Pantai Publik Milik Negara

- Penulis

Senin, 3 November 2025 - 19:15

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

Jakarta, Majalahjakarta.com – Kawasan pantai di Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara – yang dikenal sebagai bagian dari Taman Impian Jaya Ancol – selama ini diklaim sebagai simbol kebanggaan Ibu Kota. Namun di balik kemewahan taman hiburan, hotel, dan gedung megah yang berjejer di tepi laut, tersimpan ironi hukum dan sosial yang mendalam.
Pantai yang seharusnya menjadi ruang publik milik rakyat telah berubah menjadi komoditas ekonomi yang dijaga pagar dan tiket masuk.

Negara yang Menjual Akses Laut
Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal (PPNT) Jakarta menilai, persoalan Ancol bukan sekadar urusan tata kelola pariwisata, melainkan masalah konstitusional: pelanggaran terhadap hak rakyat atas ruang hidup dan akses publik.

Dalam perspektif hukum publik, pantai adalah tanah milik negara yang tidak boleh diprivatisasi. Konstitusi, melalui Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dengan tegas menyatakan bahwa “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Namun kenyataan di lapangan justru terbalik. Negara tampak lebih sibuk menjadi “broker legal” ketimbang penjaga kepentingan publik. Pemerintah memberikan izin pengelolaan pantai kepada PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk, badan usaha yang berorientasi laba. Dalam praktiknya, akses publik dipersempit, dan laut dijual dalam bentuk karcis rekreasi.

Padahal, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo. UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara eksplisit menjamin hak akses publik terhadap pantai serta melarang pemberian izin lokasi di kawasan pantai umum, alur laut, dan pelabuhan. Artinya, penutupan akses ke pantai publik seperti Ancol sejatinya bertentangan dengan hukum publik dan semangat keadilan sosial.

Sempadan Pantai dan Pelanggaran Regulasi
Kejanggalan pengelolaan Ancol kian jelas ketika ditinjau dari aspek tata ruang. Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 menegaskan bahwa pemerintah daerah wajib menetapkan sempadan pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat sebagai area publik yang tidak boleh digunakan untuk bangunan komersial.

Namun faktanya, kawasan pantai di Ancol dikelola sepenuhnya untuk kepentingan bisnis: hotel, wahana permainan, pusat belanja, hingga properti premium. Tidak ada batas sempadan yang berfungsi sebagai zona publik terbuka sebagaimana diamanatkan regulasi.
Negara absen, dan hukum publik didegradasi menjadi formalitas administratif yang tak berdaya di hadapan modal besar.

Data dan Fakta: Laut yang Tertutup
Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP, 2023), sekitar 42 persen wilayah pesisir di Indonesia telah mengalami pembatasan akses publik akibat proyek wisata, reklamasi, dan pengembangan properti eksklusif. Ancol hanyalah salah satu wajah paling kentara dari fenomena ini.

Sejak 2022, sejumlah lembaga masyarakat dan pegiat hukum lingkungan melayangkan gugatan publik untuk mengembalikan Pantai Ancol sebagai area publik tanpa biaya masuk. Gugatan ini menegaskan satu hal: rakyat menolak laut dijadikan barang dagangan. Mereka menuntut kembalinya hak konstitusional yang telah diambil dengan legalitas korporasi.

Penggusuran Konstitusional
PPNT Jakarta menilai bahwa privatisasi pantai merupakan bentuk penggusuran konstitusional – di mana hak rakyat dihapus secara sah oleh regulasi yang berpihak pada modal.
Negara, yang seharusnya berperan sebagai pengatur dan pelindung, justru menjadi pelayan kepentingan bisnis. Pemerintah daerah terjebak dalam logika investasi, melupakan bahwa laut bukan sekadar sumber pendapatan daerah, tetapi ruang sosial, ekologis, dan budaya rakyat pesisir.

