Jakarta, Majalahjakarta.com – “Duitnya ada,” ujar Presiden Prabowo Subianto dengan nada yakin. Kalimat itu seolah sederhana, namun di baliknya tersimpan harapan besar rakyat: bahwa uang hasil korupsi yang dirampas negara benar-benar akan kembali kepada mereka yang paling berhak. Tapi janji keadilan itu kini diuji apakah akan jadi kebijakan nyata atau sekadar retorika politik belaka.
Ketika Presiden Prabowo Subianto mengatakan, “Duitnya ada. Duit yang tadinya dikorupsi (setelah diambil negara) saya hemat,” (Kompas.com, “Prabowo: Duitnya Ada, Jangan Kasih Koruptor Kesempatan”, 4 November 2025), publik menaruh harapan tinggi. Ucapan itu bukan sekadar laporan kondisi fiskal, melainkan sebuah janji moral: negara akan mengembalikan hak rakyat yang dirampas oleh koruptor. Ia menegaskan pula, “Jangan kasih kesempatan koruptor-koruptor itu merajalela. Uang nanti banyak untuk kita, untuk rakyat semua.” Kata-kata itu memantik optimisme, tapi juga menuntut pembuktian.
Masalahnya, “duitnya ada” belum tentu berarti “duitnya sampai.” Dalam banyak kasus, dana hasil sitaan dan rampasan korupsi memang berhasil dikembalikan ke kas negara, namun manfaatnya jarang terasa langsung oleh masyarakat. Laporan Tempo (18 Oktober 2025) mencatat bahwa nilai uang rampasan negara dari kasus-kasus besar mencapai lebih dari Rp 33 triliun, tapi tak ada kejelasan tentang alokasinya untuk kompensasi sosial. Dana itu kerap berhenti di pos penerimaan umum tanpa desain distribusi yang pro-rakyat.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Padahal, di balik setiap kasus korupsi selalu ada korban sosial: guru yang tak menerima tunjangan, petani yang gagal panen karena irigasi rusak, pelaku UMKM yang kehilangan akses permodalan. Jika dana rampasan korupsi hanya menjadi angka dalam neraca keuangan negara, keadilan tetap tak terwujud. Seperti diulas CNN Indonesia (20 Oktober 2025), sebagian besar dana hasil sitaan korupsi justru digunakan untuk menutup defisit anggaran, bukan memperkuat program sosial. Rakyat kecil tetap menjadi pihak yang paling menderita, sementara negara merasa sudah menunaikan tugas moralnya hanya dengan “mengembalikan” uang.
Prinsip keadilan distributif semestinya menjadi landasan penggunaan dana hasil korupsi. Uang yang diperoleh dari kejahatan terhadap rakyat harus dipakai untuk memulihkan hak-hak mereka yang terdampak. Menurut data Badan Pusat Statistik (Oktober 2025), sekitar 9,3 persen penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan, dengan mayoritas di luar Jawa. Jika pemerintah benar-benar ingin menghapus luka akibat korupsi, maka pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial rakyat di wilayah tertinggal harus menjadi prioritas utama penyaluran dana rampasan.
Dalam pernyataannya, Prabowo sempat menyebut beberapa bidang prioritas: gaji pegawai, pembangunan daerah tertinggal, BPJS, transportasi umum non-Jawa, serta penambahan jaringan KRL (DetikFinance, 4 November 2025). Daftar itu terdengar menjanjikan, namun publik berhak menagih transparansi. Bagaimana pemerintah memastikan dana hasil korupsi tidak sekadar masuk ke kantong besar APBN yang sulit dilacak penggunaannya? Apakah akan dibuat trust fund atau “dana abadi antikorupsi” yang khusus digunakan untuk program sosial? Tanpa kejelasan, janji keadilan itu bisa tergerus oleh rutinitas birokrasi.
