Asas-Asas Hukum Pidana dalam KUHP Baru

- Penulis

Minggu, 12 Oktober 2025 - 18:09

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

Jakarta, Majalahjakarta.com – Reformasi hukum pidana nasional melalui pengesahan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Baru merupakan tonggak monumental dalam sejarah hukum Indonesia. Namun, di balik semangat pembaruan itu, tersimpan sejumlah pertanyaan mendasar: sejauh mana asas-asas hukum pidana yang diadopsi benar-benar mencerminkan keadilan substantif, dan bukan sekadar retorika normatif yang indah di atas kertas?

KUHP baru mengenal lima asas hukum pidana utama, yaitu:
1. Asas legalitas,
2. Asas teritorial,
3. Asas personalitas,
4. Asas perlindungan, dan
5. Asas persamaan.

Kelima asas ini menjadi fondasi moral dan yuridis dalam membangun sistem hukum pidana nasional yang “berjiwa Indonesia”, sebagaimana diimpikan oleh para perumus KUHP nasional sejak dekade 1960-an.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dua Kelompok Asas dalam Perspektif Akademik
Menurut kajian Gerai Hukum Art & Rekan dalam Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia, asas hukum pidana dapat dikelompokkan dalam dua kategori besar:
1. Asas hukum pidana menurut waktu, yakni asas legalitas; dan
2. Asas hukum pidana berdasarkan tempat dan waktu, yang meliputi asas teritorial, asas perlindungan, asas universal, dan asas personalitas.

Pengelompokan ini penting karena membantu kita memahami batas yurisdiksi dan tanggung jawab hukum suatu negara terhadap warga negara maupun tindakan yang dilakukan di luar wilayahnya. Namun, di tengah era globalisasi, pembatasan ruang dan waktu kerap menjadi kabur-sehingga implementasi asas-asas ini menuntut kecermatan dan integritas tinggi dari penegak hukum.

Asas Legalitas: Pilar Utama, tapi Bukan Tanpa Celah
Asas legalitas atau the principle of legality menegaskan bahwa tidak ada perbuatan yang dapat dipidana tanpa adanya aturan hukum yang mengatur terlebih dahulu. Dalam pandangan Amir Ilyas (dalam Asas-Asas Hukum Pidana, Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana sebagai Syarat Pemidanaan), asas ini memuat tiga makna pokok:
1. Tidak ada perbuatan yang dapat dipidana jika belum diatur dalam undang-undang;
2. Penentuan tindak pidana tidak boleh dilakukan berdasarkan analogi; dan
3. Hukum pidana tidak boleh berlaku surut (non-retroaktif).

Asas ini adalah pagar moral bagi negara hukum agar kekuasaan tidak bertindak sewenang-wenang. Namun di titik inilah kritik akademik sering diarahkan: KUHP baru masih membuka peluang multitafsir dalam beberapa pasal, terutama yang menyangkut delik terhadap ideologi negara, penghinaan terhadap lembaga publik, atau “tindak pidana terhadap martabat presiden dan wakil presiden.”

Ketika ruang tafsir begitu luas, asas legalitas berpotensi tereduksi menjadi formalitas belaka. Maka, muncul pertanyaan kritis: apakah asas legalitas benar-benar ditegakkan, atau justru dijadikan tameng untuk membungkus pasal-pasal karet yang berpotensi membungkam kritik publik?

Menakar Asas Perlindungan dan Persamaan di Tengah Ketimpangan
Asas perlindungan menegaskan kewajiban negara melindungi kepentingan hukum warganya, sedangkan asas persamaan menuntut agar setiap orang diperlakukan sama di hadapan hukum. Dalam konteks praktik penegakan hukum di Indonesia, kedua asas ini masih kerap berbenturan dengan realitas sosial: hukum terasa tumpul ke atas namun tajam ke bawah.

KUHP baru seharusnya tidak hanya menjamin keadilan prosedural, tetapi juga keadilan substantif-yakni keadilan yang berpihak pada korban ketidakadilan struktural. Namun jika aparat penegak hukum masih bekerja di bawah tekanan politik atau intervensi ekonomi, asas perlindungan dan persamaan hanya akan berakhir sebagai jargon akademik yang kehilangan ruh moralnya.