Fenomena ini juga menunjukkan defisit moral dalam kebijakan publik. Pembangunan yang mengabaikan akses rakyat adalah bentuk pengingkaran terhadap sila kelima Pancasila: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Konflik antara Hukum dan Korporasi
Jika ditinjau dari teori hukum publik dan pengelolaan sumber daya alam (SDAs), praktik di Ancol menimbulkan konflik antara Hak Menguasai Negara (HMN) dan Hak Guna Usaha Komersial (HGUK.
HMN menempatkan negara sebagai pengemban mandat rakyat untuk mengatur, melindungi, dan menjamin pemanfaatan sumber daya bagi kemakmuran bersama.
Namun, melalui perizinan dan pengelolaan oleh korporasi, HMN justru disubkontrakkan menjadi HGUK-mengubah mandat publik menjadi kontrak bisnis.

Ini adalah bentuk komersialisasi mandat konstitusional, di mana hukum publik dikalahkan oleh kepentingan pasar. Dalam pandangan akademik hukum lingkungan, kondisi ini mengindikasikan distorsi fungsi negara sebagai penjaga akses publik (public trustee).

Implikasi Hukum: Pungutan dan Privatisasi Pantai Ancol
Meminta rakyat membayar untuk “menghirup udara pantai” bukan sekadar soal tarif – itu soal martabat konstitusional. Ketika akses ke pantai dipatok oleh loket dan pagar, kita tidak lagi berbicara soal pengelolaan pariwisata, melainkan soal penghapusan hak publik yang dijamin hukum. Implikasi hukumnya nyata, berlapis, dan harus segera direspons melalui strategi hukum dan politik publik yang terukur.

Baca Juga:  Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria

1. Kerangka hukum publik yang tak bisa ditawar
Secara normatif, tiga pilar hukum publik memposisikan pantai sebagai ruang publik yang harus dijaga:
UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) – bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 – mengatur pengelolaan wilayah pesisir; menegaskan hak akses publik dan pembatasan pemberian izin di alur laut, pelabuhan, dan pantai umum;
Perpres No. 51 Tahun 2016 – mewajibkan penetapan sempadan pantai (minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi) sebagai zona publik yang fungsi pembangunannya sangat dibatasi.

Dari ketiga pilar itu jelas: hak akses publik terhadap pantai adalah prinsip hukum publik, dan tidak dapat diobral oleh kontrak komersial semata.

2. Pungutan biaya masuk: Problema hukum dan praktik pembenaran
Secara praktik, operator kawasan wisata (mis. PT Pembangunan Jaya Ancol) dapat mengenakan biaya untuk fasilitas komersial (wahana, parkir, layanan tambahan). Tetapi ada perbedaan hukum yang krusial:
Dilarang: Penutupan atau penghalangan akses pantai publik di luar area komersial yang jelas, sehingga masyarakat tidak bisa mengakses garis pantai tanpa membeli tiket.

Dapat dibenarkan (dengan catatan): Pengenaan biaya untuk fasilitas dan area komersial yang memang berada di dalam kawasan-selama akses dasar ke pantai tetap terjamin dan ada pemisahan yang jelas antara “akses publik” dan “fasilitas berbayar”.

Jika pungutan diposisikan sebagai “karcis masuk ke pantai” yang menutup akses publik, itu berpotensi melanggar UU pengelolaan wilayah pesisir dan asas konstitusional.

3. Implikasi legal praktis – apa saja yang melanggar dan konsekuensinya?
1. Pelanggaran hak akses publik – potensi gugatan perdata atau public interest litigation untuk menuntut pembatalan klausul/izin yang menutup akses.
2. Pelanggaran tata ruang dan sempadan pantai (Perpres 51/2016) – dasar administratif untuk pembatalan izin, sanksi administratif, atau rekonstruksi fungsi ruang oleh pemerintah daerah.
3. Kesalahan prosedural dalam pemberian izin – dapat menjadi objek judicial review di pengadilan tata usaha negara (PTUN) apabila izin diterbitkan tanpa prosedur yang benar atau melanggar ketentuan substantif.
4. Akuntabilitas publik dan transparansi – potensi pemeriksaan oleh Ombudsman atas maladministrasi atau tuntutan audit kontrak pengelolaan dan penerimaan negara daerah.
5. Kerugian sosial-ekologis – dasar untuk advokasi normatif (SDGs, hak atas lingkungan hidup), bukan hanya tuntutan kompensasi finansial.

