Riau, Majalahjakarta.com – Belum genap setahun menjabat, Gubernur Riau Abdul Wahid lebih dulu duduk di ruang pemeriksaan KPK ketimbang di ruang kerja pembangunan. Ironi ini bukan cerita baru, melainkan bab lanjutan dari naskah lama bernama korupsi daerah di mana proyek infrastruktur kerap menjadi panggung antara janji kemajuan dan jebakan komisi.
Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Abdul Wahid pada Senin, 3 November 2025, publik Riau seperti menahan napas. Gubernur yang baru saja dilantik itu diamankan bersama sejumlah pejabat Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Riau. (Antaranews, 3 November 2025)
Wakil Ketua KPK, Fitroh Rohcahyanto, membenarkan bahwa sosok yang ditangkap adalah Gubernur Riau, meski belum merinci jumlah pihak yang diamankan maupun detail kasusnya. Dugaan awal, penangkapan berkaitan dengan praktik suap dalam proyek infrastruktur di lingkungan PUPR. (Detiknews, 3 November 2025)
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam hitungan jam, nama Abdul Wahid menjadi headline nasional. Ia, politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), baru memimpin Riau untuk periode 2025–2030, namun sudah masuk radar antikorupsi. (Metrotvnews, 3 November 2025) Ironinya, ia dulu berjanji akan “membangun Riau tanpa celah korupsi.” Kini, janji itu seperti aspal baru yang cepat retak diterpa hujan pertama.
Pemprov Riau buru-buru bereaksi. Mereka menyebut bahwa Abdul Wahid “hanya dimintai keterangan” dan bukan tersangka OTT. (Detiknews, 3 November 2025) Namun, publik sudah keburu pesimis. Di Riau, OTT terhadap pejabat bukan kabar asing. Dalam dua dekade terakhir, lebih dari tiga kepala daerah di provinsi itu pernah terjerat kasus serupa. Seolah, kekuasaan di bumi Lancang Kuning memiliki magnet yang sama kuatnya dengan godaan proyek.
Proyek yang Tak Pernah Netral
PUPR selalu menjadi dinas “paling seksi” di setiap pemerintahan daerah. Dari jalan, jembatan, drainase, hingga gedung pemerintahan semuanya berputar dalam nilai triliunan rupiah. Dan di balik setiap tender, ada peluang untuk permainan angka, kolusi vendor, hingga “uang pelicin”. Kasus Riau kali ini hanya memperlihatkan satu sisi dari gunung es.
Dalam banyak kasus serupa, sistem pengawasan daerah seolah hanya formalitas. Pengadaan barang dan jasa yang seharusnya transparan masih dibayangi praktik kongkalikong antara pejabat dan kontraktor. Ketika publik menuntut akuntabilitas, yang mereka terima justru laporan “sudah sesuai prosedur.” Dan seperti biasa, prosedur adalah topeng terbaik dari penyimpangan.
Seorang warga Pekanbaru, Rahmad (42), hanya bisa tertawa getir. “Kami cuma ingin jalan kampung nggak rusak lagi,” ujarnya di pinggir Jalan Siak. “Kalau gubernur ditangkap lagi, berarti aspalnya belum kering, tapi uangnya sudah lari.”
Korupsi yang Terencana, Bukan Tersandung
OTT terhadap Abdul Wahid seolah mengulang naskah lama: pejabat baru, proyek besar, dan sistem lama yang tetap dibiarkan hidup. Banyak kepala daerah merasa mereka datang membawa semangat perubahan, tapi sistem birokrasi di bawahnya sudah terlalu terbiasa dengan ritme lama ritme yang menari di atas irama anggaran.
Kita sering mendengar istilah “tersandung kasus korupsi”. Padahal, sebagian besar kasus bukan karena tersandung, melainkan karena direncanakan. Proyek disusun sedemikian rupa agar keuntungan pribadi bisa disisipkan dalam bentuk fee, mark-up, atau persekongkolan. Maka yang salah bukan hanya individunya, tetapi sistem yang memungkinkan korupsi menjadi rutinitas birokrasi.
Masalahnya, korupsi di level daerah kini bukan sekadar soal moral, melainkan soal desain kekuasaan. Ketika desentralisasi memberi kewenangan besar, tapi tidak dibarengi sistem kontrol yang kuat, maka godaan mengatur proyek sesuai kepentingan pribadi menjadi terlalu mudah. Seperti memberi kunci brankas kepada orang yang baru belajar menahan diri.
Sirkus yang Tak Pernah Usai
KPK punya waktu 1×24 jam untuk menentukan status hukum Abdul Wahid dan pihak lain yang diamankan. (Antaranews, 3 November 2025) Namun, publik sudah terbiasa dengan skenario ini: penangkapan mendadak, konferensi pers meriah, kemudian hilang perlahan di antara kasus lain yang lebih sensasional. OTT pun kehilangan efek gentarnya, berubah jadi tontonan sirkus yang terulang di panggung berbeda.
Media pun sering memosisikan kasus korupsi sebagai drama, bukan tragedi sosial. Padahal, yang sesungguhnya jadi korban bukan lembaga atau partai, melainkan rakyat yang jalannya rusak, sekolahnya reyot, dan jembatannya putus.
Korupsi di proyek infrastruktur bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi pencurian masa depan publik. Setiap rupiah yang raib adalah batu yang tak pernah diletakkan di jalan rakyat. Dan setiap pejabat yang ditangkap hanyalah pengganti dari pejabat sebelumnya yang gagal mengelola amanah.
Harapan yang Perlu Diperbaiki, Bukan Diganti
Kasus Abdul Wahid seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki, bukan sekadar mengganti wajah. Pemerintah daerah perlu menata ulang sistem tender proyek, memperkuat pengawasan publik, dan membuka ruang partisipasi warga dalam setiap tahap pembangunan. Transparansi bukan pilihan, tapi prasyarat moral agar pembangunan tidak terus dikerjakan di atas pondasi rapuh.
Integritas seorang pemimpin tak cukup diukur dari seberapa keras ia berbicara soal antikorupsi, melainkan dari seberapa transparan ia mengelola uang rakyat. Sebab dalam dunia birokrasi yang keruh, pemimpin yang jujur bukan yang paling pandai bicara bersih, tapi yang berani membuka jendela anggarannya.
Korupsi di Riau adalah pengingat pahit bahwa pembangunan tanpa integritas hanya akan menghasilkan lubang di jalan, di moral, dan di kepercayaan publik. Jika pembangunan masih dipahami sebagai peluang memperkaya diri, maka rakyat akan terus menjadi penonton di pinggir jalan yang berlubang, menatap mobil dinas lewat dengan ban baru hasil proyek lama.
Mungkin sudah saatnya, sebelum aspal dihamparkan, hati para pejabat lebih dulu diperbaiki. Karena jika mentalnya tetap licin, maka jalan sebaik apa pun hanya akan mengantarkan kita kembali ke tempat yang sama: di pusaran korupsi yang tak pernah selesai.
Dwi Taufan Hidayat

















