Kejahatan perdagangan perempuan (Human trafficking & Tindak Pidana Perdagangan Orang/TPPO) Tebang pilih dimata hukum

- Penulis

Rabu, 22 Oktober 2025 - 16:16

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

Jakarta, Majalahjakarta.com – Di tengah gegap gempita pembangunan dan gembar-gembor kemajuan digital, ada luka sosial yang masih menganga di tubuh bangsa ini: perdagangan perempuan untuk tujuan eksploitasi seksual.
Jakarta, sebagai jantung politik dan ekonomi Indonesia, bukan hanya pusat kekuasaan, tetapi juga menjadi panggung gelap di mana manusia diperlakukan bukan sebagai subjek hukum, melainkan komoditas dengan harga tertentu.

Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal (PPNT) menilai, kejahatan ini bukan sekadar pelanggaran pidana biasa, melainkan pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan konstitusi. Lebih dari itu, praktik perdagangan perempuan adalah cermin dari lemahnya regulasi, tumpulnya penegakan hukum, dan matinya nurani sebagian aparat yang mestinya berdiri di pihak korban.

Landasan Hukum: Ketika Aturan Tegas, Tapi Penegakannya Goyah
Secara normatif, Indonesia sebenarnya memiliki payung hukum yang kokoh.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) menjadi fondasi utama. UU ini menegaskan bahwa setiap perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penipuan, atau penyalahgunaan kekuasaan untuk tujuan eksploitasi, termasuk prostitusi, adalah kejahatan berat.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Namun, ironinya-aturan yang tajam di atas kertas sering kali tumpul di lapangan.
Banyak pelaku justru bersembunyi di balik jaringan ekonomi terselubung, memanfaatkan kemiskinan, ketimpangan, dan lemahnya kontrol sosial untuk memperdagangkan tubuh perempuan.
Sementara itu, korban yang seharusnya dilindungi malah kerap diperlakukan seolah pelaku, diinterogasi dengan bias moral, bukan empati hukum.

Pasal Demi Pasal: Instrumen Hukum yang Belum Sepenuhnya Digunakan
Selain UU PTPPO, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga memiliki landasan yang relevan.
Pasal 297 KUHP secara jelas melarang perdagangan perempuan dan anak di bawah umur, menempatkannya sebagai kejahatan yang mengancam martabat kemanusiaan.
Namun, ketika kasus terjadi, sering kali yang diproses hanyalah pelaku lapangan-bukan sindikat atau otak intelektual di balik jaringan ini.

Padahal, kejahatan perdagangan orang adalah kejahatan terorganisir lintas wilayah. Ia tidak bisa diberantas hanya dengan operasi jalanan, tapi dengan kebijakan sistemik: pengawasan ketat, penegakan hukum lintas sektor, dan keberanian aparat menelusuri aliran uang yang menopang jaringan eksploitasi seksual.

Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008: Gugus Tugas yang Kadang Tak Bertugas
Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO seharusnya menjadi ujung tombak dalam penegakan hukum terpadu.
Namun, dalam praktiknya, gugus tugas ini sering kali tidak berdaya-terjebak dalam koordinasi tanpa aksi.
PPNT menilai, ketidakseriusan dalam menjalankan fungsi koordinatif antara penegak hukum, pemerintah daerah, dan lembaga sosial membuat kebijakan ini lebih banyak berhenti di ruang rapat ketimbang lapangan.

Hukum tanpa keberanian adalah kertas; kebijakan tanpa empati adalah slogan.
Sementara korban terus bertambah, negara seperti sibuk menghitung angka, bukan menyelamatkan manusia.

Ancaman Hukum: Antara Pasal dan Realitas
UU PTPPO sesungguhnya memberikan ancaman pidana yang berat:
penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun, serta denda hingga Rp600 juta bagi pelaku perdagangan manusia untuk tujuan eksploitasi seksual.
Namun, angka itu tidak lagi menakutkan bagi mereka yang telah lama memperdagangkan manusia di balik topeng legalitas bisnis hiburan atau perekrutan kerja.

