Cerpen : Ijazah, Balas Dendam, dan Mulut yang Terlalu Lincah

- Penulis

Minggu, 2 November 2025 - 10:06

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

Jakarta, Majalahjakarta.com – Di layar ponselnya yang retak, Mul menatap seorang pejabat tersenyum sambil mengangkat selembar ijazah di hadapan kamera. Disuruh tunjukkan ke publik, tapi malah ditunjukkan ke pendukung sendiri. Mul hanya bisa geleng kepala, menyeruput kopi panas yang mulai dingin. “Oalah, mul, mul…” katanya pelan, entah untuk si pejabat atau untuk dirinya sendiri.

Warung kopi di pinggir jalan kampung itu selalu ramai setiap pagi. Dari nelayan sampai guru honorer, semua suka nongkrong di situ. Mul, pemilik warung, hafal betul jenis pelanggan: ada yang datang karena butuh kopi, ada yang datang karena butuh berita.

Pagi itu, berita datang lebih dulu daripada pelanggan. Di layar televisi kecil yang digantung di atas etalase, wajah seorang pejabat muncul. Ia tersenyum lebar sambil memamerkan ijazahnya. Wartawan berkerumun, mikrofon bertumpuk seperti jarum mengarah ke satu wajah.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Bukti otentik sudah saya tunjukkan,” kata pejabat itu.
Mul terkekeh, bibirnya nyaris menyentuh ujung cangkir. “Lha itu nunjukinnya ke balane dewek,” gumamnya.

Beberapa pelanggan ikut tertawa. Di warung itu, berita sering kali berubah jadi bahan bercanda. Tapi kali ini tawa terasa hambar. Ada getir yang ikut menguap bersama aroma kopi.

Mul tak pernah suka bicara politik. Ia lebih suka mengamati. Dulu, ayahnya bilang, “Kalau mulutmu bicara lebih cepat dari pikiranmu, nasibmu bisa berlari tanpa arah.” Tapi sejak dunia dipegang ponsel, semua orang seolah punya panggung sendiri. Dan Mul, yang tadinya diam, ikut-ikutan berkomentar di dunia maya.

Siang itu, postingan singkatnya viral:
“Disuruh nunjukin ijazah ke publik, malah nunjukin ke balane dewek. Oalah, mul, mul…”

Dalam semalam, warungnya jadi bahan pembicaraan. Ada yang memuji keberaniannya, ada yang menuduhnya cari perhatian. Beberapa hari kemudian, seorang pria berdasi datang dengan mobil hitam. “Bapak Mul?” katanya sopan. “Kami dari kantor humas. Pejabat ingin bertemu, membicarakan unggahan Anda.”

Mul mendadak gugup. Bukan karena takut, tapi karena ia tak menyangka suaranya didengar. Ia menatap sandal jepitnya yang sudah menipis. “Ngomong beneran?”
“Bener, Pak. Pejabat ingin berdialog langsung.”

Keesokan harinya, Mul diundang ke kantor kabupaten. Ia datang dengan kemeja kotak-kotak yang baru disetrika istrinya. Sepanjang jalan, pikirannya berkecamuk: apakah pejabat itu ingin marah, atau justru tertawa?

Di ruang berpendingin udara, pejabat itu berdiri di balik meja lebar. Wajahnya sama dengan yang di televisi. Mul menunduk sopan, tapi di dalam dirinya ada gelombang kecil antara malu dan lucu.

“Pak Mul, saya sudah baca komentar Anda,” kata pejabat itu dengan nada tenang.
“Maaf, Pak. Saya cuma bercanda.”
“Tidak apa. Saya senang rakyat berani bicara. Tapi tahu tidak, Pak Mul, ijazah ini sudah saya tunjukkan pada yang berwenang.”

Baca Juga:  Sarapan Minggu Santai di Aston Sidoarjo Diserbu Peserta Berkostum Pink: Rayakan Hidup dan Cegah Kanker Payudara

Pejabat itu membuka map, menunjukkan selembar kertas. Huruf-hurufnya rapi, tanda tangan di bawahnya tampak tegas. Mul menatap lama, lalu berkata pelan, “Kalau Bapak yakin, kertas itu cukup bicara sendiri.”

Pejabat itu tersenyum tipis. “Begitu ya, Pak Mul. Tapi dunia sekarang tidak sesederhana itu. Kalau kita diam, dibilang salah. Kalau kita bicara, dibilang sombong.”
Mul mengangguk. “Sama saja, Pak. Di warung saya juga begitu. Kalau kopinya pahit, dibilang pelit gula. Kalau manis, dibilang mau ngasih diabetes.”

