Jakarta, Majalahjakarta.com – Suasana penuh syukur, merayakan Dies Natalis ke-67 Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia. Usia 67 tahun bukan sekadar angka. la adalah simbol perjalanan panjang, dedikasi, dan perjuangan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia dalam membentuk insaninsan hukum yang beriman, berilmu, dan berintegritas sesuai dengan motto dan nilai nilai Universitas Kristen Indonesia. Dalam usia yang matang ini, Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia telah menjadi bagian penting dari sejarah pengembangan ilmu hukum dan penegakan keadilan di negeri ini.
Tepat pada momentum bersejarah ini, kita juga diingatkan akan semangat Sumpah Pemuda, yaitu semangat yang menyatukan tekad, bahasa, dan cita-cita dalam bingkai satu nusa dan satu bangsa, dan secara khusus pada Universitas Kristen Indonesia, yaitu penyatuan Program Studi Hukum Program Sarjana, Program Magister dan Program Doktor di bawah pengelolaan Fakultas Hukum.
Maka, perpaduan tema Sumpah Pemuda dan Dies Natalis Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia bukanlah kebetulan, melainkan sebuah refleksi bahwa perjuangan kebangsaan dan perjuangan akademik sesungguhnya berakar pada semangat yang sama: semangat pengabdian dan persatuan demi kebaikan bangsa dan Negara Indonesia. Perjalanan ketatanegaraan Indonesia tidak pernah berhenti pada titik tertentu. Ia senantiasa bergerak, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, namun tetap berakar pada nilai-nilai dasar yang digariskan oleh para pendiri bangsa.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Amandemen UUD 1945 yang dilakukan antara tahun 1999 hingga tahun 2002 merupakan tonggak penting dalam sejarah konstitusional kita. Amandemen itu membawa perubahan mendasar terhadap struktur kekuasaan negara, memperkuat prinsip checks and balances, serta menegaskan komitmen terhadap demokrasi konstitusional.
Namun demikian, dua dekade pasca-amandemen, kita menyaksikan dinamika baru yang tidak selalu sejalan dengan Cita-cita reformasi. Demokrasi kita masih menghadapi problematika serius: mulai dari degradasi etika politik, lemahnya budaya hukum, hingga menguatnya oligarki ekonomipolitik.
Oleh karena itu, tema Dies Natalis ke-67 Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia tahun ini mengajak kita untuk merenungkan bagaimana semangat Sumpah Pemuda dapat menjadi inspirasi moral dalam proses konsolidasi demokrasi dan konstitusi Indonesia pasca amandemen.
Reformasi politik Indonesia sejak tahun 1998 menandai fase penting dalam perjalanan demokratisasi nasional. Runtuhnya rezim otoritarian Orde Baru membuka jalan bagi munculnya sistem politik yang lebih terbuka, partisipatif, dan berkeadilan. Namun, setelah lebih dari dua dekade reformasi, pertanyaan mendasar muncul: apakah demokrasi Indonesia telah terkonsolidasi dengan baik, atau justru masih berjuang di antara idealisme dan realitas politik praktis? Secara teoritis, konsolidasi demokrasi mengacu pada proses mengokohkan nilai, institusi, dan perilaku politik demokratis agar menjadi norma yang mapan dan stabil dalam kehidupan bernegara. Dalam konteks idealisme, demokrasi diharapkan melahirkan pemerintahan yang transparan, akuntabel, menjunjung hak asasi manusia, serta memberikan ruang partisipasi publik secara luas.
Dalam praktiknya, konsolidasi demokrasi di Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Sistem multi partai seringkali melahirkan koalisi pragmatis, bukan berbasis ideologi, sehingga memicu politik transaksional. Fenomena money politics, oligarki partai, dan lemahnya kaderisasi politik menurunkan kualitas representasi rakyat di parlemen (Aspinall & Mietzner, 2010).