Hukuman keras tanpa eksekusi tegas hanyalah retorika hukum.
Negara tampak gagah di teks undang-undang, tapi lemah di pengadilan.

Ketika Tubuh Dijadikan Komoditas: Ironi Hukum dan Luka Sosial di Balik Perdagangan Perempuan
Di tengah hiruk-pikuk kemajuan kota besar seperti Jakarta, ada industri gelap yang terus hidup di balik gemerlapnya lampu: perdagangan perempuan untuk eksploitasi seksual.
Ia bukan sekadar pelanggaran moral – melainkan kejahatan terorganisir lintas batas yang merobek nurani hukum bangsa.
Ironisnya, di saat pasal-pasal hukum sudah tegas, penegakannya justru gamang dan tumpul.

PPNT menegaskan, tindak pidana perdagangan orang (TPPO) adalah bentuk perbudakan modern yang menghina martabat manusia dan mencederai sila kedua Pancasila.
Namun, selama hukum hanya sibuk menghukum tanpa memulihkan, dan negara lebih cepat menghitung angka daripada menyembuhkan luka, maka keadilan hanya menjadi wacana di atas kertas.

Kejahatan Terorganisir: Ketika Sindikat Bekerja Lebih Canggih daripada Aparat
TPPO bukan tindak pidana tunggal – ia berlapis, sistematis, dan terorganisir.
Hukum memang sudah memberi ruang bagi pemberatan hukuman bagi pelaku yang beroperasi dalam jaringan.
Namun, dalam praktiknya, vonis berat lebih sering dijatuhkan pada “tangan kecil”, bukan pada otak sindikat yang bersembunyi di balik bisnis legal, lembaga perekrutan, atau bahkan perlindungan oknum aparat.

Baca Juga:  Perbuatan Melawan Hukum dalam Hukum Perdata dan Pidana

UU Nomor 21 Tahun 2007 dengan jelas memperberat sanksi bagi pelaku yang bekerja secara kolektif.
Namun, hingga kini, perdagangan perempuan tetap tumbuh seperti rumput liar di antara celah hukum yang lembab.
Sindikat ini memanfaatkan kemiskinan, janji kerja, dan celah birokrasi untuk menghisap tubuh dan masa depan perempuan muda Indonesia.

“Hukum menjadi lemah bukan karena tak punya pasal, tetapi karena terlalu banyak kompromi.”

Korban Bukan Pelaku: Paradigma yang Harus Diperjuangkan
Dalam pandangan hukum modern dan hak asasi manusia, perempuan korban eksploitasi seksual tidak boleh dianggap pelaku prostitusi, sebab mereka bukan pelaku kejahatan, melainkan korban kejahatan.
Sayangnya, paradigma ini belum sepenuhnya hidup dalam praktik penegakan hukum di Indonesia.

Masih sering terjadi, aparat menindak korban dengan stigma, bukan empati.
Korban yang seharusnya dilindungi malah diperlakukan seperti saksi yang salah.
Padahal, UU PTPPO tegas menyatakan fokus hukum bukan pada penghukuman korban, melainkan pada perlindungan, pemulihan, dan restitusi.

Korban berhak atas perlindungan identitas, layanan kesehatan, pendampingan hukum, serta rehabilitasi sosial.
Negara wajib memastikan mereka dapat pulih dan kembali bermartabat di tengah masyarakat – bukan malah dikorbankan dua kali oleh stigma sosial.

“Tidak ada keadilan jika korban masih diperlakukan sebagai pelaku.”

Pusat Pelayanan Terpadu: Harapan yang Sering Tak Menyentuh Realitas
Secara formal, pemerintah telah membentuk Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) sebagai wadah perlindungan dan rehabilitasi korban.
Lembaga ini dirancang untuk memberikan layanan cepat, rahasia, dan aman bagi korban TPPO.
Namun, di lapangan, layanan ini sering kali terbentur dengan birokrasi lambat, minim sumber daya, dan lemahnya koordinasi antarlembaga.

