Jakarta, Majalahjakarta.com – Dalam tatanan ekonomi modern, mata uang bukan sekadar alat tukar, melainkan simbol kedaulatan dan kepercayaan negara. Rupiah, sebagai satu-satunya alat pembayaran sah di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), memiliki fungsi strategis: menjaga stabilitas ekonomi sekaligus menjadi representasi legitimasi pemerintah dalam mengatur sistem moneter nasional. Karena itu, setiap tindakan pemalsuan terhadap mata uang bukan hanya melukai hukum pidana, tetapi juga mengguncang fondasi kepercayaan publik terhadap negara.
Pertanyaan yang kerap muncul dalam konteks hukum pidana adalah:
“Pemalsuan mata uang melanggar pasal berapa?”
dan
“Benarkah pelaku pemalsuan uang dan uang kertas dapat dijerat dengan Pasal 244 dan Pasal 245 KUHP?”
Jawabannya: benar.
Kedua pasal tersebut secara eksplisit menjerat pelaku pemalsuan mata uang dan uang kertas dengan ancaman pidana berat.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Bunyi Pasal 244 KUHP:
Barang siapa meniru atau memalsu mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau Bank, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan mata uang atau uang kertas itu sebagai asli dan tidak dipalsu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Sementara Pasal 245 KUHP menegaskan sanksi bagi mereka yang dengan sengaja mengedarkan, menyimpan, atau menerima mata uang palsu seolah-olah asli, dengan ancaman pidana hingga lima belas tahun penjara pula.
Kedua pasal ini menunjukkan pandangan tegas negara terhadap integritas keuangan nasional-sebuah bentuk perlindungan hukum terhadap sistem moneter dan stabilitas ekonomi.
Membaca Ulang Pasal 244 KUHP: Saat Kesengajaan Menjadi Kunci Pemalsuan Uang
Dalam diskursus hukum pidana, pemalsuan mata uang selalu menempati posisi istimewa – bukan karena frekuensi kejahatannya, tetapi karena ia menyerang jantung kedaulatan negara: kepercayaan terhadap Rupiah. Di balik selembar uang, terdapat legitimasi politik, otoritas moneter, dan kontrak sosial antara pemerintah dengan rakyat. Karena itu, memalsukan uang sejatinya bukan sekadar tindak kriminal, melainkan pengkhianatan terhadap integritas sistem ekonomi nasional.
Menurut P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, serta Efrita Amalia Assa dkk. dalam Jurnal Tindak Pidana Pemalsuan Uang oleh Korporasi Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, terdapat beberapa unsur penting dalam Pasal 244 KUHP, yang mengatur tentang tindak pidana pemalsuan mata uang.
Para ahli hukum tersebut menguraikan bahwa Pasal 244 KUHP mengandung dua dimensi utama: unsur subjektif dan unsur objektif.
Unsur-Unsurnya: Dari Niat hingga Perbuatan
1. Unsur subjektif
Terdapat “maksud untuk mengeluarkan atau menyuruh mengedarkan seolah-olah mata uang, uang kertas negara, atau uang kertas bank tersebut asli dan tidak dipalsukan.”
Inilah titik psikologis pelaku — di mana niat menjadi poros dari seluruh tindakan.
2. Unsur objektif
a. Barang siapa
b. Meniru atau memalsukan
c. Mata uang, uang kertas negara, atau uang kertas bank.
Menariknya, rumusan Pasal 244 KUHP tidak secara eksplisit mencantumkan unsur “dengan sengaja”, namun tetap menuntut adanya maksud untuk mengedarkan. Dalam konteks hukum pidana, hal ini memperlihatkan karakter normatif KUHP yang lebih menekankan pada kehendak dan tujuan (opzet) daripada sekadar akibat.
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa tindak pidana pemalsuan mata uang adalah delik kesengajaan – kejahatan yang hanya dapat lahir dari niat sadar untuk menipu sistem moneter negara.
Antara Unsur Niat dan Lemahnya Pembuktian
Di atas kertas, konstruksi hukum Pasal 244 tampak kokoh. Namun, di ruang peradilan, unsur “dengan maksud” sering menjadi titik lemah pembuktian. Hakim kerap berhadapan dengan dilema: bagaimana membuktikan niat seseorang untuk mengedarkan uang palsu, jika pelaku sekadar menyimpan atau tidak sempat mendistribusikannya?
Pertanyaan ini mengarah pada problem klasik penegakan hukum pidana di Indonesia: apakah hukum menjerat pelaku atas akibat, atau atas potensi niat jahatnya?
Dalam praktik, tafsir yang longgar kerap membuka ruang bagi pelaku lolos dari jerat hukum, hanya karena aspek “kesengajaan” dianggap tidak terbukti secara sempurna.
Padahal, dalam tindak pidana yang menyerang otoritas negara seperti ini, hukum seharusnya tidak hanya menjadi teks normatif, tetapi juga tameng kebijakan publik. Artinya, interpretasi hukum harus berdiri di sisi kepentingan negara dan perlindungan keuangan nasional, bukan pada celah pembuktian semata.
