Mojokerto, Majalahjakarta.com – Gelombang penolakan muncul dari warga Dusun Gempal, Desa Wunut, Kecamatan Mojoanyar, Kabupaten Mojokerto, terkait hasil seleksi jabatan kepala dusun (kadus) yang dinilai tidak mencerminkan aspirasi masyarakat setempat.
Dalam seleksi yang digelar pada 1 Oktober 2025 di Kantor Regional II Badan Kepegawaian Negara (BKN) Surabaya, tiga calon mengikuti ujian. Hasilnya, peserta asal Dusun Wunut bernama Muhammad Rizaldi meraih nilai tertinggi dengan skor 285, disusul dua peserta asal Dusun Gempal, yaitu Rizal Ismuhadi (267) dan Sardiyanto (240).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Meski secara administratif sah, keputusan tersebut memicu penolakan dari warga Gempal. Mereka menilai, calon yang akan dilantik sebagai kepala dusun tidak memiliki ikatan sosial maupun pemahaman yang cukup tentang kondisi lokal.
“Warga tidak mempermasalahkan proses seleksi atau nilainya. Tapi secara moral dan etika, kepala dusun seharusnya berasal dari warga yang memahami kultur dan persoalan dusun ini. Dusun Gempal langganan banjir tiap tahun, bagaimana bisa memimpin kalau tidak mengenal medan dan masyarakatnya?” ujar salah satu warga dalam pertemuan di Balai Dusun Gempal, Senin (3/11/2025).
Warga menegaskan, apabila calon dari luar dusun tetap dilantik, mereka tidak akan mengakuinya sebagai pemimpin di wilayah mereka. “Biar dilantik, tapi tidak kami anggap. Biar malu sendiri,” cetus warga lain dengan nada kecewa.
Pengamat Hukum: Secara Yuridis Sah, Secara Etika Bermasalah
Menanggapi polemik ini, pengamat hukum Dr. Didi Sungkono, S.H., M.H., menyebut penolakan warga Dusun Gempal sebagai bentuk ekspresi demokratis yang perlu dihormati. Menurutnya, dasar hukum seleksi memang sudah sesuai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagaimana telah diperbarui menjadi UU Nomor 3 Tahun 2024.
Namun, Didi menekankan pentingnya aspek legitimasi sosial dalam kepemimpinan.
“Secara yuridis formil, benar bahwa yang meraih nilai tertinggi berhak dilantik. Tapi dalam sistem demokrasi, tahta tertinggi hukum tetap berada di tangan rakyat. Kalau pemimpin tidak dikehendaki oleh rakyatnya, bagaimana bisa menjalankan pemerintahan dengan hati nurani? Pemimpin sejati harus berani bersikap ksatria, legowo, dan mengundurkan diri demi menjaga marwah jabatan,” ujarnya.
Ia menilai, jika proses seleksi berlangsung terbuka tanpa indikasi suap atau kepentingan lain, maka keputusan mundur tidak merugikan pihak mana pun. “Pemimpin itu bukan soal jabatan, tapi kepercayaan. Tugas utama pemimpin adalah memenangkan hati rakyat, bukan sekadar memenangkan seleksi,” tegasnya.
Dugaan Nepotisme dan Respons Pemerintah
Sementara itu, sejumlah tokoh masyarakat menyoroti adanya dugaan nepotisme dalam proses seleksi. Mereka mengklaim bahwa calon terpilih masih memiliki hubungan keluarga dengan salah satu perangkat desa.
“Yang lolos itu keponakan Bayan Edi dari Dusun Wunut. Jadi wajar kalau warga menilai proses ini sarat kepentingan,” ujar Gan, tokoh masyarakat Dusun Gempal.
Secara terpisah, Plt Camat Mojoanyar, Arifatur Roziq, membenarkan adanya penolakan warga, meski belum ada aksi demonstrasi terbuka.
“Tidak ada demo, tapi memang ada penolakan dari warga. Prosesnya tetap berjalan sesuai prosedur, karena ini bukan pemilihan langsung melainkan pengangkatan melalui ujian terbuka. Semua warga negara berhak mendaftar,” kata Arifatur saat ditemui, Kamis (30/10/2025).
Menurutnya, pemerintah kecamatan telah memberikan rekomendasi kepada pihak desa dan bupati untuk menindaklanjuti hasil seleksi sesuai aturan yang berlaku.
Demokrasi Lokal dan Pelajaran Kepemimpinan
Kasus Dusun Gempal mencerminkan dilema klasik antara legalitas administratif dan legitimasi moral dalam tata kelola pemerintahan desa. Secara hukum, seleksi terbuka memberi kesempatan setara bagi setiap warga negara. Namun secara sosiologis, masyarakat pedesaan masih memegang kuat prinsip keterikatan sosial dan kearifan lokal.
Bagi warga, pemimpin bukan sekadar jabatan, melainkan bagian dari kehidupan bersama. Dalam konteks ini, legitimasi moral menjadi fondasi utama keberhasilan pemerintahan di tingkat desa. (Redho)

















