Jakarta, Majalahjakarta.com – Maraknya penetapan tersangka terhadap debitur oleh perusahaan pembiayaan atau leasing dengan tuduhan penggelapan objek jaminan fidusia kini menjadi perbincangan hangat di kalangan praktisi hukum dan masyarakat. Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah penetapan tersangka dan penahanan terhadap debitur sah secara hukum? Dan apakah akta fidusia yang dibuat tanpa kehadiran debitur dapat menjadi dasar pidana?
Menurut Bramada Pratama Putra, S.H., CPLA., Ketua Harian Yayasan Advokasi Lembaga Perlindungan Konsumen (YALPK Group), tindakan hukum semacam itu harus dikaji secara hati-hati agar tidak terjadi kekeliruan dalam penegakan hukum.
“Mahkamah Konstitusi sudah menegaskan bahwa sah atau tidaknya penetapan tersangka, penahanan, maupun penggeledahan dapat diuji melalui praperadilan,” ujar Bramada kepada wartawan, Selasa (4/11).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia menegaskan, penetapan tersangka harus didasarkan pada dua alat bukti yang cukup, bukan hanya laporan dari kreditur. Jika penetapan dilakukan tanpa adanya akta fidusia yang sah dan terdaftar, maka keputusan tersebut tidak memenuhi syarat objektif.
Dasar Hukum dan Analisis
Bramada mengutip Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, khususnya Pasal 5 hingga Pasal 11, yang menyebutkan bahwa penerapan Pasal 36 UU Fidusia hanya dapat dilakukan jika perjanjian fidusia dibuat secara sah dan disertai pendaftaran resmi.
“Apabila akta fidusia dibuat tanpa kehadiran langsung pemberi fidusia, maka perjanjian itu cacat hukum dan tidak dapat dijadikan dasar pemidanaan,” ujarnya.
Lebih jauh, hubungan antara debitur dan kreditur sejatinya adalah hubungan perdata dalam bentuk perjanjian pembiayaan konsumen (utang-piutang), sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 dan 1338 KUHPerdata, bukan tindak pidana.
“Ketika terjadi pengalihan atau penguasaan kendaraan yang masih dalam masa kredit, hal itu merupakan bentuk wanprestasi, bukan penggelapan,” tambahnya.
Acuan Kepolisian dan Perlindungan Konsumen
Pandangan ini juga sejalan dengan Surat Edaran Kabareskrim Polri Nomor B/2110/VIII/2009, yang menegaskan bahwa:
Laporan debitur terhadap perusahaan pembiayaan atas penarikan unit tidak boleh diproses dengan pasal pencurian atau perampasan.
Sebaliknya, laporan perusahaan pembiayaan terhadap debitur tidak dapat diproses dengan pasal penggelapan atau tindak pidana lain.
Artinya, setiap sengketa seputar objek fidusia seharusnya diselesaikan melalui jalur perdata atau mediasi konsumen, bukan pidana.
Cacat Formil dan Praktik Leasing
Bramada juga menyoroti adanya dugaan cacat formil dalam pembuatan akta fidusia, karena banyak dilakukan tanpa kehadiran langsung debitur. Akta tersebut umumnya dibuat hanya berdasarkan surat kuasa dengan klausula baku, yang bertentangan dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Selain itu, ditemukan pula perbedaan data uang muka (down payment) antara kontrak pembiayaan dan nilai pembayaran aktual yang dilakukan konsumen.
“Dalam konteks ini, debitur justru beritikad baik, dan tidak layak dikriminalisasi,” tegasnya.
Bramada mengingatkan agar lembaga pembiayaan dan perbankan lebih menghormati hak-hak konsumen dalam menjalankan praktik bisnisnya.
Edukasi Publik: Bijak dalam Pembiayaan
Sebagai catatan edukatif, masyarakat diimbau untuk:
Berhati-hati dalam mengajukan kredit dan memahami isi kontrak pembiayaan.
Memastikan kehadiran langsung saat akta fidusia dibuat dan ditandatangani.
Melapor ke lembaga perlindungan konsumen jika menemukan praktik pembiayaan yang merugikan. (Redho)

















