Jakarta, Majalahjakarta.com – Nusantara Centre dengan dukungan sponsor utama PT Genta Niaga Wijaya menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Rancangan Undang-Undang Perekonomian Nasional” di Hotel Sotis, Jakarta, pada Kamis 30 Oktober 2025
Kegiatan tersebut menghadirkan sejumlah ekonom terkemuka, di antaranya Gde Siriana Yusuf, Hatta Taliwang, Agus Rizal, Yaya Sunaryo, As’yari, Dedi Setiadi, SN, Andi Syahputra, Firdaus, Syuryani, Hasyim, Yudhie Haryono, dan Pratama.
Dalam sesi pembuka, ekonom senior SN menekankan bahwa arah pembangunan ekonomi nasional harus berpijak pada ideologi negara dan konstitusi, bukan semata mengikuti arus mekanisme pasar global.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurutnya, RUU Perekonomian Nasional penting sebagai instrumen transisi penguasaan sumber daya alam dari swasta kembali ke negara secara bertahap dan adil, bukan represif. Regulasi ini harus bisa memastikan kekayaan alam dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran warga negara.
Dalam pandangan lanjutannya, SN menyoroti perlunya arah pembangunan jangka panjang semacam GBHN agar kebijakan ekonomi tidak terus berubah tiap pergantian pemerintahan. Ia menilai politik boleh tersentralisasi, namun ekonomi harus didesentralisasikan agar daerah memiliki kemandirian mengelola sumber dayanya.
“Negara menjadi kuat bukan hanya karena kaya, tetapi karena sistem ekonominya inklusif terhadap seluruh warga negara,” ujarnya.
Sementara itu, Andi Syahputra menyoroti aspek teknis dan kebahasaan dalam draf RUU. Ia menyebut banyak istilah asing yang tidak perlu masuk ke dalam hukum nasional, serta substansi yang terlalu teknis namun belum jelas soal sanksi dan mekanisme penegakannya.
Ia juga mengkritik karena peran warga negara tidak dimasukkan secara eksplisit dalam struktur pelaku ekonomi, yang hanya menyebut BUMN, Koperasi, dan Swasta.
Di atas usulan yang subtantif tersebut, kami semua memandang RUU Perekonomian Nasional sebagai kesempatan strategis untuk menentukan arah ekonomi Indonesia: menjadi bangsa yang berdiri, berdaulat, mandiri dan modern atau tetap menjadi pasar bagi kekuatan global.
Kami mendorong agar konsep “Indonesia Incorporated” diterapkan, di mana negara tidak hanya menjadi regulator, namun juga aktor ekonomi yang berpihak pada kepentingan warga negara, bukan modal besar.
Hatta Taliwang menegaskan bahwa Sovereign Wealth Fund (SWF) harus kembali pada fungsi utama: melindungi kekayaan negara dan generasi mendatang. Ia juga meminta agar koperasi dikembalikan pada perannya sebagai pilar ekonomi warga negara, bukan sekadar pelengkap dalam pasal undang-undang.
“Koperasi jangan hanya menjadi ornamen, tapi harus diberi ruang operasional yang nyata dan menjadi soko guru perekonomian nasional,” katanya.
Ia mengingatkan bahwa tanpa landasan ideologis dan struktur hukum yang kuat, RUU ini berpotensi bertabrakan dengan undang-undang lain.
Ya. Inti undang-undang ini sebenarnya cuma lima: rekonstitusi, restrukturalisasi, redistribusi, rekapitalisasi dan reindustrialisasi. Jika dikerjakan dengan presisi, pasti tak ada kemiskinan, kebodohan, pengangguran, kesakitan, ketimpangan.
Pemerintahan hari ini menargetkan penyelesaian versi akhir RUU pada akhir November, dengan Setneg dan Bappenas sebagai panitia bersama yang saling sinergis mengurus semuanya.
Singkatnya, kita juga menekankan pentingnya memastikan kualitas dan keberpihakan substansi, bukan hanya mengejar tenggat waktu. Ini hal paling penting agar subjek warga negara segera pulih dari krisis.
FGD ditutup dengan optimisme dan satu kesepahaman penting: meski memerlukan penyempurnaan, RUU Perekonomian Nasional harus segera dirampungkan dan disahkan.
Para peserta FGD sepakat bahwa RUU ini krusial untuk memperkuat kedaulatan ekonomi negara, mempertegas peran negara dalam mengelola kekayaan alam, dan memberi porsi lebih besar bagi kesejahteraan warga negara.
RUU ini dipandang bukan sekadar produk hukum, tetapi langkah strategis menuju kemerdekaan, kemandirian, kedaulatan dan kemartabatan ekonomi Indonesia.
Tanpa target besar itu, kita diingatkan oleh tesis David D. Burn (2018), “ketika sebuah bangsa limbo oleh belenggu pesimisme, maka daya hidupnya dilumpuhkan oleh jeratan 4D: defeated (rasa pecundang), defective (rasa cacat), deserted (rasa hampa diabaikan) dan deprived (rasa tercerabut) yang dihayati seolah-olah sebagai kenyataan sejati.” Itu bahkan dianggap takdir dan nasib abadi.
Karenanya, kita segera lawan dan hapuskan. Tentu dengan kesadaran pancasila yang telah diwarisi. Sambil sadar ini batu uji raksasa untuk bekerja; ujian untuk berterimakasih; ujian untuk bersabar; ujian untuk beriman; ujian untuk berdoa. Itulah 5 ujian dalam hidup kita yang riil di kehidupan.(*)
Agus Rizal (Nusantara Centre)

