Implikasi Kebijakan: Dari KUHP Lama ke Regulasi Moneter Modern
Pasal 244 dan 245 KUHP sejatinya menjadi titik sentral pengaturan pemalsuan dan peredaran uang, terutama dalam relasinya dengan otoritas Bank Indonesia dan pemerintah sebagai penjaga kedaulatan moneter. Namun, dunia berubah lebih cepat daripada teks hukum.
Digitalisasi ekonomi, munculnya uang elektronik, hingga fenomena kripto menghadirkan bentuk baru dari “pemalsuan nilai” – bukan lagi melalui cetakan uang kertas, tetapi lewat replikasi digital dan manipulasi sistem pembayaran elektronik.
Di sinilah kritik kebijakan perlu diarahkan: KUHP lama masih berpikir dalam paradigma “uang fisik”, padahal kejahatan ekonomi sudah melangkah ke ruang digital.
Jika hukum tidak segera diperbarui dan ditopang teknologi pengawasan moneter yang kuat, maka pasal-pasal ini hanya akan menjadi fosil normatif di tengah revolusi finansial.
Pasal 245 KUHP: Antara Kejahatan Finansial dan Kebijakan yang Melambat
Jika Pasal 244 KUHP mengatur soal niat memalsukan, maka Pasal 245 KUHP berbicara tentang aksi mengedarkan. Di sinilah letak pembeda antara pelaku yang sekadar membuat uang palsu dan pelaku yang berani menantang negara dengan mengedarkannya.
Berikut bunyi Pasal 245 KUHP:
Barang siapa dengan sengaja mengedarkan mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau Bank sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu, padahal ditiru atau dipalsu olehnya sendiri, atau waktu diterima diketahuinya bahwa tidak asli atau dipalsu, ataupun barang siapa menyimpan atau memasukkan ke Indonesia mata uang dan uang kertas yang demikian, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli dan tidak dipalsu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Dari norma ini, unsur-unsur hukum yang dapat diurai adalah:
1. Barang siapa;
2. Dengan sengaja;
3. Mengedarkan atau menyimpan, atau memasukkan ke Indonesia uang palsu yang diketahui tidak asli;
4. Dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli.
Secara sederhana, Pasal 245 KUHP menjerat bukan hanya pembuat uang palsu, tetapi juga siapa pun yang mengetahui kepalsuan itu dan tetap memperdagangkannya.
Ini menegaskan bahwa hukum pidana tidak hanya mengejar “tangan yang mencetak”, tetapi juga “tangan yang mengedarkan”.
Antara Niat dan Tindakan: Di Mana Hukum Berdiri?
Pasal 245 KUHP mencerminkan filosofi klasik hukum pidana: tidak cukup seseorang bermaksud jahat, harus ada realisasi dari niat itu dalam tindakan nyata.
Namun di balik ketegasan pasal ini, tersimpan satu ironi besar – kenapa ancaman hukum terhadap kejahatan finansial seberat pemalsuan uang justru melemah dalam KUHP baru?
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP (yang akan berlaku efektif pada 2026), pengaturan tentang pemalsuan uang mengalami perubahan signifikan.
Bunyi Pasal 374 jo. Pasal 79 ayat (1) huruf g KUHP Baru adalah:
Setiap orang yang memalsu mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara, dengan maksud untuk mengedarkan atau meminta mengedarkan sebagai uang asli dan tidak dipalsu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak kategori VII, yaitu Rp5 miliar.
Jika dibandingkan, ancaman pidana berkurang dari maksimum 15 tahun menjadi hanya 10 tahun, sekalipun kejahatan ini menyerang jantung sistem moneter negara.
Pasal 375 KUHP Baru: Saat Negara Menegaskan, tapi Juga Menunda Ketegasan
KUHP baru (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023) mencoba memberi wajah segar pada sistem hukum pidana Indonesia. Namun, ketika kita membaca Pasal 375 jo. Pasal 79 ayat (1) huruf g dan h, muncul pertanyaan mendasar: apakah hukum baru ini sungguh memperkuat perlindungan terhadap mata uang, atau justru memperhalus ancaman bagi pelaku kejahatan moneter?
Berikut isi pasal tersebut:
1. Setiap Orang yang menyimpan secara fisik dengan cara apa pun yang diketahuinya merupakan mata uang palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 374, dipidana dengan penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak kategori VII (Rp5 miliar).
2. Setiap Orang yang mengedarkan dan/atau membelanjakan mata uang yang diketahuinya palsu, dipidana dengan penjara paling lama 15 tahun dan denda kategori VIII (Rp50 miliar).
3. Setiap Orang yang membawa atau memasukkan mata uang ke dalam dan/atau ke luar wilayah NKRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 374, dipidana dengan penjara paling lama 15 tahun dan denda kategori VIII (Rp50 miliar).
Jika dibandingkan dengan KUHP lama, norma ini tampak lebih rinci dan sistematis – bukan hanya menjerat pembuat, tetapi juga menutup celah hukum terhadap pihak yang menyimpan, membawa, atau membelanjakan uang palsu.
Namun di balik ketegasan formal itu, terdapat sejumlah persoalan konseptual dan kebijakan yang layak dikritisi.