Asas Legalitas dalam KUHP Baru: Antara Kepastian Hukum dan Ancaman Ketidakpastian Keadilan
Salah satu pilar utama dalam hukum pidana Indonesia adalah asas legalitas – asas yang menegaskan bahwa tidak ada perbuatan yang dapat dipidana tanpa adanya ketentuan hukum yang mengaturnya terlebih dahulu (nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali).
Asas ini bukan sekadar konsep yuridis klasik yang diadopsi dari tradisi hukum Eropa Kontinental, tetapi merupakan jantung dari prinsip negara hukum (the rule of law).

Namun, di tengah euforia pengesahan KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023), muncul pertanyaan yang tak kalah penting: apakah asas legalitas ini benar-benar ditegakkan sebagai pelindung hak warga negara, atau justru berpotensi dijadikan instrumen pembenaran bagi kekuasaan?

Makna dan Tujuan Asas Legalitas: Pilar Moral Penegakan Hukum
Secara normatif, asas legalitas dalam KUHP Baru termaktub dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2023, yang menyatakan:

Suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.”

Formulasi tersebut menegaskan bahwa hukum pidana tidak boleh berlaku surut, dan seseorang hanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang telah jelas dilarang sebelumnya oleh undang-undang.

Dalam konteks itu, asas legalitas memiliki lima tujuan utama, yakni:
1. Memperkuat kepastian hukum agar setiap warga memahami batas antara perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
2. Menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa, dengan memastikan bahwa proses hukum dijalankan berdasarkan aturan yang telah ada, bukan interpretasi semena-mena.
3. Mengefektifkan fungsi pencegahan (deterrent function) dari hukum pidana, sehingga sanksi berperan sebagai peringatan sosial, bukan alat balas dendam.
4. Mencegah penyalahgunaan kekuasaan, agar penegak hukum tidak menafsirkan hukum secara subjektif demi kepentingan tertentu.
5. Memperkokoh prinsip the rule of law, bahwa hukumlah yang memimpin, bukan kehendak individu atau lembaga.

Dengan kata lain, asas legalitas adalah “sabuk pengaman” bagi keadilan: ia menjaga agar hukum tidak berubah menjadi senjata politik.

Asas Teritorial dalam KUHP Baru: Kedaulatan Negara atau Ekspansi Yurisdiksi Hukum?
Dalam sistem hukum pidana, asas teritorial atau asas wilayah merupakan perwujudan langsung dari prinsip kedaulatan negara. Asas ini menegaskan bahwa negara memiliki hak dan kewajiban untuk menegakkan hukum terhadap setiap perbuatan pidana yang terjadi di dalam wilayahnya – tanpa memandang siapa pelakunya. Dengan kata lain, hukum pidana Indonesia berlaku di mana kedaulatan Indonesia berdiri tegak.

https://www.hukumonline.com/berita/a/asas-asas-hukum-pidana-lt62cb7d58e9538/

Secara normatif, asas ini diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP, yang menyatakan bahwa ketentuan pidana berlaku bagi setiap orang yang melakukan:
1. Tindak pidana di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI);
2. Tindak pidana di kapal Indonesia atau pesawat udara Indonesia;
3. Tindak pidana di bidang teknologi informasi atau tindak pidana lain yang akibatnya terjadi di wilayah NKRI, kapal Indonesia, atau pesawat udara Indonesia.

Rumusan ini tidak hanya menegaskan batas yurisdiksi secara geografis, tetapi juga memperluas jangkauan hukum pidana Indonesia dalam konteks kejahatan lintas batas (transnational crimes) dan cybercrime, dua tantangan besar dalam era digital dan globalisasi.

Landasan Filosofis: Negara Berdaulat, Hukum Berdaulat
Asas teritorial berakar dari pandangan klasik bahwa negara memiliki otoritas penuh untuk menjaga ketertiban hukum di wilayahnya sendiri.
Dalam perspektif teori negara, hukum pidana bukan sekadar perangkat represif, melainkan instrumen perlindungan terhadap kedaulatan, ketertiban sosial, dan kepentingan nasional.

Dengan demikian, setiap pelanggaran hukum di dalam wilayah Indonesia – bahkan jika dilakukan oleh warga negara asing – dapat diadili berdasarkan hukum Indonesia. Di titik inilah asas teritorial menjadi manifestasi konkret dari prinsip supremasi hukum nasional atas wilayah yurisdiksi negara.

Dimensi Baru Asas Teritorial: Dari Darat ke Dunia Siber
Kehadiran frasa “tindak pidana di bidang teknologi informasi” dalam Pasal 4 KUHP Baru menjadi penanda penting: wilayah hukum kini tidak lagi terbatas secara fisik, tetapi juga meluas ke ruang digital.
Era internet telah mengaburkan batas-batas geografis; serangan siber, penipuan online, dan ujaran kebencian di media sosial bisa menimbulkan akibat hukum nyata di Indonesia, meski dilakukan dari luar negeri.

