Jakarta, Majalahjakarta.com – Partai politik seolah hanya menghafal naskah kekuasaan yang sama, dari satu rezim ke rezim berikutnya. Mereka bicara tentang rakyat, tapi tak lagi berbicara dengan rakyat. Pemilu menjadi panggung besar yang dibiayai publik, namun disutradarai oleh segelintir elite. Demokrasi berjalan, tapi jiwa kebangsaannya tersesat di antara kursi-kursi kekuasaan.
Dalam sebuah pengakuan yang terasa seperti satire, Ketua Badan Pemenangan Pemilu PDIP, Bambang “Pacul” Wuryanto, mengatakan bahwa partai politik di Indonesia tidak ubahnya kerajaan kecil yang dikendalikan oleh ketua umumnya. “Yang menentukan itu ketua umum, bukan partai,” ujarnya blak-blakan, tanpa basa-basi. (Kompas, 15 Oktober 2024).
Pernyataan itu seperti menyingkap tirai panggung yang selama ini hanya bisa kita tebak dari kursi penonton: demokrasi kita dijalankan bukan oleh sistem, melainkan oleh figur.
Padahal, dalam teori klasik demokrasi modern, partai politik semestinya menjadi jembatan antara rakyat dan kekuasaan. Namun di Indonesia, jembatan itu sudah lama berubah menjadi tol khusus para elite, lengkap dengan gerbang yang hanya bisa dibuka oleh uang dan loyalitas.
Lembaga Survei Indikator Politik (Tempo.co, 23 Juni 2024) mencatat bahwa 68 persen warga menilai partai politik tidak mewakili kepentingan rakyat. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan tanda bahwa kepercayaan publik telah terjun bebas.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Tak mengherankan jika setiap pemilu terasa seperti menonton ulang film lama: para tokoh sama, dialognya mirip, dan ending-nya selalu bisa ditebak. Demokrasi hanya berganti kostum, tapi tidak pernah mengganti isi naskah. Ketika rakyat diundang ke bilik suara, sesungguhnya mereka hanya membeli tiket masuk ke teater yang naskahnya sudah selesai ditulis oleh para ketua partai jauh sebelum hari pemungutan suara.
Sementara itu, biaya politik kian mencekik. Menurut laporan The Conversation Indonesia (2 Juli 2024), untuk menjadi calon kepala daerah saja dibutuhkan modal politik rata-rata antara Rp30 hingga Rp60 miliar. Uang sebesar itu tak mungkin diperoleh tanpa dukungan patron, konglomerat, atau cukong politik. Maka, ketika seorang pejabat terpilih, hutang pertama yang harus dibayar bukanlah janji kampanye kepada rakyat, melainkan kontrak tak tertulis kepada para pemodalnya.
Inilah akar dari mengapa partai-partai kita tidak pernah sungguh-sungguh memperjuangkan rakyat. Mereka tidak bisa, bahkan jika mau. Struktur kekuasaan mereka telah dikunci oleh biaya, patronase, dan ketundukan pada kepentingan yang lebih besar dari sekadar idealisme.
Seperti diulas Tempo (9 Agustus 2024), banyak keputusan strategis partai diambil di ruang-ruang privat antara ketua umum dan pengusaha besar, bukan dalam rapat kader atau mekanisme internal yang demokratis.
Publik, tentu saja, tidak bodoh. Mereka tahu bahwa partai-partai hanya bersatu ketika membahas kenaikan tunjangan, atau ketika proyek besar negara hendak digarap bersama. Tapi mereka akan terpecah dan saling menyerang jika urusan menyangkut kepentingan rakyat kecil: subsidi, pendidikan gratis, atau reformasi pajak yang adil.
Fenomena ini bukan hanya mencerminkan krisis politik, tapi juga krisis moral: ketika kekuasaan tidak lagi dilihat sebagai amanah, melainkan aset investasi.
Namun, marah saja tidak cukup. Sebab di balik kemuakan itu, masih ada pertanyaan yang tak kalah penting: mengapa rakyat tetap memilih mereka?
Jawabannya, seperti dijelaskan Kompas.id (17 September 2024), terletak pada lemahnya alternatif politik dan rendahnya literasi politik warga. Ketika partai-partai baru lahir dengan idealisme segar, mereka sering kandas di tengah jalan karena sistem pembiayaan politik yang tidak ramah terhadap gerakan berbasis nilai.
Kita bisa menyalahkan elite, tapi sistem yang memungkinkan mereka tumbuh tanpa kontrol publik juga harus ditinjau ulang. Regulasi partai dan pemilu, misalnya, membuka ruang bagi sentralisasi ekstrem di tangan ketua umum. Tak heran, setiap kongres atau musyawarah nasional hanya menjadi ajang aklamasi, bukan ruang adu gagasan. Demokrasi internal hanyalah formalitas.
Sudah saatnya kita bicara tentang reformasi partai politik, bukan sekadar pergantian nama atau lambang. Pembiayaan partai dari APBN seharusnya diikuti mekanisme audit publik yang transparan. Kaderisasi harus dibuka bagi siapa pun yang berprestasi, bukan hanya mereka yang sanggup membeli kursi. Tanpa itu, partai akan tetap menjadi alat segelintir elite, bukan alat perjuangan bangsa.
Beberapa negara telah membuktikan bahwa partai politik bisa dikelola secara sehat. Di Jerman, misalnya, pembiayaan partai diatur secara ketat oleh negara dengan imbal balik laporan keuangan yang terbuka. Di Korea Selatan, partai wajib melaporkan setiap donasi secara daring yang bisa diakses publik. Mengapa Indonesia tidak bisa meniru praktik serupa?
Apakah karena para elite tahu, transparansi berarti kehilangan kuasa?
Krisis kepercayaan ini bukan hanya soal citra, tapi soal masa depan demokrasi itu sendiri. Jika rakyat berhenti percaya, pemilu hanya akan menjadi ritual kosong, sekadar pesta lima tahunan tanpa makna.
Rakyat membeli harapan, tapi yang disajikan hanyalah drama berulang yang aktor dan sutradaranya sama. Seperti teater yang tak pernah selesai, kita menonton politik tanpa akhir.
Namun, ada secercah cahaya di balik kegelapan panggung itu. Muncul komunitas-komunitas warga, jaringan advokasi, dan gerakan sosial yang mulai membangun alternatif politik baru di luar partai. Mereka mungkin kecil, tapi keberanian mereka menandakan bahwa publik belum sepenuhnya menyerah.
Mungkin inilah saatnya rakyat berhenti menjadi penonton, dan mulai menulis naskahnya sendiri.
Demokrasi tanpa kesadaran rakyat hanyalah pesta tanpa makna. Tapi rakyat bukan sekadar penonton; mereka juga bisa menjadi sutradara. Jika partai tak lagi menjadi rumah aspirasi, maka publik berhak membangun rumah politiknya sendiri berbasis nilai, bukan nama besar. Di situlah, mungkin, panggung baru republik ini harus dimulai.
Dwi Taufan Hidayat

