Munculnya gejala demokrasi elektoral – dimana demokrasi hanya diukur dari keberlangsungan pemilihan umum – membuat esensi partisipasi publik dan penegakan hukum sering terabaikan. Larry Diamond (2008) menyebut kondisi seperti ini sebagai “hollow democracy” atau demokrasi yang kosong substansi, karena nilainilai keadilan dan kejujuran belum menjadi roh utama praktik politik. Di sisi lain, media sosial memperluas ruang partisipasi publik, tetapi juga memunculkan disinformasi, politik identitas, dan polarisasi sosial yang tajam. Akibatnya demokrasi mudah terjebak dalam konflik emosional yang justru melemahkan rasionalitas publik dan memperlambat proses konsolidasi politik. Konsolidasi demokrasi membutuhkan komitmen elite politik, pendidikan politik warga negara yang kuat, dan institusi penegak hukum yang independen. Demokrasi tidak cukup hanya dijaga melalui pemilihan umum lima tahunan, tetapi juga melalui pembiasaan budaya politik yang etis dan dialogis.
Demokrasi tidak akan matang secara otomatis, tetapi harus terus diperjuangkan melalui kesadaran, pendidikan politik, dan keteguhan moral para penyelenggara negara.
Namun demokrasi bukan sekadar prosedur elektoral: ia juga memerlukan substansi moral, etika publik, dan kesadaran hukum. Dalam konteks Indonesia, pasca-amandemen, sistem demokrasi memang berhasil mengubah wajah politik secara formal.
Namun secara substantif, demokrasi kita sering tersandera oleh praktik transaksional, politik uang, dan lemahnya partisipasi rasional masyarakat. Mahfud MD (2011) mengingatkan bahwa demokrasi Indonesia cenderung menjadi “demokrasi prosedural”, bukan “demokrasi substantif”.
Kita terlalu sibuk mengatur tata cara, tetapi abai terhadap substansi nilai. Konsolidasi demokrasi sejati menuntut adanya rule of law yang kokoh, kebebasan yang bertanggung jawab, serta lembaga hukum yang independen.
Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia, dalam konteks ini, memikul tanggung jawab moral dan akademik untuk melahirkan sarjana hukum, magister hukum dan doktor hukum yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga BERANI (bermutu, mandiri dan inovatif) serta berkarakter konstitusional.
Konsolidasi Konstitusi: Menjaga Roh Ketatanegaraan
Konstitusi adalah jantung dari kehidupan bernegara. Ia bukan sekadar dokumen hukum tertulis, melainkan juga simbol komitmen bersama terhadap nilai-nilai dasar yang mengatur kekuasaan dan kebebasan. Dalam konteks negara demokratis, konsolidasi konstitusi berarti memperkuat pemahaman, kepatuhan, dan pelaksanaan prinsip-prinsip konstitusional secara konsisten, sehingga roh ketatanegaraan tidak hanya hidup di atas kertas, tetapi juga mewujud dalam praktik politik dan hukum sehari-hari.
Sejarah memperlihatkan bahwa keberhasilan suatu sistem politik bergantung pada tingkat internalisasi nilai-nilai konstitusi di kalangan penyelenggara negara dan warga masyarakat. Dengan kata lain, konsolidasi konstitusi menuntut keseimbangan antara teks dan konteks: antara ketentuan normatif dengan budaya politik yang menopangnya. Dalam pengalaman Indonesia, amandemen UUD 1945 pada periode tahun1999 s/d tahun 2002 menjadi tonggak penting dalam membangun sistem konstitusional yang lebih demokratis. Struktur ketatanegaraan berubah signifikan: pemilihan presiden langsung, penguatan peran DPR, pembentukan DPD, dan pendirian Mahkamah Konstitusi (MK).
Namun sebagaimana catatan Jimly Asshiddigie (2006), reformasi konstitusi bukanlah tujuan akhir, melainkan proses panjang menuju constitutional maturity – kedewasaan dalam berkonstitusi yang tercermin dari konsistensi pelaksanaan, bukan hanya perumusan norma.
