Jakarta, Majalahjakarta.com – Di negeri yang sedang berjuang memutar roda ekonomi, ratusan triliun rupiah justru diam membeku di rekening-rekening pemerintah daerah. Uang rakyat yang seharusnya menghidupi pembangunan kini tertidur nyenyak dalam bentuk deposito berbunga. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tak tinggal diam. Ia ingin tahu siapa yang membiarkan uang rakyat mengendap hanya demi bunga.
Langkah Purbaya menelisik dana pemda mengendap sebesar Rp234 triliun menjadi sorotan publik sejak awal pekan lalu. Berdasarkan data Bank Indonesia yang dikutip dari Kompas.com (21 Oktober 2025), jumlah dana pemerintah daerah yang mengendap di bank hingga pekan ketiga Oktober mencapai Rp234 triliun—angka yang naik hampir 12 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Fenomena dana mengendap ini bukan perkara kecil. Dalam kacamata makroekonomi, dana tersebut semestinya berputar untuk membiayai proyek, membuka lapangan kerja, dan memperkuat daya beli masyarakat. Namun sebaliknya, sebagian kepala daerah justru lebih nyaman membiarkan uang itu “tidur” di bank, mengejar bunga deposito yang menggiurkan. “Pemerintah pusat akan menginvestigasi kenapa deposito segitu banyak. Tugas pemerintah bukan mengumpulkan bunga dari tabungan, melainkan memastikan uang negara berdampak pada perekonomian,” tegas Purbaya, seperti dikutip dari CNBC Indonesia (20 Oktober 2025).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Berdasarkan data Kementerian Keuangan yang dihimpun IndonesianCore, ada 15 pemerintah daerah dengan saldo dana mengendap terbesar. Di urutan teratas adalah Pemprov DKI Jakarta dengan Rp14,6 triliun, disusul Pemprov Jawa Timur Rp6,8 triliun, dan Pemkot Banjarbaru Rp5,1 triliun. Selanjutnya, Pemprov Kalimantan Utara (Rp4,7 triliun), Pemprov Jawa Barat (Rp4,1 triliun), Pemkab Bojonegoro (Rp3,6 triliun), Pemkab Kutai Barat (Rp3,2 triliun), serta Pemprov Sumatera Utara (Rp3,1 triliun). Daerah lain yang juga tercatat menimbun dana besar antara lain Pemkab Kepulauan Talaud (Rp2,6 triliun), Pemkab Mimika (Rp2,4 triliun), Pemkab Badung (Rp2,2 triliun), Pemkab Tanah Bumbu (Rp2,1 triliun), Pemprov Bangka Belitung (Rp2,1 triliun), Pemprov Jawa Tengah (Rp1,9 triliun), dan Pemkab Balangan (Rp1,8 triliun).
Daftar tersebut memunculkan pertanyaan publik: mengapa dana sebesar itu tidak segera direalisasikan untuk pembangunan rakyat? Padahal, sebagian besar daerah dalam daftar tersebut masih memiliki angka kemiskinan dan infrastruktur yang butuh perbaikan. “Kalau Rp234 triliun itu benar-benar diserap ke pembangunan, efek gandanya akan sangat besar. Serapan tenaga kerja meningkat, sektor riil bergerak,” ujar ekonom INDEF, Bhima Yudhistira, kepada CNBC Indonesia (22 Oktober 2025).
Kecurigaan terhadap adanya praktik permainan bunga di balik dana mengendap bukan hal baru. Beberapa laporan media mengungkap modus sebagian oknum pejabat daerah yang sengaja menunda realisasi proyek agar dana tetap tersimpan dalam deposito jangka pendek. Dari bunga deposito itulah muncul potensi penyalahgunaan, baik untuk keuntungan pribadi maupun kepentingan politik lokal. Antaranews (21 Oktober 2025) menulis, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan sudah menerima sejumlah laporan dugaan praktik tersebut di beberapa provinsi dan kabupaten.