Masalah lain adalah inkonsistensi antara wacana moral dan praktik fiskal. Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) menjadi contoh paradoks. Menurut laporan Bisnis Indonesia (2 November 2025), pemerintah kini menanggung jaminan pembayaran tahunan dan pelunasan pokok utang proyek tersebut. Jika proyek yang bermasalah secara finansial justru diselamatkan dengan uang negara, sementara dana hasil korupsi tidak diarahkan ke kebutuhan sosial mendesak, maka prinsip keadilan fiskal dipertanyakan. Rakyat berhak bertanya: “Duitnya ada untuk siapa?”
Lebih jauh lagi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap memegang peran penting. Pemerintah boleh menata kebijakan fiskal, tapi tanpa penegakan hukum yang konsisten, dana hasil korupsi tidak akan punya efek jera. Liputan6.com (3 November 2025) menulis bahwa KPK masih memantau potensi kerugian negara dalam proyek infrastruktur besar, termasuk KCJB, yang melibatkan pemborosan dalam perencanaan dan pelaksanaan. Jika lembaga ini dilemahkan, maka narasi “duitnya ada” hanya akan menjadi kosmetik moral di tengah sistem yang tetap bocor.
Sementara itu, tekanan pembayaran utang luar negeri masih menghantui. Data Kementerian Keuangan (Oktober 2025) mencatat total utang pemerintah mencapai Rp 8.300 triliun, dengan rasio terhadap PDB sebesar 38,4 persen. Pembayaran bunga utang saja menghabiskan lebih dari Rp 500 triliun per tahun hampir setara dengan total dana pendidikan nasional. Dalam kondisi seperti ini, penggunaan dana hasil korupsi untuk menambal beban fiskal bisa jadi perlu, namun tetap menimbulkan dilema moral. Uang yang seharusnya untuk rakyat malah kembali dipakai menutup kesalahan negara.
Beberapa ekonom mengusulkan agar Indonesia meniru model “social recovery fund” seperti yang diterapkan Korea Selatan dan Italia, di mana dana hasil kejahatan korupsi dialokasikan langsung untuk pendidikan publik dan proyek sosial. Kontan (22 Oktober 2025) mencatat, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) tengah mengkaji sistem earmarking—penandaan khusus dalam anggaran untuk memastikan dana rampasan digunakan sesuai tujuan sosialnya. Skema ini memungkinkan publik memantau pergerakan uang, sekaligus menumbuhkan kepercayaan terhadap pemerintah.
Namun, lebih dari sekadar mekanisme, persoalan utama terletak pada moral politik. Korupsi bukan hanya kejahatan ekonomi, melainkan pengkhianatan terhadap rasa keadilan. Oleh karena itu, setiap rupiah hasil korupsi yang diselamatkan negara semestinya menjadi tebusan moral bagi rakyat. Pemerintahan Prabowo akan diuji sejauh mana mampu mengubah uang hasil kejahatan itu menjadi manfaat sosial nyata. Bukan sekadar angka di APBN, melainkan napas kehidupan bagi sekolah, puskesmas, dan desa yang lama dilupakan.
Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) 2025 menyebut bahwa potensi korupsi masih tinggi di sektor pengadaan barang dan jasa, serta transfer ke daerah. Jika pemerintah hanya sibuk menghitung berapa banyak dana rampasan yang berhasil dikumpulkan tanpa memperbaiki sistem anggarannya, maka sirkulasi korupsi akan terus berulang. Karena itu, pengelolaan dana hasil korupsi perlu diaudit secara terbuka dan melibatkan masyarakat sipil agar rakyat tidak hanya menjadi penonton di tengah perayaan “uang negara kembali.”
Kini, publik menunggu bukti. “Duitnya ada,” kata presiden. Tapi keadilan sosial belum tentu. Uang bisa kembali ke kas negara, namun belum tentu kembali ke tangan rakyat. Bila pemerintah sungguh serius menegakkan prinsip keadilan fiskal, maka setiap rupiah hasil sitaan koruptor harus menjadi bukti bahwa negara menebus dosanya pada rakyat kecil. Jika tidak, slogan “duitnya ada” hanya akan bergema di ruang birokrasi nyaring di telinga, tapi hampa di nurani.
Dwi Taufan Hidayat

