Konsolidasi konstitusi menghadapi dua tantangan utama. Pertama, tantangan formal-institusional: bagaimana memastikan lembaga-lembaga negara bekerja sesuai prinsip checks and balances serta tidak saling melampaui kewenangan. Dalam hal ini, peran Mahkamah Konstitusi menjadi krusial sebagai penjaga constitutional spirit melalui fungsi pengujian undang-undang dan penyelesaian sengketa kewenangan. Kedua, tantangan kultural dan etis: banyak negara, termasuk Indonesia, masih berhadapan dengan budaya politik yang pragmatis dan personalistik.
Namun, supremasi konstitusi akan kehilangan makna apabila pelaksanaannya tidak disertai kesadaran konstitusional di setiap level kekuasaan. Kita menyaksikan berbagai bentuk pelanggaran konstitusi dalam praktik: mulai dari pelemahan lembaga pengawas, interpretasi pasal secara politis, hingga ketidaktaatan terhadap putusan pengadilan konstitusi.
Pilar Ketatanegaraan dan Tantangan ke Depan
Ketatanegaraan modern berdiri di atas pilar-pilar fundamental yang menjadi kerangka penyelenggaraan kekuasaan negara. Dalam tradisi hukum tata negara, pilar utama itu meliputi kedaulatan rakyat, supremasi konstitusi, pembagian kekuasaan, dan prinsip negara hukum. Pilar-pilar ini bukan hanya struktur hukum, melainkan juga nilai moral dan politik yang menjamin keberlangsungan sistem demokratis dan berkeadilan. Indonesia menegaskan pilar-pilar ketatanegaraan tersebut dalam Pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD 1945: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” serta “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Namun, dalam praktiknya, hubungan antar-lembaga negara kerap diwarnai tarik-menarik kepentingan. Kita memerlukan penguatan pilar-pilar tambahan seperti pers yang bebas, masyarakat sipil yang kritis, dan lembaga pendidikan hukum yang independen. Tanpa itu, demokrasi hanya akan menjadi “ritual lima tahunan” tanpa substansi.
Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia, sebagai bagian institusi pendidikan hukum Kristen tertua di Indonesia, memiliki peran strategis untuk menanamkan etika publik berbasis kasih, keadilan, dan integritas. Melalui riset, pengabdian masyarakat, dan pembentukan karakter, Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia dapat menjadi penjaga moral bagi demokrasi dan konstitusi bangsa dan Negara Indonesia.
Revitalisasi Nilai Konstitusional dalam Tata Kelola Negara Modern
Dalam dinamika global yang cepat berubah, tantangan utama bagi negara modern bukan lagi sekadar membangun sistem pemerintahan yang demokratis, melainkan memastikan bahwa seluruh proses dan kebijakan publik tetap berlandaskan nilainilai konstitusional. Revitalisasi nilai konstitusional berarti menghidupkan kembali semangat dasar konstitusi, yaitu: keadilan, kedaulatan rakyat, supremasi hukum, dan kemanusiaan, agar tidak sekadar menjadi teks normatif, melainkan menjadi pedoman etis dan operasional dalam tata kelola negara. Konstitusi pada hakikatnya adalah kontrak sosial yang mengatur relasi antara negara dan warga negara.
Refleksi dan Harapan
Semangat Sumpah Pemuda harus dihidupkan kembali bukan hanya dalam dimensi kebangsaan, tetapi juga dalam dimensi hukum dan konstitusi. Sumpah Pemuda mengajarkan kita arti persatuan dalam keberagaman, sedangkan konstitusi mengajarkan kita aturan dalam kebebasan.
Dua semangat ini: persatuan dan aturan adalah fondasi yang menjaga agar demokrasi tidak berubah menjadi anarki, dan hukum tidak kehilangan moralitasnya. Maka dari itu, Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia hendaknya terus menjadi menara ilmu dan nurani hukum yang memadukan iman dan rasio, moral dan konstitusi.(“”x)
ORASI ILMIAH Dalam Rangka Dies Natalis ke-67 Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Jakarta, 28 Oktober 2025
Oleh: Dr. Tomson Situmeang, S.H., M.H.
Wakil Dekan Fakultas Hukum UKI

