4. Strategi hukum & advokasi praktis (rekomendasi untuk PPNT dan publik)
Berikut langkah konkret yang sesuai dengan perhatian hukum publik:
1. Konsolidasi bukti
Kumpulkan peta sempadan, salinan izin, perjanjian pengelolaan, foto lokasi (pagar/karcis), bukti praktik penutupan akses, kesaksian nelayan/warga.
2. Audit hukum administratif
Minta pemeriksaan formal terhadap dasar perizinan (apakah ada pelanggaran tata ruang, prosedur, atau substansi yang melanggar Perpres/UU).
3. Gugatan strategis
Ajukan gugatan administratif ke PTUN terhadap izin yang menutup akses publik; pertimbangkan gugatan perdata atau class action atas pelanggaran hak publik.
4. Pengaduan ke lembaga pengawas
Lapor ke Ombudsman (maladministrasi), Kementerian/Lembaga terkait (mis. KKP, Dinas Kelautan dan Perikanan/ Dinas Tata Ruang), serta minta audit BPK daerah jika ada indikasi penerimaan negara daerah yang tidak sesuai.
5. Kampanye publik terstruktur
Gabungkan litigasi dengan kampanye informasi: peta publik, petisi, media investigasi, aksi damai terukur untuk menekan legitimasi politik pengelolaan eksklusif.
6. Usulan kebijakan korektif
Dorong DPRD/ Pemerintah Daerah menetapkan kembali sempadan pantai dan kebijakan akses publik; tuntut revisi kontrak pengelolaan yang memaksa akses gratis ke garis pantai.
7. Aliansi hukum-ilmiah
Libatkan akademisi hukum lingkungan, ahli tata ruang, dan organisasi masyarakat sipil untuk membuat expert opinion yang kuat sebagai alat bukti di pengadilan dan opini publik.

5. Penutup retoris – seruan konstitusional
Hak atas pantai bukan subsidi moral: ia adalah amanat konstitusi. Mengubah garis pantai menjadi gerbang berbayar berarti mengubah konstitusi menjadi komoditas. PPNT dan publik tidak hanya boleh memprotes; mereka berhak menuntut penegakan hukum. Jika negara memang dikuasai oleh hukum, maka hukum harus bekerja untuk rakyat – bukan untuk karcis.

Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal (PPNT) Jakarta
Arthur Noija SH

Berita Terkait

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia
Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”
Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara
Pertumbuhan 5 Persen, Tapi Siapa yang Untung?
Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda
Marak Debitur Dijerat Pasal Penggelapan Objek Fidusia, Pakar Hukum: “Jangan Campur Urusan Perdata dengan Pidana”
Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria
UIN Jakarta Kucurkan Rp2,85 Miliar Beasiswa untuk Dosen dan Tendik: Dorong Kualitas SDM dan Layanan Kampus
Berita ini 68 kali dibaca
4 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Berita Terkait

Rabu, 5 November 2025 - 19:03

Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”

Rabu, 5 November 2025 - 17:56

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Selasa, 4 November 2025 - 16:56

Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria

Selasa, 4 November 2025 - 16:11

Apel Pagi di Lapas Banda Aceh: Momentum Disiplin dan Apresiasi Pegawai Teladan

Selasa, 4 November 2025 - 15:54

Jakarta Jadi Kota Kedua Terbanyak Pembeli Jersey Persib

Selasa, 4 November 2025 - 12:10

Status DKI Berubah Menjadi DKJ Arah Kebijakan Hukum Publik Jakarta Utara

Selasa, 4 November 2025 - 11:32

Kebijakan Pelabuhan Dimata Hukum DKJ Di Jakarta Utara

Selasa, 4 November 2025 - 10:53

Politik Hukum Dalam Regulasi Kebijakan Dimata Hukum Publik

Berita Terbaru

Berita

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 Nov 2025 - 19:27

Berita

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 Nov 2025 - 17:56

Berita

Pertumbuhan 5 Persen, Tapi Siapa yang Untung?

Rabu, 5 Nov 2025 - 17:41

Kebangsaan

Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda

Rabu, 5 Nov 2025 - 17:24

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x