Hapusnya Perikatan Kredit Bank Akibat Pemalsuan Tanda Tangan Debitur Terhadap Benda Milik Orang Lain

- Penulis

Kamis, 21 Agustus 2025 - 18:07

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

M-J. Jakarta – Dewan Pimpinan Pusat Peduli Nusantara Tunggal (DPP PNT) Jakarta, sebagai organisasi yang berfokus pada kajian kebijakan publik, menyoroti dinamika kewirausahaan di Indonesia yang terus berkembang namun belum mencapai potensi maksimalnya. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian Republik Indonesia tahun 2020, jumlah penduduk Indonesia mencapai 269,9 juta jiwa, dengan sekitar 8,06 juta jiwa di antaranya bergerak di sektor wirausaha. Angka ini sekilas tampak besar, tetapi jika ditelaah lebih dalam, proporsinya masih relatif rendah dibandingkan dengan total populasi nasional.

Ragam usaha yang digeluti pun berlapis-mulai dari usaha kecil yang mengandalkan modal terbatas, hingga skala menengah yang relatif mapan. Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki semangat untuk meningkatkan taraf hidupnya melalui usaha mandiri. Namun, di balik semangat tersebut, kendala klasik terus menghantui: keterbatasan modal, akses pembiayaan yang belum merata, dan kebijakan pendukung yang sering kali hanya menyasar kalangan tertentu.

Kebijakan publik seharusnya tidak hanya berhenti pada wacana mendorong wirausaha, tetapi juga mampu menghadirkan mekanisme yang inklusif, transparan, dan berkelanjutan. Misalnya, skema permodalan berbasis komunitas, penyaluran kredit usaha mikro yang bebas rente berlebihan, serta pemberian insentif fiskal yang tepat sasaran. Tanpa langkah nyata yang terukur, wirausaha akan tetap menjadi jargon pembangunan ekonomi semata, bukan motor penggerak kesejahteraan masyarakat.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pada umumnya masyarakat yang menjalankan kegiatan usaha membutuhkan permodalan yang tidak sedikit, sehingga kredit bank merupakan salah satu sumber modal yang dapat dimanfaatkan sebagai penambahan maupun pelengkap modal usaha, untuk mendapatkan tambahan dana dapat dilakukan dengan cara mengajukan kredit ke Bank badan usaha yang menyediakan jasa pinjam-meminjam uang. Perbankan membantu pemerintah memajukan kegiatan perekonomian negara.

Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan) menjelaskan pengertian Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dan dana tersebut disalurkan kembali kepada masyarakat dalam berbagai wujud yang dapat menguntungkan kedua belah pihak.

Namun, di balik kerangka hukum yang tampak ideal, realitas di lapangan menunjukkan paradoks. Bunga kredit yang tinggi, persyaratan administrasi yang rumit, serta minimnya perlindungan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) justru kerap menjadi penghambat, bukan pendorong. Kredit yang semestinya menjadi “oksigen” bagi pelaku usaha, dalam praktiknya tidak jarang berubah menjadi beban yang mencekik ketika sistem tidak berpihak kepada sektor riil.

Kredit Perbankan: Antara Peluang Usaha dan Risiko Kecurangan
Kredit perbankan telah menjadi salah satu tulang punggung perekonomian modern. Namun, di balik mekanisme yang tampak menjanjikan ini, ada ketimpangan peran yang sulit diabaikan: kredit lebih sering menguntungkan pihak kreditur, yakni bank, dibandingkan memberi dampak nyata yang merata bagi masyarakat luas.

Dalam praktiknya, pencairan kredit di bank tidak bisa diakses secara bebas. Pihak bank memberlakukan berbagai syarat dan prosedur ketat yang wajib dipenuhi calon debitur. Salah satunya adalah kewajiban menyertakan jaminan atau agunan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 23 UU Perbankan, yang mendefinisikan agunan sebagai benda atau harta yang dijadikan tanggungan apabila terjadi wanprestasi. Syarat ini dimaksudkan sebagai pelindung bank dari risiko gagal bayar, tetapi pada kenyataannya menjadi penghalang bagi masyarakat yang memiliki potensi usaha namun tidak memiliki aset untuk diagunkan.

