Jakarta, Majalahjakarta.com – Pembangunan Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) telah menjelma menjadi simbol ambisi, kebanggaan, sekaligus ironi bangsa. Dalam setiap kilometer rel yang berkilau, terselip pertanyaan lama yang belum menemukan stasiunnya: apakah ini benar langkah kemajuan, atau sekadar lomba gengsi yang terlalu mahal dibayar rakyat?
Di atas kertas, proyek ini dimaksudkan untuk menjadi lompatan sejarah transportasi Indonesia. Namun dalam praktiknya, KCJB justru memunculkan perdebatan tentang arah dan makna kemajuan itu sendiri. Biayanya terus membengkak dari estimasi awal sekitar Rp113 triliun, kini menembus Rp145,7 triliun setelah audit internal PT KCIC pada pertengahan 2025 (Sumber: Kompas.com, 15 Mei 2025). Kementerian BUMN menjelaskan kenaikan tersebut disebabkan oleh faktor teknis, perubahan desain, dan lonjakan harga material. Tapi publik membaca hal lain: “bengkak” telah menjadi kata kerja paling akrab dalam kamus pembangunan negeri ini.
China terlibat penuh dalam proyek ini melalui skema business to business (B2B) antara konsorsium Indonesia dan Tiongkok. Pemerintah menegaskan bahwa model ini dipilih agar tidak membebani APBN. Namun publik punya tafsirnya sendiri. Mereka ingat bagaimana Jepang sebelumnya menawarkan kerja sama government to government (G to G) dengan bunga pinjaman rendah dan skema pembayaran yang lebih transparan (Sumber: CNBC Indonesia, 22 Juni 2025). Pilihan Indonesia pada skema B2B dengan China menandai babak baru dalam politik infrastruktur: cepat dieksekusi, tapi tak selalu jelas siapa yang menanggung risikonya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Perbandingan dengan Jepang pun mencuat. Negeri Sakura dikenal rapi dalam perencanaan teknis dan ketat dalam pengawasan, sementara China lebih fleksibel dan gesit mengeksekusi proyek. Namun kecepatan bukan selalu sinonim dengan ketepatan. “Yang cepat belum tentu selamat,” ujar ekonom Faisal Basri dalam forum publik di Jakarta (Sumber: Tempo.co, 18 Mei 2025). Kalimat itu menggema di ruang publik seperti sirene pengingat bahwa pembangunan bukan sekadar soal laju, tapi soal arah.
Kritik masyarakat tidak lahir dari sentimen terhadap negara tertentu, melainkan dari kegelisahan terhadap transparansi. Dalam sistem yang belum sepenuhnya terbuka, proyek besar sering kali menjadi lahan abu-abu. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dalam Laporan Semester I Tahun 2025, mencatat adanya penyimpangan administrasi dan pengawasan keuangan dalam beberapa proyek strategis nasional, termasuk KCJB. BPK menegaskan perlunya audit menyeluruh terhadap kontrak dan struktur biaya agar publik mengetahui siapa menanggung risiko jika proyek gagal bayar (Sumber: Detik.com, 5 Agustus 2025).
Lalu muncul pertanyaan yang lebih filosofis: siapa sebenarnya yang diuntungkan?
KCJB memang memperpendek waktu tempuh Jakarta–Bandung menjadi hanya 40 menit. Namun apakah itu menjawab masalah transportasi massal nasional? Sejumlah akademisi menilai manfaatnya lebih bersifat simbolik ketimbang ekonomis. “Yang naik mungkin pejabat dan pebisnis, bukan masyarakat pekerja,” tulis The Jakarta Post dalam editorialnya (Sumber: The Jakarta Post, 28 Juni 2025).
Tak dapat disangkal, infrastruktur adalah kunci pertumbuhan. Namun bila logika untung-rugi dan prioritas sosial diabaikan, proyek semegah apa pun bisa berubah menjadi monumen pemborosan. Apalagi jika biaya operasional, subsidi tiket, dan kewajiban utang akhirnya jatuh ke pundak negara. Dalam laporan Kontan.co.id (14 Juli 2025), analis menilai beban finansial proyek bisa meningkat signifikan bila tingkat okupansi penumpang tidak mencapai 60 persen dari target.
Perdebatan “China vs Jepang” sesungguhnya hanyalah cermin dari dilema lama Indonesia: memilih efisiensi atau kedaulatan. Jepang dikenal disiplin dalam transfer teknologi dan menjaga kualitas, tapi prosesnya panjang dan penuh syarat. China datang membawa janji manis: cepat, murah, fleksibel. Dan di negeri yang gemar hal-hal instan, tawaran “cepat jadi” selalu tampak menggoda. Namun di balik kecepatan itu, ada pertanyaan yang lebih substansial: apakah bangsa ini masih memegang kendali atas arah laju pembangunan?
Sayangnya, publik jarang diajak membaca naskah akademis atau studi kelayakan. Bahkan DPR mengakui belum semua dokumen proyek dapat diakses publik, padahal nilainya sangat besar (Sumber: Kompas.com, 9 Juni 2025). Di titik inilah transparansi terasa seperti kemewahan sesuatu yang justru langka di proyek yang diklaim “untuk rakyat”.
Ironinya, ketika kritik muncul, label “anti-pembangunan” segera disematkan. Padahal rakyat hanya ingin diajak berpikir: apakah urgensi KCJB setara dengan biayanya? Apakah tidak ada moda transportasi lain yang lebih menyentuh kebutuhan masyarakat kecil? Sinisme publik lahir bukan dari kebencian, tapi dari kelelahan menyaksikan bagaimana suara akal sehat sering terseret oleh deru mesin politik.
Di media sosial, sindiran seperti “Yang busuk bukan keretanya, tapi mental order-nya” menjadi bentuk humor gelap humor yang lahir dari rasa jengah terhadap kebijakan publik yang lebih mirip transaksi politik ketimbang keputusan teknokratis. Namun di balik tawa itu, tersimpan keresahan: jangan sampai bangsa ini membeli gengsi dengan harga kedaulatan.
Meski demikian, tidak semua sisi KCJB gelap. Proyek ini menciptakan lebih dari 13 ribu lapangan kerja langsung dan memicu pengembangan kawasan baru seperti Walini dan Tegalluar. Pemerintah menilai efek bergandanya signifikan terhadap ekonomi lokal (Sumber: Tempo.co, 3 Oktober 2025). Namun keberhasilan ekonomi tak seharusnya menjadi tirai penutup bagi pertanyaan etika dan transparansi. Kemajuan yang tidak diawasi dengan nurani hanya akan berlari tanpa arah.
Akhirnya, kereta cepat menjadi metafora bagi perjalanan bangsa ini: kita ingin sampai cepat ke tujuan, tapi sering lupa memeriksa peta. Jepang mungkin lebih pelan, tapi berhati-hati di tikungan. China mungkin lebih cepat, tapi apakah remnya cukup kuat? Semua kembali pada siapa yang memegang kemudi, bukan pada siapa yang membuat relnya.
Sebab yang menentukan bukan seberapa cepat rel dibangun, tetapi ke mana ia mengantarkan bangsa ini. Dan bila rel itu diletakkan di atas kepentingan yang miring, maka kereta apa pun cepat atau lambat pada akhirnya akan tergelincir dari nalar publik. (Dwi TH)

