Analisis Akademik: Antara Harmonisasi dan Kontradiksi
Penjelasan Pasal 374 KUHP baru menegaskan bahwa uang yang dipalsukan tidak hanya terbatas pada Rupiah, tetapi juga mata uang asing.
Hal ini selaras dengan Konvensi Internasional tentang Pemberantasan Uang Palsu Tahun 1929 (Geneva Convention) yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1981.
Artinya, Indonesia mengadopsi norma global bahwa pemalsuan terhadap mata uang apa pun adalah ancaman universal terhadap stabilitas ekonomi dunia.
Namun, justru di sini letak paradoks kebijakan: norma internasional yang keras diterjemahkan dalam sistem hukum nasional yang cenderung moderat.
Ancaman pidana memang terlihat berat secara nominal, tetapi secara substansial, KUHP baru menurunkan batas maksimum hukuman dari rezim KUHP lama (15 tahun menjadi 10 tahun dalam konteks tertentu), serta memperkenalkan skema denda tinggi yang dalam praktik sulit diterapkan terhadap pelaku individu.
Sebuah kompromi hukum yang tampak modern di atas kertas, namun berpotensi kehilangan efek jera di lapangan.
Hukum yang Lunak di Tengah Ekonomi yang Rentan
Harus diakui, pembaruan KUHP ini membawa semangat kodifikasi yang lebih sistematis. Tapi dalam konteks kejahatan finansial lintas negara, hukum yang “modern” belum tentu “tajam”.
Dengan meningkatnya transaksi digital, perdagangan lintas batas, dan kemudahan akses teknologi pemalsuan, ancaman pemalsuan uang kini lebih canggih daripada sanksi yang mengawalnya.
Menurunkan ancaman pidana sementara skala risiko ekonomi meningkat adalah bentuk anomali kebijakan hukum pidana.
Negara seakan lebih sibuk menjaga keseimbangan antara rasionalisasi pidana dan asas kemanusiaan, ketimbang memastikan bahwa kejahatan ekonomi benar-benar dihadapi dengan ketegasan yang sepadan.
Bagaimana mungkin hukum bisa memberi efek jera kepada pemalsu uang, jika “harga” hukum terhadap mata uang sendiri telah didiskon?
Dalam dunia ekonomi yang terus bergerak menuju digitalisasi penuh, kejahatan finansial tidak lagi membutuhkan uang palsu dalam bentuk fisik. Ia bisa menjelma sebagai data palsu, nilai palsu, atau bahkan legitimasi palsu di mata publik – dan di situlah hukum sering kali datang terlambat.
Dari Konvensi Dunia ke Realitas Indonesia
Ratifikasi konvensi internasional seharusnya menjadi tonggak penguatan kedaulatan hukum dan keuangan nasional.
Namun tanpa implementasi yang progresif, komitmen tersebut hanya menjadi simbol formal di lembar peraturan negara.
Indonesia boleh saja menyatakan tunduk pada norma global, tetapi keberanian moral untuk menegakkan hukum secara konsisten jauh lebih penting daripada sekadar menyalin pasal dari perjanjian internasional.
Hukum yang baik bukan hanya yang mengikuti dunia, tetapi yang mampu melindungi bangsanya dari tipu daya dunia itu sendiri.
Antara Keaslian Uang dan Keaslian Hukum
Pemalsuan uang bukan hanya soal kriminalitas ekonomi, tapi juga cermin kualitas hukum dan ketegasan negara dalam menjaga martabat nilai.
Pasal 375 KUHP baru memang mengatur dengan lebih rinci, tetapi belum tentu lebih berani.
Kita sedang hidup di zaman ketika yang palsu semakin menyerupai yang asli – baik dalam uang, moral, maupun kebijakan.
Dan pertanyaan provokatif yang tersisa adalah:
Apakah hukum kita masih asli, atau sudah ikut terpengaruh oleh nilai yang sedang dipalsukan?
Dasar Hukum :
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1981 tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Pemberantasan Uang Palsu beserta Protokol;
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang;
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
5. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan;
6. International Convention for The Suppression of Counterfeiting Currency and Protocol, Geneve 1929.
Referensi :
1. Efrita Amalia Assa (al). Tindak Pidana Pemalsuan Uang oleh Korporasi menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Jurnal Lex Crimen, Vol. X, No. 3, 2021;
2. Eggi Suprayogi dan Yeni Nuraeni. Pertanggungjawaban Hukum terhadap Pelaku Penyimpanan Uang Rupiah Palsu dihubungkan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Presumption of Law, Vol. 3, No. 2, 2021;
3. Priscillia Tiffany Sutantyo. Penyimpanan Mata Uang Asing Palsu dan Penggunaan Uang Hasil Transfer Dana yang Bukan Miliknya (Suatu Tinjauan dari KUHP dan Undang-Undang No. 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana. Jurnal Hukum Pidana Islam, Vol. 6, No. 2, 2020;
4. Recky V. Ilat. Kajian Pasal 245 KUHP tentang Mengedarkan Uang Palsu kepada Masyarakat. Jurnal Lex Crimen, Vol. V, No. 5, 2016.
Arthur Noija

















