Jakarta, Majalahjakarta.com – Ketika wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto kembali mencuat, bangsa ini sesungguhnya sedang diuji: apakah kita ingin berdamai dengan masa lalu atau sekadar melupakannya. Ketua DPR RI Puan Maharani menyatakan bahwa pemerintah perlu “mengkaji rekam jejak Soeharto dari masa lalu hingga sekarang” sebelum memberi keputusan final. (antaranews.com, 4 November 2025)
Pernyataan itu terdengar diplomatis, tapi sesungguhnya mengandung dilema besar: bagaimana bangsa ini menimbang antara jasa dan dosa sejarah? Karena dalam setiap upaya memuliakan figur masa lalu, ada risiko bahwa penghormatan berubah menjadi penghapusan.
Puan memang benar bahwa gelar pahlawan bukan urusan sederhana. Ia harus melalui Dewan Gelar dan Tanda Kehormatan yang menilai jasa dan keteladanan seseorang secara objektif. (detik.com, 4 November 2025) Namun dalam praktiknya, objektivitas sejarah sering kali kalah oleh atmosfer politik. Sebuah nama bisa diangkat atau disembunyikan bukan karena jasa, melainkan karena kebutuhan simbolik kekuasaan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Di sini sinisme menjadi penting: benarkah proses pengkajian ini murni akademik, atau sekadar langkah teatrikal untuk menuntaskan romantisme Orde Baru? Masyarakat tentu berhak curiga, sebab setiap kali isu ini muncul, selalu bertepatan dengan momen politik besar seperti menjelang Hari Pahlawan atau tahun politik. (jawapos.com, 4 November 2025)
Mereka yang membela Soeharto selalu mengingatkan bahwa ia membangun jalan, menstabilkan harga, dan menertibkan negara dari ancaman komunisme. Semua itu benar, tapi tidak cukup untuk menghapus bagian kelam yang juga menjadi warisan panjang: pembungkaman kebebasan, pelanggaran HAM, korupsi struktural, dan kultur feodal kekuasaan yang masih terasa hingga kini. (tempo.co, 10 Mei 2024)
Kita bisa menghargai jasa pembangunan, tetapi apakah kita siap mengakui bahwa sebagian besar kemakmuran itu berdiri di atas pembungkaman rakyat sendiri? Soeharto mungkin menstabilkan ekonomi, tapi ia juga membekukan demokrasi. Ia menertibkan negara, tapi membungkam kritik. Ia menyatukan bangsa di atas rasa takut, bukan rasa percaya.
Puan mengingatkan agar rekam jejak Soeharto dicermati “secara utuh dan cermat”. (herald.id, 4 November 2025) Sayangnya, keutuhan sejarah sering kali retak oleh selektivitas politik. Sejarah yang ditulis oleh pemenang akan selalu memuliakan tangan yang berkuasa. Sementara korban pembunuhan politik, penghilangan paksa, dan aktivis reformasi masih belum menemukan ruang untuk bersuara. Apakah mereka juga akan diundang dalam kajian kepahlawanan ini?
Wacana kepahlawanan tidak boleh berubah menjadi mekanisme pengampunan politik. Ketika gelar diberikan tanpa proses penilaian moral yang jujur, maka kita tidak sedang menghormati pahlawan, melainkan sedang menutupi luka bangsa dengan selimut upacara. Penghargaan tanpa refleksi hanya akan mengajarkan generasi muda bahwa sejarah bisa disucikan dengan seremoni.
Soeharto bukan hanya simbol masa lalu. Ia adalah cermin yang menampakkan wajah bangsa: disiplin tapi represif, berwibawa tapi takut pada kritik, berprestasi tapi menyisakan trauma. Gelar pahlawan, jika benar akan diberikan, seharusnya menjadi momentum untuk berdialog dengan masa lalu secara terbuka, bukan untuk menutupinya.
Mungkin benar, seperti kata sebagian pendukungnya, Soeharto berjasa besar. Tapi bangsa yang sehat tidak mengukur kepahlawanan dari keberhasilan semata. Ia menilainya dari keberanian untuk tidak menodai kemanusiaan saat berkuasa. Jika dosa besar dapat diredam dengan alasan jasa besar, maka kepahlawanan kehilangan maknanya.
Kita harus belajar menilai sejarah dengan dua mata: satu mata melihat jasanya, satu mata lagi tidak berpaling dari luka yang ditinggalkannya. Menutup sebelah mata demi menjaga romantisme politik hanyalah cara halus untuk mengkhianati masa depan bangsa.
Soeharto layak dihormati sebagai tokoh besar, tetapi belum tentu sebagai pahlawan nasional. Sebab gelar pahlawan tidak boleh diberikan untuk menenangkan nostalgia atau membenarkan masa lalu yang belum selesai. Puan benar, rekam jejak itu harus dikaji dengan cermat dan semoga kali ini, kajiannya tidak sekadar menjadi formalitas politik untuk menuntaskan rasa bersalah nasional yang tak pernah diucapkan.
Dwi Taufan Hidayat

