Masalah tidak berhenti di situ. Dunia perbankan juga kerap dihadapkan pada praktik curang yang merugikan berbagai pihak, baik bank maupun nasabah yang taat aturan. Salah satu bentuk kecurangan yang mencuat adalah kredit fiktif, yakni pencairan kredit berdasarkan dokumen palsu, manipulasi izin, atau perjanjian yang tidak sah secara hukum. Fenomena ini sering kali terjadi karena lemahnya verifikasi administratif dan kurang hati-hatinya bank dalam menganalisis kelayakan nasabah.

Celakanya, praktik seperti ini tidak hanya merusak kepercayaan publik terhadap perbankan, tetapi juga menggerus ruang keadilan bagi pelaku usaha yang benar-benar membutuhkan akses modal. Di satu sisi, bank memperketat syarat administrasi bagi peminjam yang jujur. Di sisi lain, celah pengawasan yang longgar justru dimanfaatkan oleh oknum untuk melakukan pemalsuan dokumen dan penipuan.

Tindak Pidana Perbankan: Antara Kelalaian, Kecurangan, dan Tanggung Jawab Hukum
Perbankan seharusnya menjadi pilar kepercayaan dalam perekonomian nasional. Namun, di balik citra sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi, terdapat celah yang sering kali membuka ruang tindak pidana. Tindak pidana di bidang perbankan adalah perbuatan melawan hukum yang berkaitan langsung dengan kegiatan usaha bank. Tindak ini diatur melalui ketentuan pidana umum maupun khusus, selama belum terdapat undang-undang pidana yang secara spesifik mengaturnya.

Menurut Undang-Undang Perbankan, tindak pidana perbankan diatur dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal 50A, sedangkan pada perbankan syariah diatur dalam Pasal 59 sampai Pasal 66. Bentuknya bisa dilakukan secara internal, misalnya oleh pihak bank yang menyalahgunakan wewenang, maupun eksternal, oleh pihak luar seperti debitur yang melakukan kecurangan.

Fenomena ini semakin kompleks ketika kedua belah pihak-bank dan debitur-sama-sama melanggar hukum. Dalam praktiknya, pelanggaran tersebut seringkali memenuhi unsur Pasal 1365 KUHPerdata (perbuatan melawan hukum) dan melahirkan kerugian yang nyata bagi pihak lain.

Beberapa pola pelanggaran yang sering terjadi antara lain:
1. Kelalaian pihak bank, seperti tidak mematuhi prinsip kehati-hatian (prudential banking principle) dalam memberikan kredit, yang berujung pada pembiayaan bermasalah.
2. Kecurangan debitur, berupa pemalsuan dokumen, penipuan, hingga pemalsuan tanda tangan demi memperoleh kredit secara tidak sah.
3. Persoalan perdata yang merembet ke ranah pidana, ketika kerugian tidak hanya berdampak secara kontraktual tetapi juga menimbulkan indikasi penipuan atau manipulasi.
4. Kewajiban pertanggungjawaban bank, sebagaimana diatur dalam Pasal 1366 KUHPerdata yang menekankan tanggung jawab atas kelalaian, dan Pasal 29 Ayat (4) UU Perbankan, yang mewajibkan bank bertanggung jawab kepada pihak yang dirugikan.

Kondisi ini menunjukkan bahwa tindak pidana perbankan bukan hanya soal kriminalitas individual, melainkan juga kegagalan sistem pengawasan dan penerapan prinsip kehati-hatian. Ketika pengawasan longgar dan sanksi hukum lemah, kepercayaan publik terhadap perbankan akan terkikis, dan dampaknya dapat meluas hingga mengganggu stabilitas ekonomi.