Namun perlu dicatat, perluasan ini menuntut kapasitas dan integritas penegak hukum. Tanpa pemahaman yang memadai terhadap konteks digital, penerapan asas teritorial di dunia maya justru bisa menjadi alat represi – menjerat ekspresi warga dengan tafsir yang kabur atas “akibat hukum di wilayah Indonesia.”

Kritik akademik perlu diarahkan ke sini: apakah negara benar-benar siap menegakkan kedaulatan hukum di dunia digital dengan prinsip keadilan yang sama, atau sekadar memperluas kontrol atas ruang kebebasan berekspresi?

Asas Teritorial dan Tantangan Globalisasi: Menjaga Kedaulatan Tanpa Menutup Diri
Globalisasi hukum memaksa negara-negara untuk saling bekerja sama dalam penegakan hukum lintas batas. Namun, di sisi lain, penegasan asas teritorial juga bisa dibaca sebagai bentuk proteksionisme hukum – negara yang ingin memastikan tidak ada kekuatan asing yang mendikte sistem hukumnya.

Dalam konteks Indonesia, tantangannya adalah menemukan keseimbangan antara perlindungan kedaulatan hukum dan komitmen terhadap kerja sama internasional.
Sebab, jika asas teritorial dijalankan secara eksklusif dan kaku, ia berpotensi menghambat koordinasi lintas negara dalam menghadapi kejahatan global seperti pencucian uang, perdagangan manusia, atau kejahatan siber lintas yurisdiksi.

Asas Perlindungan dalam KUHP Baru: Ketika Hukum Melampaui Batas Wilayah demi Kepentingan Nasional
Dalam arsitektur hukum pidana Indonesia, asas perlindungan – atau sering disebut juga asas nasional pasif – memiliki posisi strategis yang memperluas jangkauan hukum pidana melampaui batas teritorial negara.
Asas ini didasari oleh keyakinan bahwa negara berdaulat berhak melindungi kepentingan nasionalnya dari segala bentuk ancaman, di mana pun dan oleh siapa pun ancaman itu muncul.

Secara normatif, asas ini diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP (KUHP Baru) yang menegaskan bahwa ketentuan pidana berlaku bagi setiap orang di luar wilayah NKRI yang melakukan tindak pidana terhadap kepentingan NKRI yang berkaitan dengan:
1. Keamanan negara atau kehidupan ketatanegaraan.
2. Martabat Presiden, Wakil Presiden, dan/atau pejabat Indonesia di luar negeri;
3. Mata uang, segel, cap negara, meterai, surat berharga, atau kartu kredit yang diterbitkan oleh pemerintah/perbankan Indonesia;
4. Perekonomian, perdagangan, dan perbankan Indonesia;
5. Keselamatan pelayaran dan penerbangan;
6. Keamanan aset dan fasilitas strategis nasional;
7. Keselamatan sistem komunikasi elektronik.

Dengan demikian, asas perlindungan tidak lagi dibatasi oleh garis geografis, melainkan berfokus pada substansi kepentingan nasional yang harus dijaga di mana pun keberadaannya.

Makna Filosofis: Keadilan untuk Negara, Bukan Sekadar Individu
Berbeda dengan asas teritorial yang berorientasi pada perlindungan wilayah, asas perlindungan menitikberatkan pada kepentingan nasional. Dalam teori hukum pidana, asas ini mencerminkan dimensi pertahanan hukum negara, di mana negara memiliki hak untuk menuntut siapa pun yang merugikan kepentingan vitalnya, walau pelaku berada di luar negeri.

Filosofinya jelas: negara tidak boleh pasif ketika kepentingan nasionalnya diserang dari luar.
Dengan asas ini, hukum Indonesia dapat menjangkau kejahatan seperti pemalsuan rupiah di luar negeri, peretasan sistem komunikasi pemerintah, hingga serangan siber terhadap infrastruktur vital nasional.

Baca Juga:  Satgas Pamtas Yonif 131/BRS Hadiri Safari Ramadhan 1446 H Kalpoda Papua di Masjid Agung Distrik Arso

Namun, di sinilah muncul dilema akademik yang tak bisa dihindari: di antara ambisi melindungi kepentingan nasional, di mana letak batas etis antara perlindungan dan ekspansi yurisdiksi?

