Jakarta, Majalahjakarta.com – Air bersih semestinya menjadi hak dasar warga negara, bukan komoditas yang diperlakukan layaknya “barang mewah” di tanah sendiri. Namun, di lapangan, ironi ini masih terjadi. Fakta terbaru di wilayah Kelurahan Kebon Kosong, Kecamatan Kemayoran, menunjukkan praktik yang janggal dan berpotensi menabrak prinsip hukum publik: PDAM Jakarta (PAM JAYA) dikabarkan “diminta” untuk membayar sejumlah uang kepada Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) demi pemasangan pipa air bersih ke masyarakat.
Pertanyaannya: apakah ini bentuk kerja sama antar lembaga negara-atau bentuk lain dari pungutan tak berdasar yang berselimut legalitas administratif?
1. Antara Pelayanan Publik dan “Upeti Struktural”
PAM JAYA adalah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang secara hukum diamanatkan untuk memberikan pelayanan air bersih kepada warga Jakarta tanpa diskriminasi wilayah. Dalam konteks ini, air bersih bukan produk bisnis biasa, melainkan layanan dasar publik yang dijamin oleh konstitusi dan ditopang oleh Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Air Minum.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebaliknya, PPK Kemayoran adalah Badan Layanan Umum (BLU) di bawah Kementerian Sekretariat Negara, yang bertugas mengelola aset dan kawasan eks Bandara Kemayoran. Tugas utamanya bukan pada penyediaan layanan publik dasar seperti air, melainkan pengelolaan kawasan, lahan, dan fasilitas umum di wilayah tersebut.
Dengan demikian, tidak ada dasar hukum yang memberi kewenangan PPK Kemayoran untuk memungut “biaya” atau “upeti” dari PAM JAYA hanya karena jaringan pipa air melewati lahan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) mereka.
2. Menyoal Dasar Hukum dan Relasi Kelembagaan
Secara normatif, relasi antara PAM JAYA dan PPK Kemayoran dapat dikategorikan sebagai kerja sama lintas lembaga negara, bukan hubungan transaksional komersial.
Dua koridor hukum yang menjadi pijakan adalah:
UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menegaskan bahwa penyediaan air bersih adalah urusan wajib pemerintah daerah.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119/PMK.05/2020 tentang BLU, yang mengatur bahwa BLU hanya dapat memungut imbalan layanan berdasarkan kegiatan yang sesuai tugas pokok dan fungsinya—bukan untuk menghalangi layanan publik oleh entitas negara lain.
Dalam kacamata hukum publik, praktik pemungutan semacam “upeti” oleh sesama lembaga negara bukan hanya menyalahi fungsi pelayanan publik, tetapi juga menyentuh potensi pelanggaran hukum administratif dan korupsi kebijakan jika tidak memiliki dasar kontraktual yang sah.
3. Fakta Lapangan dan Potensi Pelanggaran
Hasil temuan lapangan menunjukkan, PAM JAYA diminta membayar sejumlah dana pemasangan instalasi ke masyarakat di wilayah Kebon Kosong dengan alasan jaringan pipa melewati tanah HPL milik PPK Kemayoran.
Padahal, secara normatif, pengelolaan air bersih bersifat non-komersial antar instansi pemerintah selama masih dalam koridor pelayanan publik.
Jika memang terdapat pemanfaatan aset negara (dalam hal ini lahan HPL), seharusnya dilakukan melalui mekanisme perjanjian kerja sama (MoU) yang jelas, transparan, dan tercatat di sistem perbendaharaan negara-bukan melalui pungutan informal atau pseudo-retribusi.
Ketiadaan dasar hukum yang jelas menimbulkan pertanyaan serius:
Apakah negara kini saling menagih antar-lembaga untuk melayani rakyat?
Apakah pelayanan publik sudah terperangkap dalam birokrasi yang menagih sesama penyelenggara negara?
4. Kritik Tajam: Hukum Publik yang Tak Publik Lagi
Fenomena ini menyingkap realitas kelam birokrasi kita-pelayanan publik yang dikomersialisasi antar instansi pemerintah sendiri.
Padahal, air bersih bukan komoditas politik atau bisnis, tetapi hak asasi yang diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bahwa “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”
Namun, dalam praktik, “negara” justru menjadi pihak yang saling menghambat antar organ, dengan logika birokrasi yang lebih mirip negosiasi bisnis daripada pelayanan rakyat.
Kondisi ini menunjukkan defisit etika kelembagaan, sekaligus kaburnya batas antara fungsi pelayanan publik dan kepentingan pengelolaan aset.
Jika dibiarkan, situasi ini akan melahirkan preseden buruk dalam tata kelola hukum publik: bahwa lembaga negara boleh menarik bayaran sesuka hati dari lembaga publik lain hanya karena “berada di atas tanahnya”.
5. Rekomendasi Kebijakan dan Solusi Struktural
Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal (PPNT) mengajukan beberapa poin penting untuk reformasi kebijakan pelayanan publik air bersih di kawasan Kemayoran:
1. Audit Regulasi dan Kontrak antara PPK Kemayoran dan PAM JAYA untuk memastikan tidak ada pungutan tanpa dasar hukum.
2. Penegasan MoU antar instansi di bawah koordinasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Kementerian Sekretariat Negara, dengan prinsip zero upeti policy.
3. Penerbitan regulasi turunan atau Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Sekretaris Negara dan Pj Gubernur DKI Jakarta terkait mekanisme lintas aset HPL untuk kepentingan layanan publik.
4. Pengawasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memastikan tidak ada konflik kepentingan dalam hubungan BLU–BUMD.
5. Pendidikan publik hukum air bersih, agar masyarakat memahami haknya sebagai penerima layanan, bukan objek eksploitasi administrasi.
6. Negara Tak Boleh Menagih Negara
Pada akhirnya, isu ini lebih dari sekadar soal “pipa air” atau “tanah HPL.” Ini soal paradigma dasar dalam hukum publik:
Apakah negara masih melayani rakyat, atau justru sedang menagih dirinya sendiri?
Jika hukum publik kehilangan watak publiknya, maka yang mengalir dari pipa bukan lagi air bersih, melainkan kekeruhan sistemik dari tata kelola negara yang haus rente dan miskin visi pelayanan.
Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal (DPP PPNT)
Arthur Noija SH

















