Jakarta, Majalahjakarta.com – Ketika relawan yang dulu berteriak lantang “setia untuk Jokowi” kini perlahan menyeberang ke kubu Gerindra, pertanyaannya bukan lagi soal siapa mendukung siapa, tapi mengapa arah angin kekuasaan selalu berhasil mengubah peta kesetiaan. Apakah ini strategi politik yang rasional, atau sekadar panggung sandiwara yang berulang dalam setiap babak kekuasaan di negeri ini?
Dalam kongres internalnya di Jakarta, Ketua Umum Projo, Budi Arie Setiadi, mengumumkan bahwa relawan pendukung Jokowi itu kini akan “bertransformasi” mendukung program pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka. Ia menegaskan bahwa perubahan arah itu bukan soal politik praktis, melainkan bentuk dukungan terhadap keberlanjutan program rakyat. (Antara, 2 November 2025).
Namun, di balik pernyataan normatif itu, publik mencium aroma lain. Pergeseran arah ini tampak lebih mirip kalkulasi politik ketimbang refleksi ideologis. Beberapa media menyebut bahwa Projo tengah menyiapkan langkah strategis untuk mendekat ke Partai Gerindra bahkan ada yang menafsirkan sebagai upaya mencari posisi aman di tengah perubahan kekuasaan. (Democrazy.id, 2 November 2025).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Gerakan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: sejak kapan relawan berubah menjadi entitas politik yang gesit mengikuti arah istana? Dulu mereka berseru “bersama rakyat, untuk Jokowi,” kini berganti menjadi “bersama rakyat, bersama pemerintahan baru.” Jika rakyat tetap menjadi embel-embel slogan, maka siapa sebenarnya yang mereka wakili?
Beberapa kalangan di akar rumput menilai bahwa jika Projo benar-benar ingin menegaskan keberpihakan pada rakyat, maka langkah pertama yang perlu diambil bukanlah merapat ke partai pemenang, melainkan menuntut akuntabilitas kekuasaan. Isu pemakzulan Gibran Rakabuming yang sempat bergema di kalangan oposisi pun menjadi sorotan. “Kalau mau bersama rakyat, bicaralah tegas soal itu, bukan sekadar pindah gerbong,” ujar salah satu pengamat politik di Jakarta. (Kompas.com, 3 November 2025).
Namun, politik Indonesia kerap bekerja seperti pertunjukan wayang: yang terlihat di panggung jarang mencerminkan permainan sesungguhnya. Pergantian logo, nama, dan arah gerakan hanyalah simbol dari sesuatu yang lebih dalam keinginan untuk tetap dekat dengan pusat kekuasaan. Seolah-olah politik bukan lagi arena gagasan, melainkan lomba posisi dalam orbit istana.
Dalam situasi ini, Budi Arie membantah bahwa langkahnya adalah bentuk oportunisme. Ia menyebut, Projo hanya ingin memastikan agar visi kerakyatan tetap berlanjut dalam pemerintahan baru. Tapi pernyataan itu sulit menutupi kesan bahwa organisasi yang dulunya disebut “relawan sejati” kini sedang mencari tempat berlindung di bawah bayang-bayang partai pemenang. (Detik.com, 1 November 2025).
Dulu, Projo dikenal sebagai motor utama di belakang Jokowi. Mereka turun ke jalan, menggelar deklarasi, mengorganisir simpatisan hingga ke pelosok. Tapi kini, organisasi yang dibangun atas dasar loyalitas personal itu tampak kehilangan jangkar ideologis. Pergeseran ini memperlihatkan satu hal: dalam politik kita, loyalitas personal sering kali lebih kuat daripada prinsip.
Fenomena semacam ini bukan hal baru. Setiap kali kekuasaan berganti, barisan relawan sering bertransformasi menjadi kelompok “pendukung pemerintahan berjalan.” Mereka berganti spanduk, menyesuaikan narasi, dan menafsirkan ulang makna “setia.” Seakan-akan politik Indonesia memang hidup dari kemampuan membaca arah angin, bukan dari keyakinan moral atau gagasan.
Namun, ada bahaya di balik kelenturan semacam ini. Ketika relawan berubah menjadi perpanjangan tangan kekuasaan, rakyat kehilangan penyeimbang yang lahir dari bawah. Gerakan sipil kehilangan keaslian moralnya. Mereka bukan lagi jembatan antara rakyat dan penguasa, melainkan bagian dari arsitektur kekuasaan itu sendiri.
Kritik yang muncul dari sebagian publik bukan sekadar sinisme, tapi peringatan agar relawan tidak terjebak dalam siklus transaksional yang mematikan idealisme. Karena dalam sejarah demokrasi, relawan adalah penanda semangat partisipasi warga, bukan alat legitimasi elite. Ketika relawan sibuk berebut posisi di lingkar kekuasaan, makna perjuangan pun menguap menjadi formalitas.
Mungkin benar bahwa politik adalah seni kemungkinan. Namun di Indonesia, seni itu sering kali tampil sebagai seni berpindah tempat bukan seni memperjuangkan gagasan. Maka, ketika loyalitas mulai bergeser arah, bukan hanya peta politik yang berubah, tapi juga arah moral publik yang perlahan pudar.
Apakah pergeseran ini akan membawa manfaat bagi rakyat? Ataukah hanya memperkuat tradisi “selalu di sisi pemenang” yang telah lama membekukan keberanian politik kita? Pertanyaan itu layak direnungkan oleh mereka yang kini sibuk menyiapkan seragam baru di barisan kekuasaan.
Karena dalam politik, kata orang bijak, setia itu bukan pada siapa yang berkuasa, tapi pada apa yang benar. Dan mungkin, bagi sebagian relawan, kebenaran kini terasa lebih mahal daripada kekuasaan.
Dwi Taufan Hidayat

