Pertanggungjawaban Hukum dalam Kasus Kecurangan Perbankan: Siapa yang Seharusnya Menanggung?
Kasus kecurangan di dunia perbankan bukanlah fenomena baru, namun kompleksitasnya terus berkembang seiring waktu. Dalam konteks hukum, pertanggungjawaban dalam tindak pidana perbankan dapat dibedakan menjadi dua, yakni:

1. Pertanggungjawaban pihak bank, yang timbul ketika institusi gagal menerapkan prinsip kehati-hatian, lalai dalam pengawasan, atau membiarkan celah prosedural dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
2. Pertanggungjawaban pegawai bank, yang secara individu mungkin terlibat dalam kelalaian, penyalahgunaan wewenang, atau bahkan kolusi dengan pihak luar.

Di sisi lain, debitur yang melakukan kecurangan, seperti memalsukan dokumen penting dan tanda tangan, secara jelas melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Tindakan tersebut tidak hanya menimbulkan kerugian material (finansial), tetapi juga imaterial, seperti rusaknya reputasi bank dan terganggunya kepercayaan masyarakat.

Lebih jauh, pemalsuan dokumen diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP, sedangkan penipuan diatur dalam Pasal 378 KUHP. Artinya, baik pihak bank yang lalai maupun debitur yang curang berada dalam koridor hukum yang tegas-mereka tidak hanya berhadapan dengan sanksi perdata, tetapi juga dapat dijerat sanksi pidana.

Namun, yang kerap menjadi masalah mendasar adalah ketidakseimbangan penerapan sanksi. Tidak jarang, kasus kecurangan perbankan hanya berakhir dengan jeratan hukum bagi pihak yang lemah secara posisi atau pengaruh, sementara aktor-aktor yang memiliki kekuatan finansial atau struktural lolos dari jerat pidana. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah sistem pertanggungjawaban saat ini benar-benar menjamin keadilan dan kepastian hukum?

Konsekuensi Yuridis Kredit Bank yang Diperoleh Melalui Pemalsuan Tanda Tangan: Sebuah Kritik atas Perlindungan Hukum
Kredit bank merupakan salah satu instrumen penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, tidak jarang mekanisme ini disalahgunakan melalui praktik-praktik yang bertentangan dengan hukum, salah satunya pemalsuan tanda tangan dalam perjanjian kredit. Persoalan ini bukan hanya merugikan pihak bank sebagai kreditur, tetapi juga mengganggu kepercayaan publik terhadap sistem keuangan secara keseluruhan.

Dalam hubungan hukum perjanjian kredit, terdapat dua subjek utama: kreditur (bank) dan debitur (peminjam). Keduanya terikat dalam suatu perjanjian yang menjadi dasar penyaluran dana. Menariknya, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) tidak secara khusus mengatur mengenai perjanjian kredit, demikian pula dengan Undang-Undang Perbankan, yang tidak memberikan definisi eksplisit tentang perjanjian kredit bank.

Menurut R. Subekti, pemberian kredit pada dasarnya identik dengan kesepakatan pinjam-meminjam uang antara kreditur dan debitur, sebagaimana diatur dalam Pasal 1754–1769 KUHPerdata. Lebih lanjut, syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang mensyaratkan:

1. Adanya kesepakatan para pihak,
2. Kecakapan untuk membuat perjanjian,
3. Adanya objek tertentu, dan
4. Adanya sebab yang halal.

Ketika kredit diperoleh melalui pemalsuan tanda tangan, maka perjanjian tersebut cacat secara hukum sejak awal. Tindakan ini bukan hanya melanggar asas kesepakatan (consensus) dalam Pasal 1320 KUHPerdata, tetapi juga termasuk perbuatan melawan hukum yang dapat dijerat pidana sesuai Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen. Konsekuensi yuridisnya pun berlapis: perjanjian kredit dapat dibatalkan, pelaku wajib mengembalikan dana yang telah dicairkan, dan dapat dikenai sanksi pidana serta ganti rugi materiel maupun immateriel.

Permasalahan yang lebih mendalam muncul ketika praktik ini lolos dari mekanisme pengawasan bank karena lemahnya penerapan prinsip kehati-hatian (prudential banking principle). Pertanyaannya, apakah sistem perbankan kita sudah cukup sigap mendeteksi manipulasi semacam ini sejak dini? Atau justru, celah prosedural yang ada selama ini menjadi pintu masuk bagi praktik pemalsuan dan moral hazard?