Jakarta, misalnya, meski memiliki kerangka hukum yang lengkap, masih menghadapi krisis efektivitas dalam penegakan hukum TPPO.
Korban sering kali takut melapor karena ancaman sindikat atau ketidakpercayaan pada aparat.
Dan ketika laporan muncul, prosesnya pun lambat — seakan hukum kehilangan rasa urgensinya terhadap penderitaan manusia.

Inefektivitas Penegakan Hukum: Saat Keadilan Jadi Formalitas
Kelemahan terbesar dalam pemberantasan TPPO bukan pada pasalnya, melainkan pada mentalitas penegak hukumnya.
Masih banyak aparat yang menganggap kasus perdagangan perempuan sebagai “urusan moral”, bukan pelanggaran HAM berat.
Sebagian lain bahkan terjebak dalam zona abu-abu antara hukum dan kompromi.

PPNT mencatat, lemahnya komitmen dan kapasitas aparat menjadi faktor utama kegagalan negara dalam menegakkan hukum secara tuntas.
Tanpa sinergi antara kepolisian, pemerintah daerah, dan lembaga swadaya masyarakat, pemberantasan TPPO hanya akan menjadi jargon tanpa substansi.

“Hukum yang tidak berpihak pada korban hanyalah bentuk lain dari kekerasan yang dilegalkan.”

Hukum Harus Melindungi, Bukan Menyalahkan
Dari perspektif studi kebijakan hukum, penegakan UU PTPPO di Indonesia masih terjebak pada paradigma reaktif, bukan preventif.
Negara seolah menunggu korban baru muncul untuk bertindak, alih-alih memperkuat sistem sosial yang mencegah terjadinya eksploitasi.

Selain itu, kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah membuat kebijakan perlindungan korban berjalan sporadis – seperti tambal sulam tanpa arah.
PPNT menegaskan, reformasi kebijakan nasional harus mencakup:
1. Penegakan hukum yang menjerat seluruh jaringan, bukan hanya pelaku lapangan.
2. Penguatan kapasitas aparat dalam perspektif gender dan HAM.
3. Penguatan mekanisme pelaporan aman dan rahasia bagi korban.
4. Integrasi data dan kerja sama internasional dalam melacak sindikat lintas negara.

Saat Negara Diam, Sindikat Bersuara
Perdagangan perempuan adalah bentuk paling kejam dari ketidakadilan sosial yang dilegitimasi oleh kelambanan hukum.
Ketika negara ragu menegakkan keadilan, sindikat justru tumbuh dengan keyakinan bahwa mereka tak akan tersentuh.

Sudah saatnya hukum Indonesia berhenti bersembunyi di balik teks undang-undang dan mulai berpihak nyata pada korban.
Hukum harus menggigit, bukan berbisik; melindungi, bukan menonton.

Sebab di balik setiap tubuh perempuan yang dijual,
ada hukum yang gagal menjalankan tugasnya
.

Arthur Noija SH

Berita Terkait

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran
Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan
Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia
Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”
Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara
Pertumbuhan 5 Persen, Tapi Siapa yang Untung?
Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda
Marak Debitur Dijerat Pasal Penggelapan Objek Fidusia, Pakar Hukum: “Jangan Campur Urusan Perdata dengan Pidana”
Berita ini 12 kali dibaca
4 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Berita Terkait

Kamis, 6 November 2025 - 04:03

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran

Kamis, 6 November 2025 - 03:30

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Rabu, 5 November 2025 - 19:27

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 November 2025 - 19:03

Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”

Rabu, 5 November 2025 - 17:56

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 November 2025 - 17:24

Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda

Selasa, 4 November 2025 - 16:56

Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria

Selasa, 4 November 2025 - 16:29

UIN Jakarta Kucurkan Rp2,85 Miliar Beasiswa untuk Dosen dan Tendik: Dorong Kualitas SDM dan Layanan Kampus

Berita Terbaru

Hukum

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Kamis, 6 Nov 2025 - 03:30

Berita

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 Nov 2025 - 19:27

Berita

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 Nov 2025 - 17:56

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x