Keduanya tertawa, tapi tawa itu tak benar-benar lepas. Di udara ada sisa rasa saling menilai yang belum tuntas.

Beberapa hari kemudian, media menulis tentang pertemuan itu. Judulnya berbunyi, Pejabat dan Pemilik Warung Berdamai dalam Secangkir Kopi. Foto mereka berdua terpampang di laman berita. Mul jadi terkenal, tapi juga jadi bahan gosip. Ada yang bilang ia dibayar, ada yang bilang ia menyesal.

Namun malam itu, saat semua orang sibuk menebak, Mul duduk sendirian di beranda rumah. Di pangkuannya tergeletak map cokelat berisi dokumen. Ia membuka pelan, mengelus selembar kertas di dalamnya. Sebuah ijazah sekolah menengah. Di pojok bawah tertulis tanda tangan kepala sekolah yang tak pernah sempat ia temui lagi.

Mul menatap kosong ke langit. “Dunia ini aneh,” gumamnya. “Yang punya ijazah dituduh bohong, yang nggak punya malah berani menuduh.” Ia tertawa kecil, tapi matanya basah.

Pagi harinya, ia menutup warung lebih cepat dari biasanya. Di papan kayu, ia menulis: Warung tutup sementara. Pemilik sedang belajar lagi.

Beberapa pelanggan datang, membaca, lalu tersenyum. Mereka pikir Mul sedang bercanda lagi. Tak ada yang tahu, sore itu Mul benar-benar mendaftar ke sekolah kejar paket C.

Di ruang kelas sederhana, ia duduk di bangku paling belakang, menulis dengan tangan gemetar. Huruf-hurufnya miring, tinta kadang meleber. Tapi di dadanya, ada sesuatu yang terasa ringan. Ia menulis nama lengkapnya di sudut kertas ujian. Nama yang dulu hanya ia sebut ketika melawak di warung.

Malamnya, ia memandangi televisi kecil di dapur. Pejabat yang sama sedang diwawancarai. “Kita perlu membangun budaya literasi, bukan hanya ijazah,” katanya.
Mul tersenyum, lalu mematikan televisi. Ia tak ingin menonton lebih lama.

Esok harinya, media lokal menulis berita pendek di pojok bawah halaman:
“Seorang pemilik warung kopi ditemukan meninggal dunia di rumahnya, setelah menulis sepucuk surat dan menyimpan selembar formulir pendaftaran sekolah.”

Surat itu singkat. Hanya ada dua kalimat.
“Saya ingin benar-benar punya ijazah. Biar kalau nanti ditanya, saya bisa nunjukin bukan ke balane dewek, tapi ke diri saya sendiri.”

Dwi Taufan Hidayat

Berita Terkait

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia
Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”
Pertumbuhan 5 Persen, Tapi Siapa yang Untung?
Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda
UIN Jakarta Kucurkan Rp2,85 Miliar Beasiswa untuk Dosen dan Tendik: Dorong Kualitas SDM dan Layanan Kampus
Status DKI Berubah Menjadi DKJ Arah Kebijakan Hukum Publik Jakarta Utara
Kebijakan Pelabuhan Dimata Hukum DKJ Di Jakarta Utara
Politik Hukum Dalam Regulasi Kebijakan Dimata Hukum Publik
Berita ini 13 kali dibaca
4 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Berita Terkait

Rabu, 5 November 2025 - 19:03

Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”

Rabu, 5 November 2025 - 17:56

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Selasa, 4 November 2025 - 16:56

Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria

Selasa, 4 November 2025 - 16:11

Apel Pagi di Lapas Banda Aceh: Momentum Disiplin dan Apresiasi Pegawai Teladan

Selasa, 4 November 2025 - 15:54

Jakarta Jadi Kota Kedua Terbanyak Pembeli Jersey Persib

Selasa, 4 November 2025 - 12:10

Status DKI Berubah Menjadi DKJ Arah Kebijakan Hukum Publik Jakarta Utara

Selasa, 4 November 2025 - 11:32

Kebijakan Pelabuhan Dimata Hukum DKJ Di Jakarta Utara

Selasa, 4 November 2025 - 10:53

Politik Hukum Dalam Regulasi Kebijakan Dimata Hukum Publik

Berita Terbaru

Berita

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 Nov 2025 - 19:27

Berita

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 Nov 2025 - 17:56

Berita

Pertumbuhan 5 Persen, Tapi Siapa yang Untung?

Rabu, 5 Nov 2025 - 17:41

Kebangsaan

Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda

Rabu, 5 Nov 2025 - 17:24

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x