Jakarta, Majalahjakarta.com – Kamis pagi (30/10/2025), udara Jakarta diselimuti semangat perjuangan para pendidik. Ribuan guru dari berbagai daerah berbondong-bondong menuju kawasan Monas, menuntut keadilan dan kesetaraan dalam kebijakan pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) serta percepatan sertifikasi.
Sejak subuh, massa telah berkumpul di halaman Masjid Istiqlal. Dengan ikat kepala putih bertuliskan pesan solidaritas, para guru berjalan kaki menuju Monas sambil membawa spanduk: “Guru Butuh Keadilan,” “Setara untuk Semua,” dan “Sertifikasi Hak, Bukan Hadiah.” Aksi yang dijaga ketat aparat kepolisian itu berlangsung tertib, menunjukkan bahwa para pendidik tak hanya mengajarkan moral di kelas, tapi juga mempraktikkannya di jalan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Suara dari Barisan Pendidikan
Aksi ini diorganisasi oleh sejumlah kelompok seperti Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI), Perkumpulan Guru Madrasah Mandiri (PGMM), Persatuan Guru Inpassing Nasional (PGIN), dan Punggawa Guru Madrasah Nasional Indonesia (PGMNI). Mereka menuntut tiga hal pokok: percepatan sertifikasi, kesempatan inpassing yang adil, dan pengangkatan menjadi ASN tanpa diskriminasi.
“Guru madrasah bukan guru kelas dua. Kami tidak menuntut lebih, hanya ingin kebijakan yang berpihak,” ujar salah satu orator dari mobil komando.
Di tengah kerumunan, lagu Hymne Guru bergema. Beberapa peserta tampak menitikkan air mata – bukan sekadar karena kelelahan, melainkan karena getirnya perjuangan panjang menuntut pengakuan yang tak kunjung datang.
Negara dan Politik Keadilan yang Timpang
Di balik aksi damai ini, tersimpan kritik terhadap arsitektur kebijakan pendidikan nasional yang masih timpang. Skema PPPK yang seharusnya menjadi solusi justru memunculkan ketidaksetaraan baru antara guru negeri, guru madrasah, dan guru swasta.
Kebijakan sertifikasi pun kerap dianggap lebih administratif ketimbang substantif – lebih banyak mengatur soal berkas ketimbang peningkatan kualitas. Di sisi lain, kesejahteraan guru masih terganjal birokrasi dan politik anggaran yang tidak berpihak.
“Pendidikan tidak akan maju bila guru terus berada di bawah bayang-bayang ketidakpastian status,” kata salah satu pengamat kebijakan pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta yang turut hadir mengamati aksi tersebut.
Aparat dan Aksi Damai
Kapolres Metro Jakarta Pusat, Kombes Susatyo Purnomo Condro, menyatakan bahwa 1.597 personel dikerahkan untuk menjaga keamanan. “Kami mengedepankan pendekatan persuasif dan dialogis agar aksi berjalan damai,” ujarnya.
Hingga aksi berakhir sekitar pukul 12.00 WIB, situasi tetap kondusif. Tak ada bentrokan, tak ada kerusakan. Para guru bahkan turut membersihkan sampah di sekitar Monas – simbol bahwa perjuangan mereka bukanlah perlawanan destruktif, melainkan bentuk pendidikan publik tentang cara berjuang dengan bermartabat.
Makna Akademik dan Pesan Publik
Aksi ribuan guru ini adalah potret kecil dari ketegangan besar antara politik kesejahteraan dan politik pengakuan di sektor pendidikan Indonesia. Di satu sisi, negara menjanjikan transformasi pendidikan nasional; di sisi lain, para pendidik masih berjuang untuk sekadar diakui dan dihargai setara.
Gerakan ini memperlihatkan bahwa kebijakan publik tak bisa hanya dinilai dari sisi teknokratis, melainkan juga dari aspek moral dan keadilan sosial. Guru—sebagai pilar pengetahuan bangsa-tidak seharusnya terus menjadi subjek kebijakan yang pasif, tetapi aktor kebijakan yang didengar.
Ketika hukum dan kebijakan pendidikan gagal mencerminkan rasa keadilan, maka aksi di jalan menjadi ruang baru bagi nalar kritis untuk berbicara. Di Monas hari itu, ribuan guru bukan hanya menuntut hak-mereka sedang mengajar bangsa tentang makna sejati dari keadilan. (Dwi TH)

















