Marak Debitur Dijerat Pasal Penggelapan Objek Fidusia, Pakar Hukum: “Jangan Campur Urusan Perdata dengan Pidana”

- Penulis

Selasa, 4 November 2025 - 17:26

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

Jakarta, Majalahjakarta.com – Maraknya penetapan tersangka terhadap debitur oleh perusahaan pembiayaan atau leasing dengan tuduhan penggelapan objek jaminan fidusia kini menjadi perbincangan hangat di kalangan praktisi hukum dan masyarakat. Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah penetapan tersangka dan penahanan terhadap debitur sah secara hukum? Dan apakah akta fidusia yang dibuat tanpa kehadiran debitur dapat menjadi dasar pidana?

Menurut Bramada Pratama Putra, S.H., CPLA., Ketua Harian Yayasan Advokasi Lembaga Perlindungan Konsumen (YALPK Group), tindakan hukum semacam itu harus dikaji secara hati-hati agar tidak terjadi kekeliruan dalam penegakan hukum.

“Mahkamah Konstitusi sudah menegaskan bahwa sah atau tidaknya penetapan tersangka, penahanan, maupun penggeledahan dapat diuji melalui praperadilan,” ujar Bramada kepada wartawan, Selasa (4/11).

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ia menegaskan, penetapan tersangka harus didasarkan pada dua alat bukti yang cukup, bukan hanya laporan dari kreditur. Jika penetapan dilakukan tanpa adanya akta fidusia yang sah dan terdaftar, maka keputusan tersebut tidak memenuhi syarat objektif.

Dasar Hukum dan Analisis
Bramada mengutip Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, khususnya Pasal 5 hingga Pasal 11, yang menyebutkan bahwa penerapan Pasal 36 UU Fidusia hanya dapat dilakukan jika perjanjian fidusia dibuat secara sah dan disertai pendaftaran resmi.

“Apabila akta fidusia dibuat tanpa kehadiran langsung pemberi fidusia, maka perjanjian itu cacat hukum dan tidak dapat dijadikan dasar pemidanaan,” ujarnya.

Lebih jauh, hubungan antara debitur dan kreditur sejatinya adalah hubungan perdata dalam bentuk perjanjian pembiayaan konsumen (utang-piutang), sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 dan 1338 KUHPerdata, bukan tindak pidana.

Baca Juga:  Pastikan Pengairan dan Pertumbuhan Optimal, Bhabinkamtibmas Polsek Tarik Polresta Sidoarjo Cek Pertanian Jagung

“Ketika terjadi pengalihan atau penguasaan kendaraan yang masih dalam masa kredit, hal itu merupakan bentuk wanprestasi, bukan penggelapan,” tambahnya.

Acuan Kepolisian dan Perlindungan Konsumen
Pandangan ini juga sejalan dengan Surat Edaran Kabareskrim Polri Nomor B/2110/VIII/2009, yang menegaskan bahwa:

Laporan debitur terhadap perusahaan pembiayaan atas penarikan unit tidak boleh diproses dengan pasal pencurian atau perampasan.

Sebaliknya, laporan perusahaan pembiayaan terhadap debitur tidak dapat diproses dengan pasal penggelapan atau tindak pidana lain.

Artinya, setiap sengketa seputar objek fidusia seharusnya diselesaikan melalui jalur perdata atau mediasi konsumen, bukan pidana.

Cacat Formil dan Praktik Leasing
Bramada juga menyoroti adanya dugaan cacat formil dalam pembuatan akta fidusia, karena banyak dilakukan tanpa kehadiran langsung debitur. Akta tersebut umumnya dibuat hanya berdasarkan surat kuasa dengan klausula baku, yang bertentangan dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).

Selain itu, ditemukan pula perbedaan data uang muka (down payment) antara kontrak pembiayaan dan nilai pembayaran aktual yang dilakukan konsumen.

“Dalam konteks ini, debitur justru beritikad baik, dan tidak layak dikriminalisasi,” tegasnya.

Bramada mengingatkan agar lembaga pembiayaan dan perbankan lebih menghormati hak-hak konsumen dalam menjalankan praktik bisnisnya.

Edukasi Publik: Bijak dalam Pembiayaan
Sebagai catatan edukatif, masyarakat diimbau untuk:

Berhati-hati dalam mengajukan kredit dan memahami isi kontrak pembiayaan.
Memastikan kehadiran langsung saat akta fidusia dibuat dan ditandatangani.
Melapor ke lembaga perlindungan konsumen jika menemukan praktik pembiayaan yang merugikan. (Redho)

Berita Terkait

Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”
Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara
Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria
Apel Pagi di Lapas Banda Aceh: Momentum Disiplin dan Apresiasi Pegawai Teladan
Jakarta Jadi Kota Kedua Terbanyak Pembeli Jersey Persib
Status DKI Berubah Menjadi DKJ Arah Kebijakan Hukum Publik Jakarta Utara
Kebijakan Pelabuhan Dimata Hukum DKJ Di Jakarta Utara
Politik Hukum Dalam Regulasi Kebijakan Dimata Hukum Publik
Berita ini 24 kali dibaca
3 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Berita Terkait

Rabu, 5 November 2025 - 19:03

Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”

Rabu, 5 November 2025 - 17:56

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Selasa, 4 November 2025 - 16:56

Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria

Selasa, 4 November 2025 - 16:11

Apel Pagi di Lapas Banda Aceh: Momentum Disiplin dan Apresiasi Pegawai Teladan

Selasa, 4 November 2025 - 15:54

Jakarta Jadi Kota Kedua Terbanyak Pembeli Jersey Persib

Selasa, 4 November 2025 - 12:10

Status DKI Berubah Menjadi DKJ Arah Kebijakan Hukum Publik Jakarta Utara

Selasa, 4 November 2025 - 11:32

Kebijakan Pelabuhan Dimata Hukum DKJ Di Jakarta Utara

Selasa, 4 November 2025 - 10:53

Politik Hukum Dalam Regulasi Kebijakan Dimata Hukum Publik

Berita Terbaru

Berita

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 Nov 2025 - 19:27

Berita

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 Nov 2025 - 17:56

Berita

Pertumbuhan 5 Persen, Tapi Siapa yang Untung?

Rabu, 5 Nov 2025 - 17:41

Kebangsaan

Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda

Rabu, 5 Nov 2025 - 17:24

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x