Langkah Purbaya untuk menelisik dan mengaudit aliran bunga deposito ini pun menjadi momentum membangun tata kelola fiskal daerah yang lebih sehat. Dalam keterangan resminya di tvOneNews (20 Oktober 2025), Purbaya menegaskan akan bekerja sama dengan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memastikan seluruh dana APBD digunakan sesuai peruntukannya. “Tidak boleh ada uang rakyat yang hanya jadi hiasan saldo. Semua harus bekerja untuk pembangunan,” ujarnya.
Sikap ini dianggap sebagai pembeda antara birokrat teknokratis dengan pemimpin visioner. Di tengah kecenderungan pejabat publik yang sering pasif terhadap kebocoran fiskal, Purbaya hadir dengan cara pandang progresif. Ia tidak sekadar mengelola anggaran, tetapi menghidupkan kembali semangat fiskal sebagai motor ekonomi nasional. Kompas.com (22 Oktober 2025) menulis dalam editorialnya, “Menkeu menunjukkan bahwa detil teknis seperti bunga deposito pun punya dampak sistemik terhadap perekonomian.”
Kritik masyarakat terhadap praktik pemda yang menimbun dana juga tajam. Di media sosial, banyak yang menilai kepala daerah kehilangan sense of urgency terhadap perputaran ekonomi lokal. “Selama dana itu hanya jadi deposito, jangan harap ekonomi daerah maju,” tulis seorang pengguna X (Twitter) dalam unggahan yang viral. Publik mendukung langkah Menkeu yang dianggap berani menyentuh wilayah sensitif antara keuangan daerah dan perbankan. “Sidak semua lebih baik, biar rakyat puas melihat kinerjanya,” tulis komentar lain yang dikutip dari tvOneNews (21 Oktober 2025).
Dari sisi regulasi, Kementerian Keuangan berencana memperketat aturan penempatan dana daerah di bank umum. Menurut DetikFinance (22 Oktober 2025), opsi yang dikaji antara lain pembatasan nominal deposito, kewajiban pelaporan transparan bunga, serta insentif bagi daerah dengan tingkat penyerapan anggaran tinggi. Purbaya menilai langkah ini bukan bentuk represi, melainkan dorongan untuk mengembalikan fungsi APBD sebagai instrumen pembangunan, bukan alat mencari keuntungan pasif.
Langkah Purbaya sejalan dengan agenda pemerintah pusat memperkuat efisiensi fiskal dan mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah. Sebab selama dana publik mengendap, banyak program yang terhambat: jalan belum dibangun, irigasi belum diperbaiki, sekolah belum direnovasi. “Setiap rupiah yang tak bergerak sejatinya sedang mengurangi kesempatan rakyat untuk sejahtera,” tulis Kompas.com (21 Oktober 2025).
Langkah tegas ini sekaligus mengoreksi paradigma lama yang menganggap dana sisa anggaran atau dana cadangan boleh dibiarkan mengendap. Dalam sistem ekonomi modern, uang publik yang stagnan sama saja dengan menunda kesejahteraan. Apalagi, bunga deposito pemerintah daerah relatif kecil dibanding potensi multiplier effect jika dana tersebut disalurkan ke proyek produktif. CNBC Indonesia (22 Oktober 2025) mencatat, setiap kenaikan 1 persen realisasi belanja daerah dapat menambah pertumbuhan ekonomi nasional hingga 0,05 persen.
Tidak berlebihan bila publik menyambut langkah ini dengan apresiasi. Di tengah banyaknya isu yang menurunkan kepercayaan terhadap birokrasi, langkah investigatif Purbaya menjadi oase integritas dan kecerdasan kebijakan. Ia menempatkan keuangan publik bukan sekadar angka di laporan, tetapi energi nyata untuk pertumbuhan.
Purbaya memahami bahwa fiskal bukan sekadar instrumen akuntansi, melainkan denyut kehidupan ekonomi bangsa. Ketika uang rakyat kembali bekerja, maka pembangunan tak lagi menunggu. Dalam setiap rupiah yang bergerak, tersimpan harapan agar negeri ini tidak lagi tidur di atas dana yang mengendap.
Dwi Taufan Hidayat

















