secara eksplisit mengakui keberadaan Dewan Kota/Dewan Kabupaten sebagai bagian dari struktur pemerintahan administratif di tingkat kota dan kabupaten.
Pasal-pasal dalam UU tersebut menegaskan bahwa Dewan Kota merupakan lembaga musyawarah, bukan lembaga legislatif. Artinya, secara hukum, keberadaannya diakui, tetapi tidak diberi kekuasaan politik formal untuk membuat, mengubah, atau mengawasi kebijakan publik.

Dengan posisi tersebut, Dewan Kota berperan sebagai wadah partisipasi masyarakat, terutama dalam penyampaian aspirasi, masukan, dan rekomendasi kepada wali kota atau bupati administratif.

2. Antara Legitimasi Hukum dan Keterbatasan Politik
Berbeda dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan di tingkat provinsi, Dewan Kota tidak memiliki kewenangan politik substantif.
Data dari Kementerian Dalam Negeri (2024) menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen rekomendasi Dewan Kota tidak diintegrasikan langsung dalam kebijakan strategis kota. Hal ini mengindikasikan bahwa fungsi musyawarah Dewan Kota belum sepenuhnya terinstitusionalisasi dalam proses pengambilan keputusan daerah.

Baca Juga:  Panggung Oligarki di Republik Tanpa Penonton

Akibatnya, meskipun memiliki legitimasi hukum, Dewan Kota belum menjadi kanal demokrasi lokal yang efektif. Ia lebih sering berperan sebagai perpanjangan tangan administratif daripada representasi sosial-politik warga.

3. Fungsi Partisipatif dan Peran di Tingkat Administratif
Secara normatif, Dewan Kota berfungsi untuk:
Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat kepada wali kota atau bupati administratif.
Membantu pelaksanaan tugas pemerintahan dan pembangunan daerah di tingkat administratif.
Meningkatkan partisipasi warga dalam pengawasan dan evaluasi layanan publik.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan tantangan yang cukup serius. Tanpa mandat politik dan akses langsung terhadap anggaran publik, Dewan Kota kerap kesulitan memastikan agar aspirasi yang diterima benar-benar diimplementasikan dalam kebijakan daerah.

4. Status Tetap, Fungsi Tak Berubah
Perubahan status Jakarta dari ibu kota negara menjadi Daerah Khusus Jakarta yang berorientasi ekonomi global tidak mengubah posisi Dewan Kota dalam kerangka hukum publik.
Fungsi dan kewenangan mereka tetap sama seperti masa DKI, yakni sebagai lembaga musyawarah dan jembatan aspirasi warga, bukan entitas pembuat kebijakan.

Hal ini menimbulkan kritik dari kalangan akademisi dan pengamat tata kelola publik yang menilai bahwa reformasi kelembagaan DKJ belum menyentuh akar demokrasi lokal. Di tengah ambisi globalisasi ekonomi, Jakarta justru berisiko mengalami defisit partisipasi warga bila lembaga seperti Dewan Kota tidak diberdayakan secara struktural.

5. Catatan Kritis: Demokrasi Tanpa Taring di Level Kota
Dalam perspektif hukum publik dan studi kebijakan, posisi Dewan Kota pasca-DKJ menegaskan paradoks antara pengakuan hukum dan eksklusi politik.
Negara telah memberi “status”, tetapi belum memberi “kekuatan”. Padahal, dalam kerangka good governance, partisipasi publik tidak boleh berhenti di tingkat konsultatif, tetapi harus menjadi bagian dari proses decision making yang mengikat.

Jika pemerintah pusat ingin membangun DKJ sebagai kota global berkelas dunia, maka penguatan demokrasi lokal harus berjalan seiring dengan modernisasi birokrasi.
Tanpa itu, Dewan Kota hanya akan menjadi forum simbolik – diakui di atas kertas, tapi kehilangan pengaruh dalam praktik pemerintahan.

Arthur Noija SH

Berita Terkait

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran
Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan
Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia
Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”
Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara
Pertumbuhan 5 Persen, Tapi Siapa yang Untung?
Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda
Marak Debitur Dijerat Pasal Penggelapan Objek Fidusia, Pakar Hukum: “Jangan Campur Urusan Perdata dengan Pidana”
Berita ini 32 kali dibaca
4 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Berita Terkait

Kamis, 6 November 2025 - 04:03

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran

Kamis, 6 November 2025 - 03:30

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Rabu, 5 November 2025 - 19:27

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 November 2025 - 19:03

Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”

Rabu, 5 November 2025 - 17:56

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 November 2025 - 17:24

Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda

Selasa, 4 November 2025 - 16:56

Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria

Selasa, 4 November 2025 - 16:29

UIN Jakarta Kucurkan Rp2,85 Miliar Beasiswa untuk Dosen dan Tendik: Dorong Kualitas SDM dan Layanan Kampus

Berita Terbaru

Hukum

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Kamis, 6 Nov 2025 - 03:30

Berita

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 Nov 2025 - 19:27

Berita

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 Nov 2025 - 17:56

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x