Ke depan, reformasi kebijakan di sektor perbankan tidak hanya harus fokus pada penegakan hukum bagi pelaku pemalsuan, tetapi juga memperkuat mekanisme verifikasi, digitalisasi tanda tangan, dan transparansi proses kredit agar kasus serupa tidak terus berulang.

Konsekuensi Yuridis Kredit Bank yang Diperoleh Melalui Pemalsuan Tanda Tangan: Menakar Kelemahan Sistem dan Tantangan Penegakan Hukum
Kredit perbankan sejatinya menjadi instrumen strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Melalui mekanisme pinjam-meminjam dana, bank sebagai kreditur dan masyarakat sebagai debitur diikat oleh sebuah hubungan hukum yang dituangkan dalam perjanjian kredit. Perjanjian inilah yang menjadi landasan utama terciptanya kepercayaan dan kepastian hukum antara kedua belah pihak.

Namun, dalam praktiknya, muncul fenomena yang merusak tatanan tersebut: pemalsuan tanda tangan dalam perjanjian kredit. Tindakan ini tidak hanya merugikan pihak bank secara finansial, tetapi juga mengancam integritas sistem perbankan dan melemahkan kepercayaan publik.

Secara normatif, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) tidak mengatur secara khusus mengenai perjanjian kredit, demikian pula Undang-Undang Perbankan yang tidak memberikan definisi eksplisit mengenai perjanjian kredit bank. Namun, menurut pakar hukum R. Subekti, pemberian kredit pada dasarnya identik dengan kesepakatan pinjam-meminjam uang yang telah diatur dalam Pasal 1754–1769 KUHPerdata. Di sisi lain, syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang meliputi:

1. Adanya kesepakatan para pihak,
2. Kecakapan hukum untuk membuat perjanjian,
3. Objek yang jelas, dan
4. Sebab yang halal.

Ketika tanda tangan dalam perjanjian dipalsukan, syarat pertama-kesepakatan yang lahir secara sah-tidak terpenuhi. Artinya, perjanjian kredit tersebut secara hukum cacat sejak awal dan dapat dibatalkan. Lebih jauh lagi, tindakan pemalsuan termasuk kategori perbuatan melawan hukum, yang dapat dijerat melalui Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen, serta berimplikasi pada pengembalian dana, ganti rugi, dan sanksi pidana bagi pelakunya.

Persoalan yang lebih krusial adalah bagaimana sistem perbankan sering kali gagal mendeteksi praktik manipulasi semacam ini sejak tahap awal. Kurangnya penerapan prinsip kehati-hatian (prudential banking principle) dan lemahnya sistem verifikasi menjadi celah yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Ketika Perjanjian Kredit Bank Cacat Hukum: Pemalsuan Dokumen, Tanggung Jawab, dan Konsekuensi Yuridis
Perjanjian kredit bank merupakan fondasi utama dalam hubungan hukum antara kreditur dan debitur. Menurut Asas Kebebasan Berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Artinya, perjanjian tersebut mengikat, dan hanya dapat diubah atau dibatalkan atas dasar kesepakatan bersama.

Namun, asas ini memiliki batas yang tegas. Berdasarkan Pasal 224 HIR/Pasal 258 R.Bg, pengakuan utang harus dituangkan dalam akta autentik. Syarat tersebut bersifat mutlak dan memiliki kekuatan hukum yang tidak dapat diabaikan. Apabila syarat formalitas ini tidak dipenuhi, surat pengakuan utang dapat dinyatakan batal demi hukum.

Baca Juga:  Kejahatan perdagangan perempuan (Human trafficking & Tindak Pidana Perdagangan Orang/TPPO) Tebang pilih dimata hukum

Pembatalan perjanjian kredit dapat terjadi karena berbagai alasan, salah satunya pemalsuan dokumen atau tanda tangan. Praktik ini sering dilakukan dengan menjaminkan barang milik orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya. Ini merupakan pelanggaran serius yang dapat merugikan banyak pihak, mulai dari individu hingga institusi keuangan, serta mengganggu stabilitas kepercayaan publik terhadap perbankan.