Antara Kedaulatan dan Potensi Politisasi
Secara ideal, asas perlindungan bertujuan menjaga kedaulatan negara dari ancaman nyata. Namun dalam praktik, asas ini berpotensi dimanfaatkan secara politis jika tafsir “kepentingan nasional” tidak dijaga secara ketat.
Istilah tersebut begitu luas dan lentur: apakah “martabat pejabat negara” misalnya, bisa dijadikan dasar untuk menjerat kritik diplomatik atau ekspresi politik di luar negeri?

Inilah titik rawan yang perlu disoroti secara akademik. KUHP Baru memang menegaskan perlindungan terhadap simbol dan pejabat negara, tetapi batas antara penghinaan diplomatik dan ekspresi pendapat politik sering kali kabur.
Jika tafsir hukum bergeser ke arah yang represif, asas perlindungan bisa berubah menjadi asas pembungkaman global, di mana hukum nasional digunakan untuk memburu kritik di luar negeri atas nama “martabat negara.”

Keadilan hukum seharusnya tidak hanya berpihak pada negara sebagai entitas politik, tetapi juga pada nilai-nilai universal tentang kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia.

Asas Perlindungan di Era Digital: Melindungi atau Mengontrol?
Konteks modern menempatkan asas perlindungan pada ranah yang semakin kompleks.
Ketika Pasal 5 menyebut “keselamatan atau keamanan sistem komunikasi elektronik,” hal ini membuka ruang bagi penerapan hukum pidana terhadap aktivitas digital lintas negara.
Artinya, pelaku kejahatan siber di luar negeri dapat dijerat hukum Indonesia jika perbuatannya merugikan kepentingan nasional.

Namun, dalam praktiknya, penerapan ini menuntut profesionalisme tinggi dan kerja sama internasional yang kuat.
Tanpa koordinasi yang matang, asas perlindungan berisiko menjadi alat politik atau justifikasi untuk memblokir atau membatasi informasi yang dianggap “mengancam keamanan nasional” – padahal, dalam konteks demokrasi, transparansi informasi justru bagian dari perlindungan terhadap kepentingan publik.

Asas Universal dalam KUHP Baru: Ketika Keadilan Tak Lagi Mengenal Batas Negara
Dalam ranah hukum pidana internasional, asas universal menempati posisi yang sangat penting – ia lahir dari kesadaran global bahwa ada kejahatan yang begitu kejam dan mengancam kemanusiaan, hingga tidak boleh dibiarkan lolos dari jeratan hukum, di mana pun pelakunya berada.
Asas ini menegaskan bahwa hukum pidana tidak lagi dibatasi oleh wilayah geografis atau kewarganegaraan, melainkan berlaku universal atas dasar perlindungan nilai-nilai kemanusiaan.

Sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Eddy O.S. Hiariej dalam Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, asas universal bertujuan agar tidak ada pelaku kejahatan internasional yang lolos dari hukuman.
Dengan kata lain, setiap negara memiliki hak sekaligus kewajiban moral dan hukum untuk menangkap, mengadili, dan menghukum pelaku kejahatan internasional – seperti genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, atau penyiksaan sistematis.

Asas Universal dalam KUHP Baru: Wujud Partisipasi Indonesia di Mata Dunia
Dalam KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023), asas universal diatur secara eksplisit dalam Pasal 6 dan Pasal 7, yang menegaskan bahwa ketentuan pidana berlaku bagi siapa pun di luar wilayah NKRI yang:
1. Melakukan tindak pidana menurut hukum internasional yang telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam undang-undang; dan
2. Melakukan tindak pidana di luar wilayah NKRI yang penuntutannya diambil alih oleh Pemerintah Indonesia berdasarkan perjanjian internasional.

Rumusan ini memperlihatkan bahwa Indonesia berkomitmen untuk menjadi bagian dari komunitas hukum internasional yang menegakkan prinsip no safe haven for criminals – tidak ada tempat aman bagi pelaku kejahatan internasional.

Namun, komitmen di atas kertas tidak serta-merta menjamin penegakan keadilan universal di lapangan. Di sinilah kritik akademik dan refleksi kebijakan perlu diarahkan.

Tantangan Paradoks: Antara Keadilan Global dan Kedaulatan Nasional
Secara filosofis, asas universal adalah ekspresi dari solidaritas hukum global – bahwa kemanusiaan lebih tinggi daripada batas politik negara.
Namun dalam praktik, penerapan asas ini sering kali berbenturan dengan prinsip kedaulatan nasional dan kepentingan politik luar negeri.

