Jakarta, Majalahjakarta.com – Ketika rakyat miskin diminta “seikhlasnya” untuk program bantuan yang seharusnya gratis, kita tahu: penyakit lama belum sembuh. Di negeri yang sudah kebal terhadap malu, pungutan kecil justru membuka luka besar bernama korupsi sistemik. Bukan soal lima ribu rupiah, tapi soal bagaimana uang rakyat selalu diperas atas nama kebaikan.
“Pungutan Rp5 Ribu Program MBG di Tasikmalaya Viral, Kader Klarifikasi: Seikhlasnya, Bukan Wajib,” tulis HarapanRakyat.com (13 Oktober 2025). Judulnya saja sudah cukup menggambarkan absurditas negeri ini. Kalau memang “seikhlasnya”, kenapa rakyat merasa wajib? Kalau memang bukan paksaan, kenapa ada yang viral? Dalam logika publik, sesuatu yang ikhlas tak perlu klarifikasi, cukup niat dan amal yang bicara.
Tapi ini Indonesia. Di sini, setiap kali ada kata “program”, biasanya diikuti oleh “pungutan”, “korupsi”, atau “mark up”. Dari pusat hingga daerah, dari pejabat tinggi sampai kader lapangan, semuanya punya cara masing-masing untuk mencomot receh rakyat dengan alasan mulia. Hari ini Rp5 ribu, besok mungkin Rp50 ribu, lalu berlipat dalam anggaran miliar.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Masih dari sumber yang sama, HarapanRakyat.com (13/10/2025) mencatat bahwa pungutan itu terjadi di tengah program Makanan Bergizi Gratis (MBG) sebuah inisiatif pemerintah yang katanya untuk menyehatkan anak bangsa. Ironisnya, sebelum anak-anak itu kenyang, para “pelaksana” justru sudah lebih dulu makan dari amplop pungutan yang dikumpulkan “seikhlasnya”.
Di negeri yang katanya darurat gizi, ternyata lebih dulu darurat integritas. Para pejabat daerah, dengan gaya pidato religius dan senyum karitatif, berbicara tentang moral dan pelayanan publik, tapi tangan mereka sibuk mencari celah untuk mencomot receh. Bahkan Rp5 ribu pun terasa menggoda. Barangkali karena bukan jumlahnya yang penting, tapi kebiasaan yang tak pernah mati: memungut dari yang lemah.
“Selama hukumannya ringan, ya bakalan ada terus,” tulis seorang warganet dalam komentar yang dikutip oleh HarapanRakyat.com (13/10/2025). Kalimat itu lebih jujur daripada seribu pidato presiden. Karena memang, kita sudah kehilangan efek jera. Hukum di negeri ini seperti karet gelang lentur untuk orang berduit, tapi bisa mematikan bagi rakyat kecil yang tak berdaya.
Tak heran, suara publik mulai muak: “Hukum mati koruptor, rampas semua aset hasil korupsi!” teriak netizen di media sosial. Mereka tidak lagi bicara tentang moral, tapi tentang survival. Karena ketika uang untuk ibu hamil, anak sekolah, dan warga miskin pun dikorup, artinya kita hidup di zaman ketika setan pun mungkin malu melihat kelakuan manusia.
Sejak program MBG diumumkan, berbagai media sudah menyoroti celah penyalahgunaan anggaran. Tempo.co (2 Oktober 2025) melaporkan indikasi markup dalam pengadaan bahan pangan, sementara Kompas (5 Oktober 2025) menulis tentang keterlambatan distribusi dan dugaan penyelewengan di daerah. Kini, dengan munculnya kasus Tasikmalaya, lengkap sudah potret program “gizi” yang ternyata penuh racun.
Lucunya, setiap kali kasus seperti ini muncul, para pejabat punya kamus pembenaran yang sama: “Itu hanya oknum.” Padahal, kalau semua yang salah disebut oknum, berarti sistem kita dibangun oleh kumpulan oknum yang saling melindungi. Negara ini seperti rumah yang bocor di semua sisi, tapi tukangnya sibuk mengganti warna cat demi citra bersih.
Dan sementara rakyat berdebat tentang lima ribu, di atas sana para pembuat kebijakan sedang sibuk berakrobat. Pemerintah pura-pura menyiapkan regulasi, DPR pura-pura tidak punya waktu membahas hukuman berat bagi koruptor. Semua sibuk berdrama tentang moralitas, padahal di balik layar, mereka hanya menegosiasikan berapa persen yang pantas diambil.
“Programnya dipaksakan, tendernya penuh korupsi, anak keracunan, guru disuruh tutup mulut,” begitu komentar publik di kolom berita HarapanRakyat.com (13/10/2025). Kalimat itu seperti ringkasan sempurna dari lingkaran setan pembangunan versi Indonesia. Setiap niat baik selalu diikuti peluang untuk korupsi, setiap proyek sosial selalu jadi ajang pembagian rezeki elite.
Yang paling menyedihkan, rakyat kini mulai apatis. Mereka tidak marah lagi, hanya menghela napas dan berkata: “Ya beginilah Indonesia.” Padahal, normalisasi kebusukan adalah tanda bangsa mulai kehilangan moral kolektif. Kita sudah tidak lagi shock ketika mendengar pejabat korupsi dana bantuan sosial, karena kita tahu itu cuma “hari biasa”.
Jika pemerintah benar-benar serius menumpas korupsi, tidak perlu banyak rapat dan slogan. Terapkan saja dua hal sederhana: hukum mati koruptor dan rampas seluruh aset hasil kejahatannya. Tapi sayangnya, usul ini hanya berhenti di ruang wacana. Setiap kali dibahas, politisi akan mendadak sibuk, birokrat mendadak buta, dan aktivis mendadak kehilangan sinyal.
Maka jangan heran jika generasi muda tumbuh dengan mental permisif. Mereka melihat korupsi bukan lagi sebagai dosa, tapi sebagai keterampilan bertahan hidup. Yang penting pintar membagi hasil dan pandai menebar senyum. Sementara rakyat kecil terus dicekik dengan alasan “ikhlas”, seolah kemiskinan adalah ladang sedekah untuk para elite.
Pada akhirnya, pungutan Rp5 ribu itu bukan sekadar uang receh. Ia adalah simbol bagaimana korupsi di negeri ini sudah bermetamorfosis: dari pejabat ke kader, dari anggaran miliar ke sumbangan sukarela, dari kebijakan publik ke permainan kecil yang dianggap lumrah. Dan ketika rakyat mulai menganggap kezaliman sebagai hal biasa, berarti bangsa ini sudah benar-benar sakit.
HarapanRakyat.com (13 Oktober 2025) menutup beritanya dengan klarifikasi: “Seikhlasnya, bukan wajib.” Tapi di hati publik, kalimat itu terdengar seperti olok-olok. Karena yang paling wajib sebenarnya bukan uang lima ribu itu, melainkan kejujuran dan rasa malu dua hal yang kini tampaknya sudah habis dikorupsi juga. (Dwi TH)

