Secara yuridis, tindakan tersebut memiliki dua konsekuensi utama:
1. Perdata, karena termasuk perbuatan melawan hukum sesuai Pasal 1365 KUHPerdata, yang menegaskan: “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.”
2. Pidana, karena mengandung unsur pemalsuan dan penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen dan Pasal 378 KUHP tentang penipuan.

Kontrak yang telah ditandatangani para pihak menjadi tidak sah apabila di dalamnya terdapat unsur penipuan, kebohongan, atau keadaan palsu. Dalam konteks hukum pidana, hal ini tidak hanya menuntut pengembalian kerugian, tetapi juga dapat menjerat pelaku dengan sanksi pidana yang lebih berat.

Persoalan yang lebih mendalam muncul ketika praktik pemalsuan ini lolos dari mekanisme verifikasi bank. Di sinilah terlihat adanya kesenjangan antara regulasi yang ketat dan implementasi yang longgar. Pertanyaannya: apakah pengawasan perbankan saat ini sudah mampu mencegah manipulasi dokumen sejak tahap awal? Dan bagaimana negara dapat memastikan bahwa asas kebebasan berkontrak tidak disalahgunakan menjadi tameng untuk praktik penipuan?

Reformasi kebijakan perbankan mendesak dilakukan-mulai dari penguatan audit internal, penerapan tanda tangan elektronik yang terintegrasi, hingga sanksi yang lebih tegas terhadap pelaku pemalsuan. Hanya dengan demikian, keadilan dapat ditegakkan tanpa mengorbankan prinsip kepercayaan yang menjadi nyawa perbankan.

Perbuatan Melawan Hukum dalam Kredit Bank: Antara Kelalaian, Kesengajaan, dan Keadilan Hukum
Perbankan memegang peranan vital dalam menggerakkan roda perekonomian nasional. Namun, tidak jarang hubungan hukum antara bank, debitur, dan pemilik jaminan berujung pada sengketa, terutama ketika muncul dugaan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Menurut Arrest Cohen-Lindenbaum, suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai melawan hukum apabila memenuhi beberapa unsur, baik yang timbul dari faktor eksternal maupun internal.

Salah satu bentuk yang sering terjadi adalah pelanggaran hak subjektif orang lain, misalnya ketika hak kebendaan seseorang digunakan sebagai jaminan kredit tanpa sepengetahuannya. Jika pemilik jaminan tidak pernah hadir, tidak menandatangani akta autentik, atau tidak menyetujui perjanjian kredit yang membebankan hak tanggungan kepada dirinya, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Hal ini selaras dengan Pasal 1335 KUHPerdata yang menegaskan: “Suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan.”

Di sisi lain, unsur kesalahan (schuld) dalam perbuatan melawan hukum dapat terbagi menjadi dua:

1. Kesalahan karena kelalaian (kealpaan) – seperti kurangnya ketelitian bank dalam memverifikasi dokumen dan menerapkan prinsip kehati-hatian (prudential banking).
2. Kesalahan karena kesengajaan – seperti debitur yang secara sadar memalsukan tanda tangan atau dokumen guna memperoleh fasilitas kredit.

Dalam banyak kasus, masalah ini bermula dari lemahnya penerapan prinsip kehati-hatian bank. Bank berkewajiban memeriksa kelengkapan data dan dokumen, menilai karakter calon debitur, serta memastikan seluruh proses kredit mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kelalaian dalam proses ini bukan hanya merugikan pemilik jaminan, tetapi juga mencederai kepercayaan publik terhadap sistem perbankan itu sendiri.

Lebih jauh, kasus pemalsuan dokumen dan tanda tangan tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga berpotensi menyeret semua pihak ke ranah pidana. Debitur yang dengan sengaja melakukan manipulasi dapat dijerat dengan pasal pemalsuan, sementara bank dapat turut dimintai pertanggungjawaban secara perdata apabila terbukti lalai.