Pertanyaannya: sejauh mana Indonesia siap melaksanakan asas universal tanpa mengorbankan prinsip non-intervensi dan kedaulatan hukum nasional?

Misalnya, ketika ada pelaku kejahatan perang atau penyiksaan yang melintasi wilayah Indonesia, apakah penegak hukum akan berani menegakkan asas universal dengan independen?
Ataukah asas ini hanya akan menjadi simbol kehormatan dalam teks undang-undang — indah di forum internasional, tetapi steril dalam praktik nasional?

Kritik akademik perlu menyoroti ambivalensi kebijakan ini: negara ingin diakui beradab secara global, tetapi terkadang gamang menghadapi realitas politik internasional yang asimetris.

Membedakan Kejahatan Internasional dan Kejahatan Transnasional
Hal lain yang perlu dipahami publik adalah perbedaan antara kejahatan internasional dan kejahatan transnasional.
Kejahatan internasional adalah kejahatan yang mengguncang nurani kemanusiaan – seperti genosida, agresi militer, dan kejahatan terhadap kemanusiaan – yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court).

Sementara kejahatan transnasional, seperti perdagangan manusia, narkotika, atau pencucian uang, meski lintas negara, tetap berada dalam yurisdiksi nasional dan kerja sama antarnegara.

KUHP Baru melalui asas universal berfokus pada kejahatan internasional, yang secara filosofis mengangkat harkat Indonesia sebagai negara yang berkomitmen pada nilai kemanusiaan universal. Namun, konsistensi implementasi tetap menjadi ujian terberatnya.

Jangan Sampai Asas Universal Jadi “Asas Simbolik
Dalam konteks kebijakan hukum nasional, asas universal sering kali dijadikan simbol moralitas hukum internasional, tetapi belum disertai kapasitas institusional dan politik untuk menjalankannya.
Penegakan asas ini membutuhkan koordinasi lintas lembaga, keahlian dalam hukum internasional, dan kemauan politik yang kuat untuk tidak tunduk pada tekanan diplomatik.

Tanpa itu, asas universal akan berakhir sebagai asas ideal yang indah tapi tidak efektif – sekadar ornamen akademik dalam teks undang-undang yang jarang dipraktikkan.

Asas Nasional Aktif: Warga Negara di Mana Pun Tetap Tunduk pada Hukum Ibu Pertiwi
Di tengah dunia yang semakin tanpa batas, hukum dituntut untuk tetap hadir sebagai jangkar moral bagi warga negaranya – bahkan ketika mereka berada jauh dari tanah air.
Inilah semangat yang melandasi asas nasional aktif atau asas personalitas, sebuah prinsip penting dalam hukum pidana yang menegaskan bahwa warga negara Indonesia tetap berada di bawah naungan hukum nasional, di mana pun ia berada di dunia.

Secara sederhana, asas ini menyatakan bahwa ketentuan pidana Indonesia berlaku bagi warga negara Indonesia (WNI) yang melakukan tindak pidana di luar negeri, sepanjang perbuatan tersebut juga dianggap tindak pidana di negara tempat kejadian.
Dengan demikian, status kewarganegaraan menjadi titik sentral, bukan lokasi perbuatan.

Asas Nasional Aktif dalam KUHP Baru: Menjaga Tanggung Jawab Warga Negara di Luar Negeri
Asas nasional aktif diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal ini memperjelas bahwa Indonesia tidak menutup mata terhadap tindak pidana yang dilakukan warganya di luar negeri, selama perbuatan itu juga diakui sebagai pelanggaran di negara tempat tindak pidana terjadi.

Namun, undang-undang ini juga memberikan pembatasan dan perlindungan hukum yang penting. Misalnya:
Tidak semua tindak pidana dikenakan asas ini, terutama jika hanya diancam dengan pidana denda ringan (kategori III).
WNI tidak dapat dijatuhi pidana mati jika negara tempat tindak pidana dilakukan tidak mengenal hukuman mati.

Pembatasan tersebut menunjukkan adanya kehati-hatian negara dalam menegakkan yurisdiksi pidana lintas batas, agar tidak menimbulkan benturan dengan kedaulatan hukum negara lain.

