Jakarta, Majalahjakarta.com – Kasus dugaan mark up proyek kereta cepat Whoosh telah diselidiki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak awal tahun. Namun hingga akhir Oktober 2025, belum satu pun tersangka diumumkan. Sementara rakyat menunggu kecepatan hukum menyaingi laju kereta, yang tampak justru hanya bunyi roda birokrasi yang berputar di tempat.
“Adapun penyelidikan perkara ini sudah dimulai sejak awal tahun,” kata juru bicara KPK, Budi Prasetyo, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (27 Oktober 2025). Budi menegaskan bahwa penyelidikan terus berjalan, meski enggan menjelaskan temuan awal. “Secara umum tentu tim terus melakukan pencarian, keterangan-keterangan yang dibutuhkan untuk membantu dalam mengungkap perkara ini,” ujarnya.
(Sumber: VOI.id, 27 Oktober 2025)
Kalimat “terus berprogres” itu terdengar sopan di podium, tetapi di telinga publik justru seperti gema tanpa arah. Jika sudah hampir setahun berjalan tanpa satu pun gelar perkara, masyarakat mulai bertanya: progres ke mana?
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Isu dugaan mark up proyek Whoosh awalnya mencuat setelah mantan Menko Polhukam Mahfud MD menilai bahwa penelusuran dana tidak harus menunggu laporan resmi. Ia menegaskan, KPK dapat bergerak atas dasar temuan sendiri. “KPK bisa langsung menggelar perkara bila menemukan bukti awal,” kata Mahfud.
(Sumber: Disway.id, 21 Oktober 2025)
Pernyataan itu menampar keheningan. Apalagi publik sudah lama mendengar desas-desus soal pembengkakan biaya. Jika benar biaya per kilometer di Indonesia mencapai US$52 juta sementara di China hanya sekitar US$17–18 juta, maka lonjakan itu bukan sekadar selisih, tapi jurang.
(Sumber: Gemapos.id, 22 Oktober 2025)
Namun alih-alih segera menelusuri lebih dalam, KPK justru meminta Mahfud MD menyerahkan data dan bukti. Padahal lembaga antirasuah itu punya wewenang untuk menginvestigasi tanpa menunggu laporan dari siapa pun.
(Sumber: Disway.id, 21 Oktober 2025)
Langkah hati-hati tentu bisa dimaklumi. Tapi jika kehati-hatian itu menjelma menjadi kelambanan, maka yang lahir bukan ketelitian, melainkan keraguan. Dalam laporan Kompas.com (25 Oktober 2025) disebutkan, KPK mengaku penyelidikan belum dapat dipublikasikan karena “masih mengumpulkan bukti tambahan”. Kalimat ini nyaris identik dengan banyak kasus lain yang senasib: panjang di awal, senyap di akhir.
(Sumber: Kompas.com, 25 Oktober 2025)
Proyek kereta cepat yang awalnya dirancang sebagai kolaborasi bisnis antarswasta kini berubah arah: setelah tersendat, pembiayaan dialihkan ke APBN. Artinya, setiap warga negara kini ikut menanggung beban utang dan risiko dari proyek yang semula tidak seharusnya membebani rakyat.
(Sumber: CNBC Indonesia, 23 Oktober 2025)
Jika ada potensi penyimpangan dalam proses itu, maka pertanyaan publik sangat wajar: siapa yang bertanggung jawab? Apakah mekanisme pengawasan gagal di tahap awal? Atau justru ada kesengajaan membiarkan masalah mengendap hingga tak lagi relevan untuk diusut?
Di sisi lain, sinisme publik semakin menguat. “Kalau setahun belum diusut, itu namanya bukan penyelidikan, tapi cek ombak,” begitu komentar netizen yang viral di media sosial. Kritik itu mungkin terdengar kasar, tapi di baliknya ada rasa frustrasi: ke mana arah lembaga yang lahir untuk melawan korupsi jika menghadapi proyek bernilai triliunan saja masih menunggu aba-aba?
Tempo mencatat, sejumlah pakar hukum mengingatkan agar KPK lebih terbuka kepada publik. Transparansi bukan berarti membocorkan rahasia penyidikan, melainkan memberikan kepastian bahwa kasus ini memang benar ditangani secara serius. Tanpa itu, kepercayaan publik akan terus menurun.
(Sumber: Tempo.co, 26 Oktober 2025)
Dalam suasana ketidakpastian ini, masyarakat menanti tanda-tanda nyata: pemanggilan saksi, penggeledahan, atau minimal penjelasan periodik mengenai hasil penyelidikan. Sayangnya, yang muncul baru sebatas pernyataan “masih berproses”. Seolah-olah, kata “progres” telah bergeser makna dari “kemajuan” menjadi “penundaan yang berulang”.
Padahal, ketika proyek ini dibanggakan dengan nama “Whoosh”, publik berharap kecepatannya bukan hanya pada rel baja, tetapi juga pada penegakan keadilannya. Karena seberapa cepat pun kereta melaju, jika hukum tertinggal di stasiun, bangsa ini tetap akan sampai paling lambat di tujuan bernama keadilan.
KPK masih punya waktu untuk memulihkan kepercayaan publik: dengan langkah nyata, bukan janji formal. Publik tidak menuntut keajaiban, hanya kejelasan. Sebab bila kejelasan pun tak datang, barangkali “Whoosh” akan tinggal sebagai simbol ironi di mana relnya cepat, tapi kasusnya lambat.
Dwi Taufan Hidayat

