Di titik inilah, kita perlu bertanya: apakah regulasi perbankan saat ini sudah cukup tajam untuk melindungi hak-hak pemilik jaminan? Atau masih ada celah yang membuat pemalsuan dokumen dan penyalahgunaan fasilitas kredit dapat terjadi berulang kali?

Mendorong Reformasi Kebijakan Perbankan
Untuk meminimalkan praktik ini, ada beberapa langkah kebijakan yang dapat didorong:
Penguatan verifikasi dokumen dengan teknologi autentikasi digital yang lebih modern.
Peningkatan sanksi administratif bagi bank yang lalai menerapkan prinsip kehati-hatian.
Pendidikan hukum bagi masyarakat agar memahami hak dan kewajiban dalam perjanjian kredit.

Prinsip Kehati-hatian Bank dan Dampak Hukum Pemalsuan Dokumen Kredit
Sistem perbankan dibangun di atas asas kepercayaan. Namun, kepercayaan ini dapat runtuh ketika terjadi praktik penyalahgunaan, seperti pemalsuan dokumen dan tanda tangan dalam perjanjian kredit. Kasus semacam ini tidak hanya merugikan bank dan debitur, tetapi juga pihak ketiga-terutama pemilik jaminan-yang sering kali tidak pernah terlibat dalam proses kredit namun menanggung akibat hukumnya.

Menurut ketentuan perbankan, terdapat beberapa prinsip utama yang wajib diterapkan bank sebelum memberikan kredit, yakni:
1. Prinsip Kepercayaan – Keyakinan bank terhadap kemampuan dan kemauan debitur untuk membayar kembali pinjaman.
2. Prinsip Kehati-hatian – Keharusan bank melakukan analisis dan verifikasi yang mendalam sebelum pencairan kredit.
3. Prinsip 5C (Character, Capacity, Capital, Collateral, Condition of Economy) – Penilaian menyeluruh terhadap karakter, kapasitas membayar, modal, agunan, dan kondisi ekonomi calon debitur.
4. Prinsip 4P (Purpose, Payment, Profitability, Protection) – Penilaian tujuan penggunaan kredit, mekanisme pembayaran, potensi keuntungan, dan perlindungan bank.
5. Prinsip 3R (Returns, Repayment, Risk Bearing Ability) – Analisis keuntungan yang diharapkan, kemampuan membayar kembali, dan daya tanggung risiko.

Namun, ketika prinsip-prinsip ini diabaikan, risiko penyalahgunaan meningkat. Pemalsuan dokumen dan tanda tangan adalah salah satu bentuk nyata pelanggaran yang menyebabkan kerugian pada pihak yang tidak terlibat dalam perjanjian kredit tersebut. Dalam konteks ini, hubungan hukum yang cacat sejak awal dapat berujung pada perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).

Dari Jalur Perdata ke Jalur Pidana: Jalan Panjang Mencari Keadilan
Pihak yang dirugikan memiliki hak untuk menyelesaikan perkara melalui jalur hukum perdata terlebih dahulu. Namun, bila pihak kreditur dan debitur tidak menunjukkan itikad baik dalam penyelesaian, jalur ini dapat berkembang menjadi tuntutan pidana, menjadikan hukum pidana sebagai “senjata terakhir”.

Pasal 1365 KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap perbuatan yang melawan hukum dan menimbulkan kerugian mengharuskan pelaku untuk memberikan ganti rugi. Menurut Subekti, ganti rugi mencakup tiga unsur: biaya, kerugian (rugi), dan bunga. Dalam konteks perbankan, ketika terjadi kelalaian (misalnya bank lalai menerapkan prinsip kehati-hatian) dan kesengajaan (debitur memalsukan dokumen), maka tanggung jawab ganti rugi melekat pada kedua pihak tersebut.

Ganti rugi dapat berbentuk:
Materiil, berupa penggantian kerugian finansial yang nyata dialami korban.
Imateriil, berupa kompensasi atas penderitaan, trauma, gangguan psikologis, atau dampak mental lain yang memengaruhi perilaku dan kehidupan seseorang.

