Surabaya, Majalahjakarta.com – Aktivitas pembelian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi menggunakan jerigen di salah satu Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Kecamatan Camplong, Kabupaten Sampang, Madura, menuai sorotan publik. Praktik ini dinilai menyalahi aturan dan berpotensi menggerus jatah BBM bersubsidi yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat kecil.
Menanggapi temuan tersebut, Aliansi Madura Indonesia (AMI) menggelar aksi demonstrasi di depan kantor Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara, Jalan Jagir Wonokromo, Surabaya, Jumat (31/10). Dalam aksi itu, AMI mendesak Pertamina untuk segera menertibkan SPBU yang melayani pembelian BBM bersubsidi menggunakan jerigen tanpa izin resmi.
Ketua AMI, Baihaki Akbar, SE, SH, menilai praktik tersebut bukan kasus baru, melainkan cerminan lemahnya sistem pengawasan distribusi BBM di tingkat daerah.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kami mendesak Pertamina menindak tegas SPBU nakal di wilayah Madura, khususnya di Camplong. BBM bersubsidi adalah hak rakyat kecil, bukan komoditas untuk diperjualbelikan kembali oleh oknum tertentu,” ujar Baihaki dalam orasinya.
Dari pihak Pertamina, perwakilan perusahaan menyatakan bahwa pembelian BBM bersubsidi menggunakan jerigen tanpa izin merupakan pelanggaran hukum dan pelanggaran Standar Operasional Prosedur (SOP) distribusi energi.
“Jika masyarakat menemukan praktik serupa, kami mendorong agar segera dilaporkan ke aparat kepolisian. Pertamina akan menindak tegas SPBU yang terbukti melanggar aturan,” tegas perwakilan Pertamina di sela aksi.
Kacamata Regulasi: Antara Subsidi dan Penyimpangan
Secara normatif, praktik pembelian dan penyaluran BBM bersubsidi tanpa izin melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, yang telah diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perpu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
Dalam Pasal 55 UU Migas, ditegaskan:
“Setiap orang yang menyalahgunakan pengangkutan dan/atau niaga bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan/atau liquefied petroleum gas yang disubsidi pemerintah, dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling tinggi Rp60 miliar.”
Dengan demikian, pelaku, baik perorangan maupun badan usaha, yang terlibat dalam praktik ilegal ini dapat dijerat sanksi pidana berat, termasuk denda dan pencabutan izin operasional.
Analisis Kebijakan: Celah dalam Tata Kelola Subsidi Energi
Kasus di Camplong menjadi refleksi penting atas tantangan tata kelola energi bersubsidi di tingkat lokal. Pengawasan distribusi BBM bersubsidi masih menghadapi sejumlah kendala:
1. Minimnya sistem digitalisasi pengawasan distribusi BBM, terutama di wilayah terpencil.
2. Ketiadaan basis data penerima manfaat subsidi yang mutakhir, menyebabkan kebocoran dalam rantai distribusi.
3. Koordinasi lemah antarinstansi—antara aparat daerah, Pertamina, dan aparat penegak hukum—yang membuka ruang praktik percaloan dan penimbunan.
Dari perspektif kebijakan publik, lemahnya kontrol lapangan mengindikasikan bahwa mekanisme subsidi energi masih lebih berorientasi pada “barang” ketimbang pada “penerima manfaat”. Padahal, pergeseran paradigma subsidi langsung berbasis data sosial ekonomi (seperti direct transfer atau quota-based system) bisa menjadi solusi lebih berkeadilan dan efisien.
Seruan Reformasi dan Pengawasan Publik
Aliansi Madura Indonesia menegaskan akan terus mengawal kasus ini hingga ada langkah konkret dari Pertamina dan aparat penegak hukum. Mereka berharap penindakan terhadap SPBU nakal dapat menjadi efek jera dan momentum pembenahan distribusi BBM bersubsidi di seluruh wilayah Madura.
Kasus ini bukan sekadar soal jerigen atau SPBU, melainkan cermin dari tata kelola energi nasional yang membutuhkan transparansi, pengawasan digital, dan keberpihakan nyata kepada rakyat kecil.(Redho)

