Makna Filosofis: Tanggung Jawab Hukum yang Melekat pada Identitas Kewarganegaraan
Dalam konteks filosofis, asas nasional aktif mencerminkan prinsip bahwa kewarganegaraan bukan hanya hak, melainkan juga tanggung jawab hukum.
Negara memiliki kewajiban moral untuk menegakkan hukum terhadap warganya, sekaligus melindungi mereka dari perlakuan hukum yang sewenang-wenang di negara lain.

Dengan asas ini, Indonesia ingin menegaskan bahwa setiap warga negara membawa wajah hukum bangsanya ke manapun ia pergi.
Maka, ketika seorang WNI melakukan tindak pidana di luar negeri, konsekuensi moral dan yuridisnya tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab nasional.

Antara Ideal Hukum dan Realitas Diplomatik
Meski asas nasional aktif memiliki nilai luhur dalam menjaga integritas hukum nasional, penerapannya tidak sesederhana teks pasal.
Ada tantangan diplomatik, politik, dan yuridis yang harus dihadapi ketika hukum nasional ingin menjangkau perbuatan pidana yang terjadi di wilayah kedaulatan negara lain.

Bagaimana jika negara tempat tindak pidana itu terjadi tidak bersedia bekerja sama dengan otoritas hukum Indonesia?
Bagaimana jika perbedaan sistem hukum, bukti, atau prosedur peradilan menyebabkan asas ini sulit diimplementasikan?

Kritik tajam perlu diarahkan pada potensi ketimpangan penegakan hukum lintas batas – antara keinginan ideal menegakkan hukum nasional dan keterbatasan realitas politik internasional.
Tanpa koordinasi diplomatik yang kuat, asas nasional aktif bisa berhenti pada tataran deklaratif, indah di atas kertas tetapi tak berdaya di ranah praktik.

Asas Nasional Aktif dan Perlindungan WNI di Luar Negeri
Asas nasional aktif juga memiliki dimensi perlindungan yang tidak kalah penting.
Ketika seorang WNI terlibat masalah hukum di luar negeri, negara memiliki dasar moral dan yuridis untuk memberikan bantuan hukum dan memastikan hak-hak dasarnya terlindungi.
Dengan demikian, asas ini bukan semata alat untuk menghukum, tetapi juga mekanisme untuk melindungi martabat hukum dan kemanusiaan warganya.

Namun, di sinilah pula muncul ironi kebijakan:
Negara sering cepat menegakkan sanksi terhadap WNI di luar negeri, tetapi lamban dalam memberikan perlindungan hukum ketika mereka menjadi korban diskriminasi atau ketidakadilan.
Keseimbangan antara fungsi represif dan protektif inilah yang harus menjadi fokus pembaruan hukum nasional.

Menegakkan Hukum Tanpa Menghilangkan Nurani
Asas nasional aktif merupakan perwujudan dari tanggung jawab hukum yang tidak terikat oleh batas teritorial, tetapi oleh rasa kebangsaan.
Ia menegaskan bahwa hukum Indonesia tidak hanya hadir di dalam negeri, melainkan juga menyertai warganya ke mana pun mereka pergi.

Namun, implementasinya menuntut kebijaksanaan hukum dan diplomasi yang berimbang – tegas dalam menegakkan keadilan, tetapi juga bijak dalam menghormati kedaulatan negara lain.
Hukum yang baik bukan hanya keras terhadap pelanggar, tetapi juga adil terhadap manusia yang diaturnya.

Arthur Noija SH

Berita Terkait

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran
Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan
Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia
Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”
Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara
Pertumbuhan 5 Persen, Tapi Siapa yang Untung?
Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda
Marak Debitur Dijerat Pasal Penggelapan Objek Fidusia, Pakar Hukum: “Jangan Campur Urusan Perdata dengan Pidana”
Berita ini 41 kali dibaca
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Berita Terkait

Kamis, 6 November 2025 - 04:03

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran

Kamis, 6 November 2025 - 03:30

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Rabu, 5 November 2025 - 19:27

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 November 2025 - 19:03

Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”

Rabu, 5 November 2025 - 17:56

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 November 2025 - 17:24

Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda

Selasa, 4 November 2025 - 16:56

Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria

Selasa, 4 November 2025 - 16:29

UIN Jakarta Kucurkan Rp2,85 Miliar Beasiswa untuk Dosen dan Tendik: Dorong Kualitas SDM dan Layanan Kampus

Berita Terbaru

Hukum

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Kamis, 6 Nov 2025 - 03:30

Berita

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 Nov 2025 - 19:27

Berita

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 Nov 2025 - 17:56

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x