Mengapa Prinsip Kehati-hatian Bank Harus Diperketat?
Kasus pemalsuan dokumen dalam kredit bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap sistem perbankan yang seharusnya berlandaskan kepercayaan publik. Jika sejak awal bank melaksanakan prinsip kehati-hatian dengan ketat-mulai dari verifikasi keaslian dokumen hingga pemeriksaan karakter calon debitur-kerugian ini dapat dicegah.

Lebih jauh, setiap perjanjian kredit harus berangkat dari perikatan yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata: perikatan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Jika salah satu pihak tidak pernah mengikatkan dirinya secara sah, maka seluruh perjanjian dapat dianggap batal demi hukum.

Perjanjian Kredit yang Cacat Hukum: Konsekuensi Pemalsuan Tanda Tangan dalam Perspektif KUHPer
Dalam praktik perbankan, perjanjian kredit merupakan instrumen hukum yang mengikat para pihak-kreditur dan debitur-dengan dasar kepercayaan dan kesepakatan yang sah. Namun, bagaimana jika perjanjian tersebut ternyata disusupi tindakan pemalsuan tanda tangan atau kecurangan dokumen? Secara yuridis, tindakan demikian dapat mengakibatkan perjanjian kredit batal demi hukum, terutama jika pihak pemilik jaminan tidak pernah ikut serta dalam proses perjanjian tersebut.

Konsekuensi ini sejalan dengan Pasal 1328 KUH Perdata (KUHPer) yang membuka dua koridor hukum bagi pihak yang dirugikan, yakni jalur perdata untuk pembatalan kontrak dan jalur pidana jika ditemukan unsur tipu muslihat, keterangan palsu, atau keadaan yang direkayasa. Dalam konteks ini, pemalsuan tanda tangan bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan bentuk pelanggaran serius yang merusak keabsahan perjanjian sejak awal.

Lebih jauh, Pasal 1320 KUHPer mengatur syarat sahnya suatu perjanjian, di mana kesepakatan yang lahir harus didasarkan pada kemauan bebas para pihak. Jika kesepakatan itu tidak pernah diberikan oleh pemilik jaminan, maka syarat sahnya perjanjian telah gugur. Bahkan, Pasal 1321 KUHPer menegaskan bahwa perjanjian yang lahir karena kekhilafan, paksaan, atau penipuan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Dalam kasus ini, baik kreditur maupun debitur dapat sama-sama terjerat sebagai subjek hukum. Kreditur dianggap lalai (alpa) karena gagal menerapkan prinsip kehati-hatian perbankan, sedangkan debitur dapat dikategorikan melakukan perbuatan melawan hukum melalui pemalsuan tanda tangan atau dokumen. Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 1365 KUHPer, yang menyatakan bahwa setiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian kepada pihak lain, mewajibkan pelaku mengganti kerugian tersebut.

Implikasinya, pihak yang dirugikan memiliki dua jalur penyelesaian: gugatan perdata untuk pembatalan perjanjian dan pemulihan kerugian, atau pelaporan pidana jika ditemukan unsur kesengajaan dalam pemalsuan tersebut. Kedua jalur ini bahkan dapat berjalan bersamaan, mengingat bahwa hukum pidana sering diposisikan sebagai upaya ultimum remedium-senjata terakhir ketika penyelesaian secara perdata tidak membuahkan hasil.

Perjanjian Kredit Cacat Hukum: Saat Kelalaian Bank dan Kecurangan Debitur Merugikan Pihak Tak Bersalah
Dalam praktik perbankan, perjanjian kredit menjadi landasan utama dalam hubungan hukum antara kreditur (bank) dan debitur (peminjam). Namun, tidak semua perjanjian kredit memiliki dasar hukum yang sah. Ketika perjanjian tidak memenuhi syarat sahnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)-misalnya karena adanya pelanggaran hukum atau penolakan dari pemilik agunan-maka perjanjian tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum. Artinya, secara yuridis, perjanjian itu dianggap tidak pernah ada.

Kelalaian bank dalam proses verifikasi dokumen dan agunan seringkali menjadi pintu masuk berbagai sengketa. Dalam konteks ini, Pasal 1265 KUHPer memberikan ruang bagi kreditur untuk secara aktif mengajukan pembatalan perjanjian ke pengadilan. Jika pembatalan itu diterima, maka seluruh keadaan hukum dikembalikan ke posisi semula, seolah-olah perjanjian tidak pernah terjadi.

Namun, persoalan tidak berhenti pada aspek formal semata. Prinsip kehati-hatian (prudential banking principle) semestinya diterapkan secara ketat dalam proses pencairan kredit. Bank wajib melakukan penelitian mendalam, memeriksa keaslian dokumen, dan memastikan adanya persetujuan sah dari pemilik agunan. Keteledoran dalam tahap ini tidak hanya mengancam stabilitas keuangan bank, tetapi juga berpotensi merugikan pihak ketiga yang sama sekali tidak menikmati manfaat kredit tersebut.

Di sisi lain, debitur yang terbukti melakukan penipuan, pemalsuan dokumen, atau menggadaikan sertifikat milik orang lain memiliki kewajiban hukum dan moral untuk memberikan ganti rugi. Bentuk ganti rugi tersebut dapat berupa material-seperti penggantian kerugian finansial-maupun immaterial, seperti kompensasi atas penderitaan psikologis, reputasi, atau trauma yang dialami korban.

Kasus semacam ini menjadi pelajaran penting bahwa hukum kontrak tidak hanya berbicara tentang hitam di atas putih, tetapi juga tentang keadilan substantif. Ketika bank lalai dan debitur curang, pihak yang paling sering dirugikan adalah mereka yang tidak pernah menandatangani perjanjian apa pun, tetapi harus menanggung akibat hukumnya. Oleh karena itu, pembenahan tata kelola perbankan dan penguatan pengawasan kredit adalah agenda mendesak yang tak bisa lagi ditunda.

Referensi :
1. Buku Marpaung, Leden. Pemberantasan dan pencegahan tindak pidana terhadap perbankan. (Djambatan, 2003).
2. Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung, 2003).

Jurnal
– Abubakar, Lastuti, and Tri Handayani. “Telaah Yuridis Terhadap Implementasi Prinsip kehati-hatian bank dalam aktivitas perbankan Indonesia.” DE LEGA LATA:Jurnal Ilmu Hukum 2, no. 1 (2017): 68-91.Agustini, Ni Luh Wayan Kori, Cok Istri Anom Pemayun, and Dewa Gede Rudy. “Pertanggungjawaban Bank Terhadap Nasabah Yang Identitasnya Dipakai Tanpa Izin Dalam Kredit Fiktif.” Dewi Cahyono, A.R.D.Y “Ciri Wanprestasi Dan Tindak Pidana Penggelapan Yang Lahir Dari Hubungan Kontraktual.” Jurnal Novum 3, no. 4 (2016):52-60.

Arthur Noija SH

Berita Terkait

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran
Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan
Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”
Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara
Marak Debitur Dijerat Pasal Penggelapan Objek Fidusia, Pakar Hukum: “Jangan Campur Urusan Perdata dengan Pidana”
Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria
Apel Pagi di Lapas Banda Aceh: Momentum Disiplin dan Apresiasi Pegawai Teladan
Kebijakan Pelabuhan Dimata Hukum DKJ Di Jakarta Utara
Berita ini 26 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 6 November 2025 - 04:03

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran

Kamis, 6 November 2025 - 03:30

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Rabu, 5 November 2025 - 19:27

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 November 2025 - 19:03

Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”

Rabu, 5 November 2025 - 17:56

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 November 2025 - 17:24

Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda

Selasa, 4 November 2025 - 16:56

Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria

Selasa, 4 November 2025 - 16:29

UIN Jakarta Kucurkan Rp2,85 Miliar Beasiswa untuk Dosen dan Tendik: Dorong Kualitas SDM dan Layanan Kampus

Berita Terbaru

Hukum

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Kamis, 6 Nov 2025 - 03:30

Berita

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 Nov 2025 - 19:27

Berita

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 Nov 2025 - 17:56

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x